Presiden RI, Antara Primbon dan Mitos Notonegoro



Presiden RI, Antara Primbon dan Mitos Notonegoro
Oleh : Fadil Abidin

            Sebelum Joko Widodo alias Jokowi muncul ke pentas nasional sebagai tokoh poltik ‘the rising star’, banyak orang Jawa meyakini bahwa setelah Susilo Bambang Yudhoyono mengakhiri masa kepersidenannya, maka yang menjadi Presiden RI berikutnya adalah Prabowo Subianto. Tapi setelah Jokowi mendadak populer, nama Prabowo seakan mengalami ‘degradasi’.  

Hal ini mengacu pada ramalan mitos notonegoro, bahwa setelah nama pemimpin Indonesia yang berakhiran “no” maka sebagai gantinya akan muncul nama “to”. Soekarno digantikan Soeharto, dan Yudhoyono akan digantikan Subianto? Tapi kemudian juga muncul penyimpangan karena nama lengkap dari Prabowo adalah Prabowo Subianto Djojohadikusumo, berakhiran “mo”.
Kemudian yang pro-Jokowi menganggap Jokowi lebih mendekati kepada ramalan Notonegoro. Joko Widodo terlahir dengan nama masa kecil Mulyono, sama dengan Soekarno yang mempunyai nama kecil bernama Koesno Sosrodihardjo. Jadi sama-sama pernah ganti nama ketika masih kecil.    
Primbon Jawa
Hiruk-pikuk Pilpres 2014 mengingatkan saya akan kebiasaan orang Jawa untuk membuka kitab primbon dan menghitung ‘weton’ calon pemimpinnya. Kitab primbon pada dasarnya adalah catatan tentang berbagai kejadian yang telah berlalu, fenomena alam, gestur, karakter dan anatomi manusia, fenomena tempat dan waktu, ramalan, prakiraan, dan petuah-petuah. Catatan tersebut telah dibukukan dengan rapi oleh pujangga atau orang pintar sehingga catatan itu sampai sekarang bisa dipelajari dengan mudah.
Salah satu buku atau kitab primbon yang terkenal dan masih digunakan sebagai rujukan untuk membaca situasi jaman saat ini adalah Betal Jemur Adammakna dan juga Baboning Kitab Primbon. Dua buku inilah yang memuat berbagai macam catatan tentang kehidupan manusia, baik dari manusia itu sendiri dan juga yang berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari dari lahir sampai dengan meninggal dunia.
Salah satu ‘bab’ dalam kitab primbon ada yang membahas tentang ‘weton’ untuk mengetahui karakter seseorang. Dalam bahasa Jawa, ‘weton berasal dari kata dasar wetu yang bermakna keluar atau lahir yang kemudian mendapat akhiran–an sehingga membentuk kata benda. Weton adalah gabungan antara hari dan hari pasar saat bayi dilahirkan ke dunia. Kalender Masehi mengenal nama hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan Minggu sedangkan Kalender Jawa mengenal hari pasar yaitu Legi, Wage, Pon, Kliwon, dan Pahing. Maka weton adalah kombinasi keduanya, sehingga ada 35 hari weton. Perputaran ini berulang setiap 35 (7 x 5) hari, sehingga menurut perhitungan Jawa hari kelahiran anda berulang setiap lima minggu dimulai dari hari kelahiran anda.
Dengan rumus perhitungan tertentu, dapat diketahui weton seseorang berdasarkan tanggal, bulan, dan tahun lahirnya.Dari weton inilah diketahui watak, karakter, jodoh, keberuntungan, sifat-sifat baik, sifat-sifat buruk, kecenderungan, pilihan profesi, dan konon juga masa depan seseorang. Perlu diketahui bahwa Jokowi lahir 21 Juni 1961, dan Prabowo lahir 17 Oktober 1951. Berdasarkan primbon Jawa mereka ternyata mempunyai weton yang sama, yaitu Rabu Pon!
