Mampukah PLPG Meningkatkan Kualitas Guru?
Oleh : Fadil Abidin
Rendahnya peringkat guru Sumatera Utara dalam pelaksanaan Uji Kompetensi
Awal (UKA) pada Februari 2012 lalu sungguh memprihatinkan. Prestasi guru
Sumut hanya berada di peringkat 25 dari 33
provinsi dengan nilai rata-rata 37,4
atau jauh di bawah rata-rata nasional yakni 42,3.
Para guru yang dinyatakan lulus UKA 2012 akan berlanjut
mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) selama 10 hari di lembaga
penyelenggara pendidikan dan latihan profesi guru secara bergelombang di bulan
Mei-Juli 2012. PLPG merupakan sarana pendidikan dan latihan (diklat) persiapan
para guru untuk melanjutkan ke Uji Kompetensi Akhir. Jika sudah dinyatakan
lulus dalam proses ini, maka tercatat sebagai guru sertifikasi (sudah menjadi
guru profesional) dan berhak mendapat tunjangan profesi guru setiap bulannya
dari pemerintah.
Tak seorang pun dapat membantah
bahwa guru berada di garda terdepan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka
telah melahirkan banyak dokter, insinyur, gubernur, menteri, bahkan presiden. Untuk
memajukan suatu bangsa, cara yang tepat adalah dengan memajukan pendidikan.
Memajukan pendidikan berarti meningkatkan kualitas guru. Dari guru yang
berkualitas pula diharapkan akan tercipta generasi-generasi muda yang
berkualitas untuk membangun bangsa dan negara ini.
Tapi bagaimana bisa menciptakan
generasi yang cerdas, jika para
guru itu sendiri tidak mempunyai kompetensi?
Sungguh menarik data yang
dikemukakan oleh Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan, Fasli Djalal (Kompas, 5/8/2010). Menurutnya, terdapat hampir separuh dari sekitar 2,6 juta guru di
Indonesia yang tidak layak mengajar. Kualifikasi dan
kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah. Lebih rinci
disebutkan, saat ini yang tidak layak mengajar atau menjadi guru sekitar
912.505. Terdiri atas 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA, dan
63.961 guru SMK.
Mengalami Kemunduran
Maka tidak berlebihan jika pada akhirnya
mutu pendidikan di negeri ini hanya jalan di tempat, bahkan mengalami
kemunduran. Kondisi ini jelas amat kontras dengan mutu pendidikan di negeri
jiran yang dulu menimba ilmu kepada bangsa kita. Guru-guru di negeri jiran, seperti
Malaysia atau Singapura telah melaksanakan sertifikasi guru sekitar 20-30 tahun
yang lalu melalui seleksi yang amat ketat. Guru yang benar-benar mempunyai
kompetensi, jiwa pengabdian, kualitas kepribadian dan kognitif yang
berkualitaslah, yang berhak mengajar dan diangkat menjadi guru
profesional.
Implikasinya, mutu pendidikan di
negeri itu melambung bak meteor, makin jauh meninggalkan dunia pendidikan kita
yang nyaris tak pernah bergeser dari
keterpurukan. Hal itu bisa dilihat dari kualitas HDI (Human Development Index)
negeri-negeri tetangga yang jauh berada di atas kita.
Sementara di
Indonesia, teramat mudah untuk menjadi seorang guru. Guru SD di negara kita
kebanyakan tamatan SPG (Sekolah Pendidikan Guru), setingkat dengan SMA. Hal ini
juga akibat dari kemudahan pemerintah di tahun 1970-an yang begitu mudahnya
membuka keran untuk pihak swasta membuka SPG. SPG menjamur pada waktu itu tanpa
kontrol kualitas yang memadai. Celakanya, tamatan SPG ini diberi kemudahan
menjadi guru PNS untuk mengajar SD. Setelah itu tidak ada tindak lanjut atau
usaha dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru tamatan SPG ini.
Pada waktu itu,
minat untuk menjadi guru PNS sangat rendah, maklum saja gajinya sangat
memprihatinkan. Sehingga ada istilah, “daripada menganggur, jadi guru tak
apalah”. Maka yang menjadi guru bukanlah orang-orang yang “terbaik”, karena
mereka lebih memilih profesi yang lain. Menjadi guru hingga pada tahun 80-an,
hanya dianggap sebagai pekerjaan sampingan. Tidak terpikir oleh para guru untuk
meningkatkan kualitas diri dan kompetensinya. Akibatnya, selama 25 tahun
kemudian, kita baru sadar bahwa pondasi pendidikan dasar kita teramat rapuh.
Kita pun tertinggal jauh dibanding negara lain.
Untuk mengatasi
rendahnya kualitas pendidikan dan kualitas guru ini, pemerintah kemudian
melaksanakan ‘program instan siap saji’, yaitu melalui PLPG. Dengan PLPG selama
10 hari ini akan diciptakan guru-guru yang berkualitas dan guru-guru
profesional, yang digaji pemerintah melalui APBN.
Pada awalnya,
yang berhak ikut PLPG adalah guru yang berkualifikasi sarjana pendidikan (S1)
atau D IV yang mempunyai Akta IV. Tapi kualifikasi guru semacam ini susah
dicari. Menurut
data Balitbang Depdiknas, secara nasional baru sekitar 8 persen guru SD yang
memiliki pendidikan S1.
Itu berarti, ada sekitar
1,2 juta guru SD yang sebenarnya
tidak berhak ikut PLPG.
