Republik ‘Impor’ Indonesia



Republik ‘Impor’ Indonesia
Oleh : Fadil Abidin

            Beberapa waktu lalu harga tahu dan tempe melambung tinggi. Hal ini disebabkan oleh naiknya harga kacang kedelai sebagai bahan baku pembuatan tahu dan tempe. Harga kacang kedelai naik, karena di Amerika Serikat terjadi anomali cuaca sehingga terjadi gagal panen. Apa hubungannya harga tahu dan tempe dengan anomali cuaca di Amerika? Ternyata tahu dan tempe yang kita makan berasal dari kedelai impor asal Amerika. Indonesia saat ini masih mengimpor sekitar 65% kedelai dari Amerika dan negara-negara lainnya.

            Kini harga bawang merah dan bawang putih juga melambung tinggi. Apa sebab? Konon katanya akibat terlambatnya pasokan impor dari luar negeri. Indonesia saat ini mengimpor bawang putih sekitar 90% dari kebutuhan dalam negeri. Sementara katanya kita telah swasembada bawang merah, tapi ternyata bawang merah masih juga diimpor. Tersendatnya pasokan impor dari luar negeri yang kemudian diduga ada praktik penimbunan barang oleh para importir menyebabkan harga bawang melonjak tinggi. Kenaikan harga bawang ternyata diikuti juga oleh harga cabai dan hasil holtikultura lainnya.
            Kedua peristiwa di atas merupakan contoh betapa Indonesia tidak mempunyai kedaulatan pangan. Untuk urusan ‘sepele’ seperti kacang kedelai dan bawang saja, pemerintah tidak sanggup mengatasinya. Tidak ada upaya yang serius dan sistematis agar negara ini berdaulat atas pangan. Ketergantungan atas komoditas pangan impor, membuat rakyat di negeri ini mudah terkena guncangan disparitas harga.
Indonesia yang diketahui sebagai negara kepulauan yang memiliki 70% wilayah perairan dan daratan yang mencapai 30%. Indonesia yang secara georgrafis terletak di garis khatulistiwa dengan penyinaran mahatahari yang dua kali lebih banyak dibandingkan dengan negara lain. Negara kita juga kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia serta dianugerahi tanah yang subur. Namun ada sebuah pertanyaan,  mengapa masih saja pemerintah Indonesia melakukan kebijakan impor pangan?
Kita patut mempertanyakan kebijakan pemerintah yang melakukan impor garam.  Padahal negara kita adalah negara maritim dengan garis pantai terpanjang di dunia. Lalu mengapa kita masih tetap melakukan impor garam besar-besar dari negara lain? Sepanjang tahun 2012, pemerintah telah mengimpor garam sebanyak 2,2 juta ton dengan nilai yang mencapai US$ 108 juta. Negara pemasok garam utama adalah Australia dengan berat garam impor sebanyak 1,6 juta ton dengan nilai US$ 80,9 juta. Selain itu, India juga memasukkan garam impornya sebanyak 566 ribu ton dengan nilai US$ 25,4 juta, Selandia Baru sebanyak 1.574 ton dengan nilai US$ 596 ribu, China sebanyak 5.981 ton dengan nilai US$ 475 ribu, dan Jerman sebanyak 429 ton dengan nilai US$ 362 ribu. Indonesia juga masih mengimpor ikan laut dari China, Jepang, dan Thailand sebagai bahan baku ikan kaleng.  

