Politik Pencitraan Lewat
Baliho
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di OPINI Harian Analisa Medan, 17 Nopember 2012
Dimuat di OPINI Harian Analisa Medan, 17 Nopember 2012
Pemilihan Gubernur Sumatera Utara
(Pilgubsu) lima bulan lagi, tapi musim baliho telah tiba. Baliho dari
orang-orang yang merasa pantas menjadi bakal calon gubernur Sumatera Utara
telah bertebaran di mana-mana. Baliho tidak hanya terpampang di dalam kota
Medan, tetapi telah merambah keluar kota, di sepanjang tepi jalan hingga ke
kabupaten/kota di seluruh Sumatera Utara. Beberapa bupati yang merasa punya
kans “dilirik” partai politik, tak ketinggalan pula memasang baliho di wilayah
kekuasaannya.
Tak jelas, apakah pemasangan ribuan
foto diri lewat baliho ukuran besar tersebut mengindikasikan sang tokoh telah
terjangkit narsisme yang akut. Gejalanya, tak perduli terpilih atau tidak
terpilih sebagai calon gubsu, yang penting foto diri telah bertebar di mana-mana,
yang penting tambah terkenal. Semua baliho di samping terpampang foto diri,
juga ada slogan-slogan yang mempromosikan janji-janji politiknya. Bahkan ada
yang percaya diri menuliskan “Sukses Memimpin Sumut 2013-2018” dalam balihonya.
Promosi politik untuk mendongkrak citra diri melalui baliho sepertinya
menjadi ”penyakit baru” bagi mereka yang berambisi menjadi kepala daerah. Tak
perlu memiliki visi dan misi yang bernas dan logis, cukup dengan memajang
gambar diri dengan senyum lebar tanpa dosa ditambah janji-janji, maka seseorang
sudah bisa mengaku diri sebagai calon pemimpin masa depan.
Sepintas lalu tidak ada yang salah dengan isi baliho tersebut,
bahkan umum ditemui. Namun yang membuat miris dan sakit hati adalah saat
membaca baliho tersebut itu di tengah jalan yang rusak parah, becek dan
tergenang air. Hal ini tentu membuat rakyat berpikir bahwa pemimpin itu hanya bisa
omong doang, membual gombal, dan
hanya tipu-tipu. Nah, dalam kondisi ini disuguhi pula senyuman kepala daerah
yang mau maju dalam pilgubsu dalam baliho-baliho besar.
Ada fenomena unik dalam mudik Lebaran melewati beberapa ruas
jalan antar kabupaten/kota di Sumatera Utara beberapa waktu lalu. Baliho beberapa
kepala daerah dari kabupaten/kota yang berniat maju dalam Pilgubsu, tertempel
di sepanjang jalan. Namun jalannya penuh lubang, tidak rata, berdebu, dan
sangat rawan kecelakaan. Bukankah yang terluap adalah sumpah serapah, makian,
dan cacian yang tiada henti. “Apa prestasimu! Kok, kamu masih bisa tersenyum di
atas penderitaan rakyat seperti ini?”
Apakah mereka tidak punya rasa malu lagi? Kok,
berani-beraninya maju dalam Pilgubsu padahal ketika memimpin kabupaten/kota saja
masih banyak masalah belum teratasi. Padahal rakyat yang melihatnya, lebih
berpikir daripada sang kepala daerah buang-buang uang untuk memasang baliho,
lebih baik untuk dana pembangunan. Pemimpin harus peka setelah membaca ini.
Alih-alih menempel baliho, spanduk, dan poster di mana-mana dengan tulisan,
“Pilih Saya!” mending menulis “Maafkan Saya”. Lebih simpatik dan lebih memahami
perasaan rakyat yang dipimpinnya.
Kurang Efektif
Selain gejala narsisme, ada juga niat dari orang-orang
tersebut memasang baliho adalah untuk memperkenalkan diri. Hal ini sebenarnya
memalukan sekali. Itu berarti menunjukkan bahwa orang tersebut boleh jadi satu
atau lebih dari tiga hal ini. Pertama, orang tersebut tidak dikenal, kedua
tidak terkenal atau ketiga orang tersebut tidak berarti bagi rakyat di daerah ini.
Jika tetap ngotot dengan politik pencitraan lewat baliho berarti orang tersebut
memaksakan diri untuk dikenal dan terkenal padahal sebenarnya tidak.
“Kok hari gini
baru mengenalkan diri kepada rakyat?” Kalau memang anda di hati rakyat, yang
sudah terbukti pengorbanan dan kontribusinya kepada masyarakat, tidak perlu
baliho pun rakyat sudah memperkenalkan anda dari mulut ke mulut, bahkan dari
hati ke hati. Bukan saatnya lagi pemimpin tebar pesona dengan politik baliho.
Percuma pasang itu semua di mana-mana, namun rakyat hanya tahu nama, tapi tidak
tahu prestasinya apa, rekam jejaknya bagaimana.
Yakub Adi Krisanto dari Pusat Studi Antikorupsi dan Good
Government UKSW menyebut fenomena spanduk-spanduk politik sebagai politik
spanduk. Para pejabat dan politisi menurutnya gemar memanfaatkan perayaan
hari-hari besar seperti Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru untuk tampil di baliho
dan spanduk. "Ini lebih sebagai pencitraan mereka. Juga dapat dimaknai
representasi kegagalan mereka hadir di masyarakat sehingga harus melalui
spanduk politik," (vivanews.com, 25/9/2012).
Baliho merupakan bentuk komunikasi dengan publik. Namun
komunikasi ini berjalan pincang karena hanya searah. Masyarakat dipaksa
menengok foto para tokoh itu, tanpa ada nilai yang lebih berarti. Komunikasi
seperti itu merupakan bentuk egoisme calon pemimpin terhadap rakyat. Mereka
hanya ingin dilihat dan didengar, tapi tidak mau melihat, mendengar dan
merasakan apa yang diinginkan rakyat.
