KPU Baru Menyambut Pemilu 2014
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom
OPINI Harian Analisa Medan, 10 April 2012
Komisi
II DPR yang membidangi Politik dan Pemerintahan Dalam Negeri telah memilih
tujuh komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2012-2017 melalui rapat pleno Komisi II DPR RI di
Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis 22 Maret 2012. Ketujuh nama tersebut adalah Sigit
Pamungkas dan Ida Budhiati masing-masing memperoleh 45 suara, Arief Budiman memperoleh 43
suara, Husni Kamil Manik memperoleh 39 suara.
Kemudian, Hadar Nafis Gumay dan Ferry Kurnia Rizkyansyah masing-masing memperoleh 35 suara, serta Juri Ardiantoro memperoleh 34 suara.
KPU periode 2012-2017
dapat disebut baru karena pembentukannya berdasarkan UU No.15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilhan Umum. Komisi II DPR tampaknya membuat preseden
baru terhadap UU No.15 Tahun 2011 terutama Pasal 6 Ayat (5) tetang komposisi keanggotaan KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30%.
KPU baru ini hanya
mengakomodasi 14% atau 1 orang komisioner perempuan. Kata-kata “memperhatikan”
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%, mempunyai makna yang sangat
berbeda dengan kata “kewajiban” atau “keharusan” yang bersifat mutlak untuk
dipatuhi.
DPR barangkali beragumen
bahwa syarat kapabilitas dan integritas seorang komisioner KPU lebih penting
ketimbang mempersoalkan syarat gender. Dalam Pasal 11 memang disebutkan bahwa
salah satu syarat untuk menjadi calon anggota KPU, KPU
Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota adalah mempunyai
integritas, pribadi yang kuat, jujur, dan adil serta memiliki pengetahuan dan keahlian
yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu.
Sehingga ketika tidak ada
lagi calon komisioner perempuan yang dianggap tidak memiliki syarat ini, maka
ketentuan Pasal 6 ayat (5) dapat diabaikan. Hal ini tentu preseden yang
positif. Dan harus bisa menjadi pedoman bagi pemilihan calon anggota KPU
Daerah.
Penulis pernah mengalami ketidakadilan gender dari
ketentuan “keterwakilan” perempuan ini. Pada pemilihan anggota KPU Kota Medan
periode lalu, penulis memasuki tahap terakhir yang menyisakan 10 calon yang
langsung menghadapi test wawancara dengan 5 anggota KPU Provinsi Sumut. Calon
terdiri dari 8 laki-laki dan 2 perempuan yang memperebutkan 5 kursi keanggotaan
KPU Kota Medan.
Bayangkan, akibat dari ketentuan keterwakilan perempuan
30% ini, 2 calon komisioner perempuan tersebut sudah dapat dipastikan lolos,
mereka mendapat keistimewaan khusus berdasarkan amanat UU Penyelenggara Pemilu.
Sedangkan 8 calon komisioner laki-laki harus saling bertarung memperebutkan 3
kursi yang tersisa. Hal ini tentu sebagai bentuk ketidakadilan, karena yang
terpilih bukan berdasarkan kualitas dan kapabilitas tapi karena yang
bersangkutan berjenis kelamin perempuan.
Perimbangan Komposisi
Komposisi
komisioner KPU periode 2012-2017 ini
dinilai banyak kalangan sebagai
yang terbaik. Anggota KPU
terpilih merupakan komposisi terbaik karena mencerminkan perimbangan, ada akademisi (Sigit Pamungkas, dosen Ilmu Politik UGM), pegiat LSM pemilu (Hadar Nafis Gumay, aktivis Cetro) dan ketua/anggota KPU Daerah (Ida Budhiati/Ketua KPUD Jateng, Arief
Budiman/anggota KPUD Jatim, Husni Kamil Malik/anggota KPU Sumbar, Juri
Ardianto/Ketua KPUD Jakarta, dan Ferry Kurnia
Rizkiyansyah/Ketua KPUD Jabar). Mereka tentu mengetahui persoalan A sampai Z tentang
pemilu.
Komposisi
ini membuat KPU bisa langsung bekerja lebih cepat karena tidak butuh
adaptasi dan penyesuaian diri lagi. Para
ketua/anggota KPUD ini relatif berhasil dan telah teruji dalam menyelenggarakan tahapan pemilu, dari pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pemilu kepala daerah
tempat di mana mereka pernah bertugas. KPUD Provinsi Jawa
Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta,
dan Sumbar termasuk sukses
menyelenggarakan pemilu
tanpa banyak masalah.
Anggota
KPU terpilih juga diisi oleh generasi muda. Komposisi usia muda ini dinilai
akan memiliki ketahanan fisik dan
mental yang
tinggi dalam menyelenggarakan pemilu dengan jangkauan luas wilayah yang luas di seluruh Indonesia. Generasi muda biasanya juga masih memiliki
idealisme yang tinggi.
Selain itu, sosok-sosok anggota
KPU saat ini cukup menjanjikan. Apalagi nyaris semua komisioner
berasal dari daerah, sehingga belum “terkontaminasi” oleh orang-orang
Jakarta. Sosok yang belum dikenal oleh publik secara luas, juga
akan menjauhkan mereka dari publisitas yang tidak perlu. Kita harapkan mereka
tetap low profile, dan menunjukkan prestasi yang lebih baik.
Sedangkan,
komposisi anggota KPU yang hanya
terdiri dari satu perempuan seharusnya
tak
perlu dipermasalahkan. Jumlah perempuan yang tak memenuhi kuota 30 persen tak menjadi
persoalan dan tidak bisa
dijadikan preseden melanggar UU No.15 Tahun 2011. Realita yang ada memang
menunjukkan secara objektif bahwa calon komisioner perempuan kalah bersaing dari laki-laki, baik ketika proses seleksi oleh tim panitia seleksi maupun
tahap fit and proper test oleh Komisi II DPR.
Kita harus yakin bahwa tujuh anggota KPU terpilih akan
jauh berprestasi dari KPU periode
sebelumnya. KPU akan dapat memenuhi harapan DPR dan rakyat
Indonesia dalam menyelenggarakan pemilu yang lebih baik.
Independensi KPU sangat penting, jangan jadikan jabatan di KPU
itu menjadi batu loncatan untuk memperoleh
jabatan politik. Untuk itu, para anggota
Komisi II DPR tentu telah berhati-hati dalam memilih para calon yang bersih dari
sosok-sosok yang hanya ingin menjadikan KPU sebagai batu loncatan. Jangan kemudian ketika sedang menjabat atau bahkan ketika selesai
dari KPU, meloncat ke suatu parpol. Hal tersebut tentu akan mengundang kecurigaan, bahwa selama ini ia telah terafiliasi ke suatu parpol
tertentu.
Menjadi anggota KPU itu harus berani,
jujur, dan berintegritas. Tidak cukup hanya pintar secara akademik
saja. Tantangan
terberat KPU ke depan adalah
semakin kompleksnya persoalan
yang menyangkut pemilu di Indonesia. Apalagi sistem pemilu di Indonesia
termasuk paling rumit, paling mahal dan paling kompleks di dunia. Selamat
bekerja KPU Baru, selamat menyongsong Pemilu 2014. ***