 Berdasarkan weton, jika Anda lahir pada Rabu Pon mempunyai karakter antara lain sebagai berikut (dikutip dari Primbon.com). Pada dasarnya, anda termasuk tipe yang penuh keberuntungan, karena anda selalu merencanakan tindakan anda dengan hati-hati, terbuka terhadap peluang yang baru, dan tidak mudah putus asa. Anda juga memiliki beberapa keterampilan sosial, sehingga sejelek apapun wajah anda, kemungkinan besar anda mudah bergaul dengan orang lain! Sisi buruknya, anda suka sekali pamer. Mungkin anda hanya haus perhatian sewaktu masih kecil, sehingga kini anda merasa harus membuat kagum semua orang dengan kepandaian atau kekayaan anda. Jadilah diri sendiri dan orang lain akan menyukai anda apa adanya. Akan lebih baik juga bila anda berusaha untuk tidak terlalu menyalahkan orang lain yang secara tidak sengaja menyakiti perasaan anda.
Ternyata telaah dari primbon tersebut, nyaris mendekati karakter kedua capres. Satu karakter dimiliki Jokowi, dan satu karakter lagi dimiliki Prabowo. Jadi seakan ada karakter terbelah dan bertolak belakang, padahal mereka seharusnya satu.  Keduanya memang penuh keberuntungan. Prabowo beruntung terlahir dari keluarga priyayi, kaya-raya, terpandang, terdidik, ketika menikah dengan putri Presiden Soeharto (walaupun kemudian bercerai), karier militernya dengan cepat menanjak. Tapi ketika Presiden Soeharto lengser, maka karier militernya juga tamat.
Sementara Jokowi memang tidak seberuntung Prabowo, Jokowi adalah gambaran rakyat jelata Indonesia pada umumnya. Masa kecil Jokowi dilalui dengan pahit, untuk kuliah di UGM pun keluarga besarnya harus ikut ‘urunan’. Keberuntungan Jokowi justru datang setelah ia meneruskan usaha ayahnya menjadi tukang kayu (furniture) dengan skala ekspor. Kemudian ia terjun ke dunia politik dengan ikut pemilihan walikota Solo, dan tahun-tahun berikutnya namanya melambung karena gaya kepemimpinannya yang merakyat.
Untuk selanjutnya para pembaca dipersilahkan memberikan analisa, telaah, dan pandangannya masing-masing berdasarkan weton Rabu Pon di atas!    
Ramalan Jayabaya
            Jika dunia Barat ada peramal futuristik terkenal bernama Nostradamus (1503-1566) dengan karya berjudul Les Propheties. Di bumi Nusantara 400 tahun sebelumnya ada Jayabaya yang juga mempunyai kemampuan meramal masa depan. Jayabaya adalah raja Kediri yang memerintah tahun 1135-1157. Terdapat beberapa naskah yang berisi “Ramalan Jayabaya”, antara lain Serat Jayabaya Musarar, Serat Pranitiwakya, dan lain sebagainya.
            Beberapa ramalan Jayabaya memang lumayan fenomenal, banyak ramalannya yang bisa ditafsirkan “mirip” keadaan setelahnya. Jayabaya misalnya telah meramalkan tentang bangsa utara berkulit pucat yang akan menguasai Nusantara dengan tongkat berapi  (zaman penjajahan bangsa Eropa). Kemudian kedatangan “saudara tua” menguasai Nusantara yang lamanya hanya seumur jagung (penjajahan Jepang).
Kemudian ada ramalan tentang “kreto mlaku tanpa jaran”, “Prau mlaku ing nduwur awang-awang”, kereta tanpa kuda dan perahu yang berlayar di atas awan (mobil dan pesawat terbang?). Ramalan tentang berbagai bencana alam yang dahsyat, global warming (musim yang tidak teratur), zaman globalisasi, hingga zaman edan (mungkin zaman mendekati hari kiamat) dengan istilah yang kerap dikutip, “zaman edan, sing ora edan ora keduman” (zaman edan/gila, yang tidak ikut edan tidak kebagian).  
Mitos Notonegoro
            Mitos notonegoro sebenarnya bercerita tentang satria piningit (satria yang ditunggu), Ratu Adil, juru selamat, messiah, imam mahdi, atau dalam budaya Asia Timur disebut Kalky Autar atau Avatar, sedangkan dalam mitologi Yunani disebut Prometheus, dewa yang memberikan api (pencerahan) pada manusia.
