Tradisi Mudik, Ketupat Lebaran, dan Halal Bihalal


Tradisi Mudik, Ketupat Lebaran, dan Halal Bihalal
Oleh : Fadil Abidin

            Mudik, ketupat lebaran dan halal bi halal adalah tiga tradisi yang tak bisa lepas dari hari raya Idul Fitri. Kata mudik menjadi kata yang paling sering disebut setiap menjelang berakhirnya bulan Ramadan. Tradisi mudik menjadi penanda bahwa hubungan emosional masyarakat dengan tempat kelahiran masih sangat kuat, tidak pernah terkikis oleh perjalanan waktu. Mudik dilatarbelakangi oleh kecenderungan menengok ke belakang, memandang masa lampau dan menegaskan kejatian diri, ”apa, siapa dan dari mana ia berasal”.

Mudik berasal dari kata “udik” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sungai di sebelah atas (dekat sumber) atau daerah di hulu sungai. Kata itu mengandung makna positif, yaitu bagian atas sungai atau bagian hulu sungai yang dekat sumber mata air, sehingga jernih dan belum terkena polusi. Namun ada makna kedua, yaitu “udik” berarti desa, dusun, kampung. Konotasi yang berkembang cenderung negatif karena “orang udik” sering dikaitkan dengan kebodohan dan terbelakang.
Menurut sosiolog Dr. Munandar Sulaiman, banyak nilai yang terkandung dalam tradisi mudik. Misalnya, selain menjaga silaturahim dengan kerabat di kampung halaman atau lebih jauh kita akan tetap ingat kepada asal-muasal kita. Motivasi mudik yang utama adalah momentum kembali ke fitrah dengan melakukan sungkem dan memohon maaf pada orang tua,  sanak saudara dan tetangga sekitar setelah sekian lama tidak bertemu. Sebuah tujuan yang sangat mulia dan memiliki nilai silaturahmi yang sangat tinggi.
            Pulang kampung bukan hanya sebatas untuk merayakan Lebaran bersama keluarga, tetapi juga untuk menghilangkan kepenatan beban kerja. Kerasnya kehidupan kota, bisingnya kota dan berbagai tekanan kerja lainnya membuat para urban ini mengalami stres di tempat kerja. Tenangnya suasana kampung halaman, ramahnya keluarga dan kerabat menjadi alasan yang tidak dapat ditolak untuk tidak mudik. Nostalgia kehidupan keluarga di kampung halaman juga menjadi salah satu obat mujarab untuk menghilangkan stres.
Karena itulah, para pemudik menjadi tidak perduli dengan banyaknya energi dan biaya yang harus dikeluarkan, seperti harus antre berhari-hari untuk bisa mendapatkan tiket dan dalam perjalanan harus melewati medan yang berat serta tingginya risiko yang harus dihadapi, seperti kecelakaan dan kriminalitas. Mereka pun yakin bahwa dengan bersilaturahmi di kampung halaman bersama anggota keluarga dan handai taulan, mereka akan menemukan kembali jati dirinya dan menimba kembali semangat dan kekuatan baru untuk menjadi penangkal dan senjata dalam menghadapi realitas kerasnya persaingan dalam kehidupan di kota nanti.
            Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam bukunya ”Sedang Tuhan pun Cemburu” (1994) menulis, orang beramai-ramai mudik sebenarnya sedang setia kepada tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya. Cak Nun menambahkan secara akar runtutan historis, setiap orang berusaha berikrar bahwa ia berasal dari suatu akar kehidupan, komunitas etnik, keluarga, sanak famili, bapak dan ibu, alam semesta yang berpangkal atau berujung dari Allah. Kesadaran ini diwujudkan para pemudik dengan bersusah payah bisa berada di tengah-tengah keluarga dan sanak kerabat tatkala Idul Fitri tiba.  Ketupat
            Serasa ada yang kurang, bila kita belum makan ketupat ketika Lebaran. Ketupat sudah dikenal sejak dulu terutama populer menjelang Hari Raya Idul Fitri atau Hari Raya Idul Adha. Ketupat adalah sejenis makanan yang terbuat dari nasi dan dibungkus oleh janur atau daun kelapa muda.
Dalam sejarah, Sunan Kalijaga adalah orang yang pertama kali mempopulerkannya pada masyarakat Jawa. Pada masa itu di tanah Jawa, hampir setiap rumah terlihat menganyam ketupat dari daun kelapa muda. Setelah sudah selesai dimasak, kupat tersebut diantarkan ke kerabat yang lebih tua, menjadi sebuah lambang kebersamaan.
Ketupat sendiri menurut para ahli memiliki beberapa arti, diantaranya adalah mencerminkan berbagai macam kesalahan manusia, dilihat dari rumitnya anyaman bungkus ketupat. Yang kedua, mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah mohon ampun dari segala kesalahan, dilihat dari warna putih ketupat jika dibelah dua. Yang ketiga mencerminkan kesempurnaan, jika dilihat dari bentuk ketupat. Semua itu dihubungkan dengan kemenangan umat Muslim setelah sebulan lamanya berpuasa dan akhirnya menginjak hari yang fitri.