Segalanya Impor
Untuk memenuhi kebutuhan rakyat akan daging sapi, pemerintah juga mengimpor daging sapi dari Australia. Hal ini dilakukan oleh pemerintah dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan akan daging khususnya pada saat hari raya. Pemerintah masih tetap lalai dalam menangani masalah yang berhubungan dengan penanganan kelangkaan daging bagi kebutuhan dalam negeri. Kejadian yang sama selalu terulang dari tahun dan ke tahun, pemerintah kita hanya bisa melakukan impor daging sapi.
Indonesia adalah negara yang subur dan seharusnya sangat cocok untuk dijadikan negara penghasil komoditi alam seperti pertanian, perkebunan, perikanan dan juga peternakan. Namun, Indonesia adalah negara yang tergolong sebagai pengimpor komoditi alam yang cukup besar. Walaupun kita bisa menghasilkan kentang, tapi saat ini kita lebih memilih impor kentang. Alasannya, harga kentang yang berasal dari China hanya berkisar Rp.2.200 per kilogram jauh dibawah kentang lokal yang berharga Rp.5.500-Rp.6.000 per kilogram.
Beras adalah bahan pangan yang paling dibutuhkan di Indonesia. Oleh karena itu, para petani di daerah pedesaan seakan berlomba-lomba memanfaatkan celah ini agar Indonesia dapat mencapai cita-citanya untuk menjadi negara swasembada beras. Namun aliran beras impor dengan deras menerjang Indonesia. Harian Kontan edisi 6 Oktober 2011 mengemukakan data Badan Pusat Statistik yang mencatat jumlah beras impor yang masuk ke Indonesia pada periode Januari hingga Agustus 2011 sudah mencapai 1,62 juta ton dengan nilai US$ 861,23 juta. Impor tertinggi pada periode Januari hingga Agustus 2011 berasal dari Vietnam yang mencapai 905.930 ton atau 55,83%. %. Pada semester ke dua tahun ini Perum Bulog juga memiliki kontrak impor beras kurang lebih 500.000 ton.
Ironisnya, Indonesia juga mengimpor singkong. Sepanjang tahun 2012, impor singkong tercatat 13,3 ribu ton atau senilai US$ 3,4 juta. Thailand memasukkan singkong ke tanah air sebanyak 6.185 ton dengan nilai US$ 1,6 juta, China sebanyak 5.057 ton dengan nilai US$ 1,3 juta, dan Vietnam sebanyak 2.048 ton dengan nilai US$ 519 ribu.
Buah dan sayuran impor memang bukan tren baru. Ada banyak cerita pula jika buah lokal kerap harus diberi label asing agar laris di mata konsumen. Dalam sepuluh tahun terakhir, data Badan Pusat Statistik menunjukkan impor produk hortikultura meningkat tajam. Pada 2011, angkanya US$1,7 miliar atau sekitar Rp17 triliun. Impor terbesar datang dari Cina, Thailand, dan Amerika Serikat.
Ada 10 komoditas buah utama yang menjadi favorit masyarakat, yaitu jeruk mandarin atau Shantang yang masuk ke Indonesia sebanyak 179,4 ribu ton dengan nilai US$ 176,6 juta tahun lalu. Negara terbesar pengimpor jenis jeruk ini adalah China dan Australia, dengan total nilai impor sebanyak 4.852 ton dengan nilai US$ 4,5 juta. Kemudian, apel yang sepanjang tahun lalu telah diimpor sebanyak 184 ribu ton dengan nilai US$ 170,5 juta. Negara pengimpor apel terbesar adalah China dengan total impor 127 ribu ton dengan nilai US$ 119,3 juta sepanjang tahun ini. Kemudian, Amerika Serikat dengan jumlah 49 ribu ton dengan nilai US$ 41 juta. Buah impor lengkeng, sepanjang tahun ini telah masuk sekitar 120 ribu ton dengan nilai US$ 138,5 juta, anggur total impornya 59,5 ribu ton dengan nilai US$ 122,9 juta, buah pir yang diimpor sebanyak 131,1 ribu ton dengan nilai US$ 105 juta. Lalu, durian sebanyak 20 ribu ton dengan nilai US$ 29 juta, kurma sebanyak 22,6 ribu ton dengan nilai US$ 26,3 juta, jeruk impor totalnya 32,5 ribu ton dengan nilai US$ 26,1 juta, buah naga 13 ribu ton dengan nilai US$ 11 juta, dan kiwi dengan total impor 3.474 ton dengan nilai US$ 7,5 juta (detikfinance, 6/2/2013).
Republik Impor
Saat ini ketergantungan Indonesia atas produk pangan impor, antara lain sebesar 100% untuk impor gandum. Gandum merupakan bahan baku untuk membuat roti dan mi instan. Rakyat Indonesia merupakan konsumen mi instan terbesar di dunia. Indonesia juga mengimpor 70% kebutuhan susu, dan 54% kebutuhan gula.
Beras impor, kedelai impor, gula impor, ikan impor, buah impor, garam impor, gandum impor, bawang impor, bahkan singkong pun diimpor. Lalu apa yang tidak impor? Kapan Indonesia mandiri dalam urusan pangan?
Ada banyak alasan pemerintah mengapa barang-barang seperti di atas tetap saja impor, terutama harganya yang lebih murah ketimbang produk lokal. Tetapi ada satu hal yang tidak pernah terungkap adalah bahwa banyak mafia yang bermain pada sektor ini. Dan, sangat boleh jadi pemerintah terperangkap dalam cara kerja mafia itu. Karena itu pemerintah enggan menghentikan kebijakan impor.
Sebab mereka juga meneguk untung. Atau bila pemerintah menghentikan impor kebutuhan-kebutuhan tersebut, sejumlah orang yang selama ini meraup untung dari bisnis itu akan marah. Maka yang terjadinya adalah rekayasa penimbunan barang sehingga menjadi langka dan harganya mahal. Dan tidak ada jalan lain bagi pemerintah selain membuka keran impor sebanyak-banyaknya agar harga turun melalui para importir. 
Sementara petani penghasil beras, gula, garam, bawang, dan buah sudah teriak. Hasil jerih payah mereka menjadi tidak bernilai dan berharga karena masuknya barang-barang impor tersebut. Leher mereka tercekik dan nyaris tidak bisa bernapas oleh gempuran barang impor yang bahkan datang hingga ke pintu-pintu rumah mereka.
Pemerintah seharusnya lebih menghargai petani dan nelayan dalam negeri. Berantas mafia impor yang sengaja memainkan harga. Hentikan impor berbagai macam barang itu dan pakailah produk petani dalam negeri. Sebab mayoritas penduduk negeri ini adalah petani. Masa hasil kerja mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia? Carilah solusi yang bersifat jangka panjang. Bukan jalan pintas. Impor adalah adalah kebijakan jalan pintas dan kalau tidak segera dihentikan akan mengancam masa depan bangsa ini. Atau kalau tidak ubah saja nama negara ini menjadi Republik Impor Indonesia.