            Dari mitos ini kita mengenal nama Soekarno, karena suku kata namanya berakhiran “no” dan entah mengapa kemudian dihubungkan dengan mitos ramalan “notonegoro”. Lalu ditafsirkan bahwa orang yang bisa ‘menata negara’ atau menjadi pemimpin di Nusantara adalah orang yang namanya berakhiran no, to, ne, go, atau ro. Bisa juga cukup “no” dan “to” saja.  
Buah dari akibat ramalan ini adalah suku kata “no” dan “to” menjadi suku kata akhir kebanyakan nama orang Jawa. Para orangtua (untuk laki-laki) memberi nama anaknya dengan akhiran  “no” atau “to”, tujuannya adalah supaya anak tersebut menjadi raja atau presiden.
Akibat mitos notonegoro, menjelang Pilpres orang Jawa selalu akan mengotak-atik (gathuk) tentang orang yg akan jadi pemimpin masa depan. Namanya juga “gathuk” atau otak-atik asal comot yang penting kena, kalau tidak pas tentu akan dipas-paskan.
 Presiden pertama RI, Soekarno atau “no”, kemudian Soeharto atau “to”. Sampai di sini pas dengan “no-to”. Pada era 90-an saat Soeharto masih berkuasa, ramalan presiden ke tiga sudah terlihat sangat transparan. Seolah memang sudah dipersiapkan, semua orang sudah meyakini bahwa orang ke tiga adalah sang wakil sendiri, yaitu Tri Sutrisno. Begitu melihat nama, penafsiran orang-orang menunjuk angka tiga (try) dan “no” (ramalan dalam notonegoro). Namun kenyataan berbicara lain, Presiden Soeharto tidak mau meneruskan jabatan Try Sutrisno sebagai wapres dan menunjuk BJ Habibie sebagai wakil yang kemudian mejadi Presiden RI setelah terjadi gerakan reformasi.
Hal ini membuat ramalan notonegoro menjadi bias. Lalu ada “gathukan” dicocok-cocokkan. no (Soekarno), to (Soeharto), ne; bukan orang Jawa (BJ Habibie), goro; ribut-ribut (terbukti dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid yang kemudian digantikan Megawati). Terus balik lagi ke no (Susilo Bambang Yudhoyono). Kemungkinan besar akan digantikan oleh “mo” Prabowo Subianto Djojohadikusumo atau “do” Joko Widodo. Sebenarnya banyak variasi dan versi dari “gathukan” nama-nama dalam notonegoro di dunia Google.
Selain dipahami secara kultural, historis, maupun metafisika, ramalan Jayabaya mungkin bisa juga dipahami secara ilmiah. Tafsir saya, no-to-ne-go-ro menunjukkan keragaman nama dan kebhinekaan manusia Indonesia, tidak ada satu pun dari suku kata tersebut sama. Hal ini menandakan bahwa yang memimpin Indonesia harus berbeda-beda orangnya di setiap generasi. Indonesia adalah milik semua, bukan milik satu nama tertentu, bukan milik keturunan tertentu, bukan milik suku tertentu, dan bukan milik suatu daerah tertentu. Semuanya akan berputar dan berganti.   
Bahwa manusia dan peradaban memang selalu bisa bangkit, hancur, dan bangkit lagi. Dan mungkin karena Jayabaya menyadari manusia bisa lupa, dia sengaja menulis ini sebagai peringatan agar manusia tidak lupa. Mungkin, ini juga dorongan pada manusia agar selalu berbesar hati, optimis, dan selalu berpengharapan baik di masa depan walaupun masa lalu dan masa kini tengah suram. Bahwa di saat yang paling berat sekalipun, suatu hari akhirnya akan datang juga masa kebangkitan dan pencerahan.
Percaya atau tidak? Anda tidak perlu percaya, atau tidak perlu tidak percaya. Bagaimanapun ini adalah lebih dari sekadar ramalan, dongeng, mitos, cerita, atau petuah yang penuh makna dari masa kegemilangan nenek moyang kita. ***