Masyarakat Sumut tentu tidak akan terkelabui oleh propaganda
baliho yang dilakukan oleh para bakal calon (balon). Pada saat ini seharusnya para
balon Gubsu harus lebih konsentrasi untuk mendapatkan dukungan dari partai
politik. Sehingga baliho, spanduk atau poster kurang
efektif dijadikan ruang untuk membeberkan visi dan misi para kandidat. Lebih
baik menggunakan media massa agar visi misinya bisa dipaparkan secara panjang
lebar. Agar rakyat bisa tahu sejak dini. Pasanglah advetorial atau iklan, itu
lebih efektif. Sampaikan visi, misi dan apa program-programnya, sehingga partai
politik akan tertarik pada sang calon.
Romain Lachat dan Pascal Schiarini (2002) berpendapat dalam
buku, Do Political Campaigns Matter? Bahwa kampanye yang dilakukan
dalam tenggat waktu singkat cenderung tak akan menyentuh para pemilih.
Hal itu sepertinya tidak dipahami oleh para politisi di republik ini.
Kecenderungan yang terjadi adalah mereka memilih berkampanye ala kadarnya.
Apalagi mereka percaya bahwa bobot “uang kampanye” sangat menentukan keterpilihan.
Itu sebabnya program yang dijalankan pun lebih kepada pencitraan. Baliho
dan spanduk berserakan di mana-mana. Sekadar agar orang tahun bahwa dia
ikut pencalonan. Setelah itu, menurut mereka, biarkan ”uang” yang berbicara.
Padahal kampanye dengan mengandalkan uang tak memberikan
jaminan keterpilihan. Para pemilih memiliki logikanya sendiri. Hanya dengan
program yang terencana dan bertahaplah membuat seseorang mampu dicintai
oleh para pemilih. Prestasi kerja harus diraih jauh sebelumnya, rekam jejak telah
terbukti sebagai orang yang bersih dan jujur.
Jika ia berasal dari golongan non-pemerintahan, jawabannya
adalah kerja sosial yang sungguh-sungguh menyentuh publik pemilih. Ia kerja
sosial, memberi bea siswa bagi anak miskin, bagi-bagi sembako atau mengadakan
pengobatan gratis tidak hanya menjelang kampanye saja. Tapi kerja sosial
tersebut telah ia lakukan rutin dan berkesinambungan bertahun-tahun sebelumnya.
Belajar dari Jakarta
Pilkada Jakarta telah berlalu, pilkada ini merupakan pelajaran
berarti bagi para calon kepala daerah. Kemenangan Jokowi-Basuk atas petahana
(incumbent) menunjukan rakyat lebih suka pemimpin yang membumi dan
terbukti bekerja. Para calon kepala daerah jangan terlalu terpukau oleh koalisi
partai politik pengusung yang jumlahnya banyak. Berkoalisilah dengan rakyat,
jangan hambur-hamburkan uangmu yang hanya akan menggodamu untuk melakukan
korupsi di kemudian hari jika menjabat.
Meskinya, yang mau maju memimpin Sumut harus menyimak
pelbagai perkembangan politik tanah air yang terjadi. Pilkada Jakarta adalah
contoh berarti, bagaimana kecenderungan rakyat pemilih mengalami perubahan
yang amat pesat. Mereka butuh bukti bukan janji, apalagi manipulasi baliho
yang terbukti tidak substansial menyentuh perasaan publik. Bahkan tak
jarang menimbulkan antipati.
Pemimpin yang ”matang” itulah yang jarang. Mereka digerus pengalaman
dan mau belajar dari dasar. Bukan yang terburu-buru meloncat ingin berkuasa,
calon-calon pemimpin instan yang tak jelas rekam jejaknya. Itu sebabnya Jean
Blondel dalam bukunya, Political Leadership, Towards a General Analysis
(1987) menyatakan bahwa antara pemimpin (leader) dan ketua (chief)
tak bisa disamakan. Bak langit dan bumi. Menjadi pemimpin tak bisa disamakan
dengan manajer di sebuah perusahaan. Meskipun pernah memimpin sebuah
perusahaan adalah aspek penunjang namun bukan berarti segala-galanya.
Alangkah nekatnya seseorang yang merasa mampu memimpin negeri ini dengan
alasan bahwa ia merupakan pemimpin sebuah/lebih perusahaan.
Dalam ruang opini ini, saya berharap bisa mengingatkan para
calon pemimpin di daerah ini untuk bercermin diri. Bahwa sudah tak
zamannya lagi mendekati rakyat dengan kampanye “menjual diri” melalui umbar
janji dan pajang foto sana-sini. Pemimpin yang baik itu bukan lahir dari
proses karbitan yang instan. Tapi melalui proses yang panjang untuk mematangkan
diri. Untuk para calon pemimpin di masa akan datang hendaklah bekerja dan
bekerja, suatu waktu nanti kerja itu akan berbuah manis. Rakyat dengan sendirinya
yang akan meminta anda untuk memimpin. Tak perlu lagi memajang diri dalam
baliho yang besar-besar. Tak perlu melakukan politik pencitraan lewat baliho,
tapi lakukanlah pencitraan lewat prestasi dan rekam jejak yang gemilang.
Modal menjadi pemimpin itu tak cukup hanya dukungan
parpol, banyaknya materi, apalagi cuma pemasangan ribuan baliho. Diperlukan
kecerdasan, kedisiplinan dan kegigihan yang luar biasa dalam mengurai benang
kusut visi dan misi yang hendak dicapai agar tujuan bisa terwujud. ***