Tapi kemudian,
peraturannya diubah. Guru yang telah mengajar sedikitnya selama 20 tahun,
walaupun cuma tamatan SPG atau SLTA, berhak juga ikut PLPG. Hal ini untuk
menghormati guru-guru yang ‘sudah tua’. Maka PLPG pun kerap diikuti para guru
sepuh, dengan tutor yang muda yang lebih tepat menjadi anak murid mereka.
Bau ruangan
diklat pun semerbak dengan aneka aroma minyak angin dan minyak gosok. Dengan
rambut putih, kulit keriput, dan pandangan sudah kabur, para guru sepuh itu
dipaksa belajar kembali. Akhirnya atas nama kemanusiaan, guru-guru sepuh ini
pun lulus PLPG dan diberi sertifikat sebagai guru profesional. Konon, asal
tidak pernah absen, dan duduk saja, maka dijamin akan lulus. Maka
profesionalisme di negeri ini ternyata ditentukan oleh umur seseorang, bukan
oleh kualitas individunya.
Guru Profesional
Seandainya sudah banyak guru yang
memiliki sertifikat
profesi, apakah ada jaminan adanya peningkatan dari kualitas
guru dan mutu pendidikan? Jika berkaca pada pengalaman
negara-negara maju, program peningkatan kualitas dan profesionalisme guru
memang diperlukan. Tapi tidak dengan cara yang instan, diada-adakan dan
dipaksakan seperti yang dilakukan di Indonesia ini.
Di
negara-negara lain, guru yang sudah mendapat tunjangan profesi tetap dipantau,
dievaluasi, diberi kewajiban untuk meningkatkan kemampuan (nilai bahasa Inggris
TOEFL harus meningkat tiap tahun, bisa komputer dsb.), kewajiban membuat karya
ilmiah, riset, penelitian, dan sebagainya. Adakah guru di Indonesia seperti
ini?
Sertifikasi
guru di Indonesia lebih bersifat ‘gratifikasi’ guru. Guru yang sudah
sertifikasi seolah-olah mendapat uang gratis atau bonus tanpa ada kewajiban dan
beban tanggung jawab yang lebih besar atas pemberian uang dari rakyat itu.
Bayangkan, pada tahun 2011 lalu, dana yang
tersalur melalui APBN untuk membayar tunjangan sertifikasi guru mencapai Rp
77,46 triliun.
Angka yang fantastis itu pun belum
menyangkut berbagai hal yang secara substansial perlu dibenahi untuk
menciptakan guru berkualitas sesuai tuntutan masa depan. Peningkatan
kualifikasi akademik bahwa guru harus S1 atau
S2, bukan jaminan kinerja guru akan
menjadi lebih baik. Pada masa penjajahan, dengan kualifikasi pendidikan yang
jauh lebih rendah, guru dipandang lebih berhasil melahirkan lulusan yang
bermutu.
Meski tidak bisa diperbandingkan
sepenuhnya dengan situasi saat ini, tetapi setidaknya kenyataan itu
mengingatkan bahwa kualifikasi akademik hanya menyelesaikan sebagian kecil
masalah. Apalagi bila formalitas yang lebih dikejar, bukan substansinya.
Peningkatan kualifikasi akademik guru menjadi S1, menjadi tidak bermakna bila
gelar kesarjanaan yang diperoleh guru tidak relevan dengan yang ia ajarkan
sehari-hari di kelas, atau didapat melalui jalan pintas.
Peningkatan
kualitas dan profesionalisme
guru bukan barang sekali jadi, bim salabim, abra kadabra
langsung jadi. Oleh
karenanya, saya tidak dapat menjawab secara tepat apakah PLPG dapat
meningkatkan kualitas guru. Belum ada yang mempublikasikan penelitian tentang
korelasi peningkatan kesejahteraan guru melalui tunjangan profesi dengan
peningkatan kualitas guru dalam mengajar di kelas.
PLPG yang hanya
dilaksanakan 10 hari, secara konseptual pada awalnya memang hanya diperuntukkan
bagi guru yang telah menempuh pendidikan (S1) Kependikan atau yang memiliki
diploma D IV serta sertifikat guru (Akta IV). Pada taraf ini, wajar jika PLPG
hanya dilaksanakan selama 10 hari. PLPG hanya berfungsi sebagai penyegaran bagi
guru karena mereka telah mendapatkan materi diklat ketika kuliah dulu. Tapi
jika pesertanya adalah di luar kualifikasi seperti itu, maka sia-sialah uang
rakyat dihabiskan untuk membayar guru yang ‘katanya’ profesional tersebut.
Edward Said dalam bukunya Representations
of the Intellectual menegaskan bahwa para intelektual (termasuk guru dalam
hal ini) haruslah menjadi amatir, bukan profesional. Amatir (amateurs)
dari kata “amor” yang artinya cinta. Walau sama-sama dilekatkan pada aktivitas
kerja, namun jika seseorang bekerja secara amatir maka ia mendasarkan aktivitas
kerjanya pada rasa cinta, pengabdian dan ketulusan. Jika mendasarkan pada profesionalisme
maka ia mendasarkan pada spesialisasi kerja ala modernitas dan kapitalisme
serta hasrat menuntut secara terus-menerus untuk mendapatkan bayaran yang layak. Seorang
profesional berhak menolak kerja jika imbalannya tidak cukup. Apakah kita akan
menciptakan guru seperti ini? ***