Anyaman ketupat yang terdiri dari dua helai janur atau lebih, menandakan jalinan silaturahmi yang erat. Untuk membuat ketupat, diperlukan daya kreatif tersendiri agar dapat menghasilkan kantong-kantong anyaman janur yang memiliki nilai seni. Dengan demikian ketupat menjadi karya seni budaya. Apabila dilihat dari maknanya ketupat merupakan ungkapan budaya yang mengandung falsafah hidup yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai dasar dalam bersikap dan bertindak.
Dalam falsafah Jawa, ketupat terdiri dari beras/nasi yang dibungkus daun kelapa muda dan janur (bahasa Jawa). Beras/nasi adalah simbol nafsu dunia. Sedangkan janur berarti “jatining nur” (sejatinya nur), yaitu hati nurani. Jadi ketupat dimaksudkan sebagai lambang nafsu dan hati nurani, yang artinya agar nafsu dunia dapat ditutupi oleh hati nurani. Pesan yang terkandung di dalamnya adalah agar seseorang dapat mengendalikan diri, yaitu menutupi nafsu-nafsunya dengan hati nurani (dilambangkan nasi dibungkus dengan janur). Sebagaimana disadari bahwa di dalam diri manusia terdapat nafsu-nafsu buruk yang dapat mempermainkan manusia itu sendiri.
Ketupat yang dalam bahasa Jawa dan Sunda juga disebut kupat, dimaksudkan agar seseorang jangan suka ngupat, yaitu membicarakan hal-hal buruk pada orang lain karena akan membangkitkan amarah. Dengan lambang ketupat ini dipesankan agar seseorang dapat menghindarkan diri dari tindak ngupat tersebut.
Halal Bihalal
Halal bihalal, merupakaan dua kata berangkai yang sering diucapkan dalam suasana Idul Fitri,  istilah ini hanya dikenal oleh masyarakat Indonesia. Secara bahasa, halal bihalal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari.
Masyarakat Arab di Mekah dan Madinah justru biasa mendengar para jamaah haji Indonesia, dengan keterbatasan kemampuan bahasa Arab mereka sering bertanya, “ halal?Saat bertransaksi di pasar-pasar dan pusat perbelanjaan. Mereka menanyakan apakah penjual sepakat dengan tawaran harga yang mereka berikan, sehingga barang menjadi halal untuk mereka. Jika sepakat, penjual akan balik mengatakan “halal”. Atau saat ada makanan atau minuman yang dihidangkan di tempat umum, para jamaah haji biasanya bertanya “halal?” untuk memastikan bahwa makanan/minuman tersebut “sah” dan halal untuk mereka.
Kata majemuk ini tampaknya memang hasil kreasi orang Indonesia. Kata halal bihalal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (rumah, auditorium, aula, dsb) oleh sejumlah orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia”.
Menurut Dr. Quraish Shihab, halal bihalal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab halala yang diapit dengan satu kata penghubung ba (dibaca: bi) (Shihab, 1992: 317). Meskipun kata ini berasal dari bahasa Arab, tapi masyarakat Arab sendiri tidak akan memahami arti halal bihalal yang merupakan hasil kreativitas bangsa Melayu. Halal bihalal, tidak lain, adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara. Halal bihalal merupakan tradisi khas dan unik bangsa ini.
Halal bihalal juga dapat diartikan sebagai hubungan antar manusia untuk saling berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang serta mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Atau bisa dikatakan, bahwa setiap orang dituntut untuk tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali yang baik dan menyenangkan. Lebih luas lagi, berhalal bihalal, semestinya tidak semata-mata dengan memaafkan yang biasanya hanya melalui lisan atau kartu ucapan selamat, tetapi harus diikuti perbuatan yang baik dan menyenangkan bagi orang lain.
Dan perintah untuk saling memaafkan dan berbuat baik kepada orang lain seharusnya tidak semata-mata dilakukan saat Lebaran. Akan tetapi, harus berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari. Halal bihalal yang merupakan tradisi khas rumpun bangsa Nusantara merefleksikan bahwa Islam di negara-negara tersebut sejak awal adalah agama toleran, yang mengedepankan pendekatan hidup rukun dengan semua agama. Perbedaan agama bukanlah tanda untuk saling memusuhi dan mencurigai, tetapi hanyalah sebagai sarana untuk saling berlomba-lomba dalam kebajikan. ***