Pilgubsu dan Rekor Baru Golput



Pilgubsu dan Rekor Baru Golput
Oleh : Fadil Abidin


Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) lagi-lagi membuat rekor baru. Pada Pilgubsu 2008, gubernur terpilih Syamsul Arifin yang dilantik pada 16 Juni 2008 dan kemudian ditahan oleh KPK pada 22 Oktober 2010. Praktis ia hanya menduduki kursi gubernur Sumut selama 2 tahun 4 bulan. Rekor tercepat seorang gubernur yang ditahan KPK ketika menjabat pada waktu itu.

Pilgubsu 2008 juga mencatat rekor sebagai pilkada paling ‘golput’ se-Indonesia pada waktu itu. Pilgubsu yang berlangsung 16 April 2008 tingkat partisipasi pemilih hanya 58%, berarti ada sekitar 42% yang tidak ikut memilih alias golput. Angka golput ini merupakan tertinggi di Indonesia pada periode tersebut.
Pilgubsu 2013 juga mencatat rekor baru golput yang diperkirakan mencapai 50-53%. Angka golput ini memecahkan rekor golput sepanjang pemilihan kepala daerah, bahkan dalam pemilihan apapun sejak republik ini berdiri. Barangkali tingkat golput Pilgubsu 2013 perlu dicatatkan dalam buku rekor MURI (Museum Rekor Indonesia) atau secara internasional patut dicantumkan dalam Guiness Book of Records. Perlu dicatat, rekor golput sebesar itu merupakan rekor dunia dalam sejarah pemilihan umum di era modern.  
Ironisnya, tidak ada yang merasa bertanggung jawab terhadap angka golput tersebut. Para komisioner KPU Sumut dan komisioner KPU di tingkat kabupaten/kota tetap bisa tidur nyenyak. Mereka telah menyiapkan berbagai dalih dan alasan terhadap persoalan ini. Tingkat golput memang tidak akan membuat mereka terkena sanksi, bahkan akan tetap mendapat pujian karena telah menyelenggarakan pilkada dengan aman, tenang dan damai. Mereka masih merajut mimpi untuk meneruskan jabatan empuk sebagai komisioner KPU di periode berikutnya. Masa kerja lima tahun tapi hanya mengurusi beberapa kali pemilu dengan pendapatan yang lumayan, merupakan pekerjaan yang diburu banyak orang.
Tingkat golput yang tinggi bukanlah salah satu indikator kegagalan bagi para komisioner KPU. Berdasarkan pengalaman penulis yang pernah mengikuti seleksi anggota KPU, pertanyaan bagaimana cara meminimalkan angka golput, bukanlah salah satu hal yang pernah diajukan para panelis penguji seleksi anggota KPU.
Bagi para komisioner KPU angka golput tidaklah penting berapapun angkanya. Mereka tidak akan diberi peringatan, dievaluasi, diberi sanksi, atau diberhentikan walaupun tingkat partisipasi pemilih cuma 25%. Dana miliaran rupiah untuk sosialisasi Pilgubsu 2013, seperti asap yang lenyap tanpa bekas. Tidak ada audit terhadap efektivitas sosialisasi yang dilakukan KPU. Bagi mereka sosialisasi cukup memasang baliho, iklan, dan menemui para anggota penyelenggara pemilu di bawahnya (PPK, PPS dan KPPS). Tidak ada trobosan yang baru, masih cara lama yang sudah basi.   
Amburadul
Selama ini ada kesan, ketika ada golput maka yang disalahkan semata-mata adalah masyarakat. Padahal penyebab utama masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya tidak semata-mata karena masyarakat malas datang ke tempat pemungutan suara (TPS) atau tidak punya pilihan karena tidak percaya pada salah satu pasangan, tapi juga karena disebabkan amburadulnya aparat pelaksana Pilgubsu.
Sampai pada hari ‘H’ pemungutan suara, masih banyak warga yang tidak punya undangan memilih (formulir C6). KPPS yang bertugas pun tidak maksimal membagikan undangan memilih. Menurut pantauan penulis, di beberapa TPS di beberapa kelurahan di Kota Medan, dari 500-600 pemilih dalam DPT, formulir C6 yang terbagi ke masyarakat hanya mencapai 200-250 orang. 
Sesuai dengan ketentuan, warga yang tidak punya undangan memilih memang bisa menggunakan kartu tanda penduduk (KTP) asal terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Tapi masalahnya, banyak warga yang tidak tahu di mana TPS yang bersangkutan menggunakan hak pilihnya. Banyak warga yang tidak mendapat undangan memilih mengeluh karena tidak tahu harus mengecek ke mana TPS-nya.
Selain itu para komisioner KPU, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/ kota memilih ‘bermain aman’. Jumlah pemilih dalam DPT sengaja mereka ‘gelembungkan’ untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan kekurangan logistik dan surat suara. Praktik ‘penggelembungan’ ini antara lain dengan melebihkan jumlah DPT.
KPU Sumatera Utara pada Pilgubsu lalu telah menetapkan jumlah pemilih Sumut sebanyak 10.310.872 jiwa. Maka sebenarnya jumlah pemilih yang riil tidaklah sebanyak itu. Ada kesan kesengajaan untuk tidak menghapus pemilih yang telah meninggal dunia dan pindah alamat/domisili dari DPT. Bahkan jumlah pemilih ganda dan nama ‘siluman’ juga banyak. Mark up jumlah pemilih ini konon sudah biasa dipraktikkan oleh berbagai KPU di daerah untuk mengantisipasi kekurangan logistik dan surat suara. Bukankah lebih baik berlebih ketimbang kurang?    
Akibatnya, orang yang sudah meninggal dunia atau pindah domisili 5-10 tahun yang lalu masih tercantum di DPT. Petugas pemutakhiran data pemilih sebenarnya telah bekerja secara riil melalui Kepala Lingkungan setempat melakukan coklit (pencocokan dan penelitian) dengan menghapus nama mereka yang meninggal atau pindah dari DPS (Daftar Pemilih Sementara). Tapi ketika sampai di KPU dan ditetapkan menjadi DPT, nama-nama tersebut muncul kembali. Alasan KPU sangat sederhana, nama yang bersangkutan tidak mengurus surat pindah atau surat meninggal dunia di dinas kependudukan. Hasil kerja pemutakhiran data pemilih dan kepling pun menjadi sia-sia.   
Maka tidaklah heran, jika tiap pilkada tiba, data penduduk seketika itu pula berubah menjadi banyak. KPU tidak akan menghapus mereka yang meninggal dunia atau pindah domisili jika tidak ada surat keterangan melalui instansi yang resmi. Nama-nama tanpa oknum dalam DPT inilah yang menjadi salah satu sebab jumlah golput juga banyak. Nama-nama ‘siluman’ ini entah untuk tujuan apa tetap dimunculkan oleh KPU dalam DPT.
Angka golput yang mencapai 50% bisa jadi merupakan sinyal kepada para pemimpin bahwa rakyat sebenarnya sudah jenuh terhadap ‘kepalsuan’ demokrasi ala pilkada ini. Masyarakat enggan memberi hak suaranya dapat dijadikan indikasi masyarakat tidak berharap banyak dari proses demokratisasi itu. Mereka saat ini tengah menunggu, bukan menunggu perubahan atau gebrakan dari gubernur yang baru. Tapi tengah menunggu sampai kapan gubernur terpilih nanti dicokok KPK seperti gubernur sebelumnya.   
Angka golput pada Pilgubsu 2013 memang patut dicatat dalam buku rekor sebagai angka golput tertinggi di Indonesia. Di satu sisi, masyarakat telah apatis dan di sisi lain diperparah oleh tidak efektifnya penyelenggara pemilu dalam melakukan sosialisasi. ***