Ketika Penjahat
Menjadi Pejabat dan Pejabat Menjadi Penjahat
Oleh :
Fadil Abidin
Dimuat di
OPINI Harian Analisa Medan, 16 Januari 2014
Masyarakat Indonesia sedang sakit. Bukan sakit sembarang
sakit, melainkan sakit secara sosial dan moral. Secara politik,
masyarakat kita juga tidak cerdas dalam memilih para pemimpin. Akibatnya,
bangsa ini akan terus terpuruk akibat ketidakcerdasan tersebut. Sejumlah fenomena memberi indikasi jelas dan kuat soal itu. Beberapa tahun lalu,
kita pernah memilih gubernur dan walikota, jabatan keduanya berakhir di bui.
Suatu
kabupaten di provinsi Bengkulu bahkan pernah memilih bupati yang ternyata
mantan narapidana kasus pembunuhan. Peluang penjahat maupun mantan penjahat
untuk menjadi pejabat semakin terbuka ketika MK (Mahamah Konstitusi)
mengeluarkan putusan Nomor 4/PUU/7/2009. Putusan MK ini menganulir UU
No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, Pasal 51 huruf g dan Pasal 50 ayat
1 huruf g dan Revisi UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 58 huruf
f. Jadi mantan penjahat bisa
menjadi anggota DPR/DPRD, DPD, dan Kepala Daerah.
Maka
sebenarnya, pro dan kontra terhadap rencana pelantikan Bupati Kabupaten Gunung Mas,
Kalimantan Tengah, Hambit Bintih, yang kini berstatus sebagai tersangka dan menjadi tahanan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu terjadi. Tidak ada aturan dalam Undang-Undang yang melarang
seorang tersangka menjadi kepala daerah. Logikanya, seorang kepala daerah yang
menjadi tersangka tidak otomatis dicopot dari jabatan. Bahkan seorang kepala
daerah yang telah menjadi terdakwa dan telah divonis penjara pun, tidak berhak
dicopot dari jabatannya selama yang bersangkutan masih mengajukan upaya hukum
lain.
Kepala Daerah
Tersangka
Berdasarkan
data dari Kementerian Dalam Negeri, kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang tersangkut hukum sejak pemilukada digelar yaitu 21 gubernur, 7
wakil gubernur, 156 bupati, 46 wakil bupati, 41 walikota, dan 20 wakil
walikota. Dari konstruksi
berpikir di atas, maka wajarlah masyarakat kita sakit. Karena para pemimpinnya
juga sakit.
Sebelum kasus Hambit Bintih,
pelantikan kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi KPK juga pernah
terjadi. Jefferson Rumajar pernah
dilantik menjadi Walikota
Tomohon dalam Rutan Cipinang, tahun 2011 lalu. Sehari setelah dilantik,
Jefferson melantik 28 pejabat eselon III Pemkot Tomohon dari dalam rutan.
Jefferson adalah tahanan KPK yang akhirnya divonis sembilan tahun penjara oleh
majelis hakim Pengadilan Tipikor
Jakarta.
Pada April 2012
lalu Bupati dan Wakil Bupati Mesuji, Khamamik dan Ismail Ishak dilantik di
Rutan Menggala, Tulang Bawang, Lampung. Pelantikan dilakukan di rutan karena
Ismail diputus bersalah oleh pengadilan atas kasus korupsi dana BUMD Tulang Bawang tahun 2006.
Hal Serupa
juga terjadi terhadap Yusak Yaluwo Bupati terpilih Kabupaten Boven Digoel, yang berstatus terdakwa
perkara korupsi. Ia tetap dilantik sebagai sebagai bupati bersama pasangannya,
wakil bupati terpilih Yesaya Merasi. Yusak dilantik oleh Gubernur Papua Barnabas
Suebu di gedung Kemendagri, Jakarta, pada 7 Maret 2011.
Berdasarkan
catatan Indonesia Corruption Watch (29/12/2013), selain
Hambit Bintih, Jefferson Rumajar, Khamamik dan Ismail Ishak, Yusak Yaluwo dan Yesaya Merasi, ada 7 calon kepala daerah dan
wakil kepala daerah lainnya yang
berhasil memenangi pilkada
meski tengah terjerat perkara hukum, antara lain: Mochamad Salim, Bupati Rembang tersangka kasus penyertaan modal PT
RBSJ sebesar Rp5,2
miliar yang bersumber dari APBD Rembang tahun 2006-2007, Mochamad Salim ikut pilkada dan
akhirnya terpilih.
Theddy Tengko,
Bupati Kepulauan Aru, tersangka
kasus korupsi dana APBD 2006-2007 senilai Rp42,5 miliar. Satono, Bupati Lampung Timur. Saat jadi tersangka kasus
Dana BPR Tripanca ikut pilkada dan terpilih. Pengadilan Negeri Tanjungkarang
memvonis bebas, namun Kasasi MA menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara. Kini yang bersangkutan masih
melarikan diri.
Jamro H Jalil,
Wakil Bupati Bangka Selatan. Saat
jadi tersangka dana KUT sebesar Rp388 juta, ikut pilkada dan terpilih. Agusrin Najamuddin, Gubernur Bengkulu Agusrin menjadi kontestan Pilkada saat
jadi tersangka kasus dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Provinsi Bengkulu tahun 2006 yang
merugikan negara sekitar Rp 27 miliar. Ironisnya, dia akhirnya terpilih. Telah
divonis oleh MA 4 tahun penjara. Kusen
Andalas, Wakil Bupati Jember,
saat jadi tersangka kasus dana operasional DPRD Tahun 2004-2009 dia ikut pilkada dan
terpilih.
Kegagalan
Kasus-kasus di atas seakan menjadi
indikasi yang
jelas dan kuat, setidaknya untuk tiga hal.
Pertama, rakyat tidak cerdas, tidak tahu, atau sengaja dibuat tidak tahu
tentang latar belakang calon kepala daerah. Peran pers dan media massa untuk “menelanjangi”
dan mengupas tuntas rekam jejak para calon kepala daerah telah gagal
menjalankan fungsinya. Di banyak kasus oknum-oknum insan pers justru
menutupinya karena telah “dibayar” sang calon sehingga memberitakan yang
baik-baik saja. Rakyat pun menjadi tidak cerdas karena terbuai dengan aneka
pencitraan dan merasa hutang budi karena telah menerima uang dari sang calon
sehingga pilihannya sudah tidak objektif berdasarkan akal sehat.
Kedua, kegagalan partai
politik untuk menampilkan calon kepala daerah yang berkualitas. Sudah menjadi
rahasia umum, mayoritas yang maju menjadi calon kepala daerah karena faktor
modal. Apalagi jika sang calon berasal dari eksternal parpol, maka dipastikan
ia harus merogoh kocek yang dalam untuk ‘menyewa perahu’ parpol agar bisa ikut
pilkada. Kemudian setelah terpilih, sang kepala daerah harus membayar hutang
modal dan politiknya kepada partai pendukung beserta bunganya. Akibatnya ia
harus korupsi untuk membayar itu semua.
Ketiga, apatisme dan
masyarakat yang apolitik. Fenomena golput atau yang tidak menggunakan hak
pilihnya dalam pilkada atau pemilu menyebabkan yang terpilih bukanlah calon
terbaik yang dipilih mayoritas rakyat. Fenomena golput justru disenangi oleh
para calon yang mengandalkan modal, karena ia semakin intensif dapat
memaksimalkan dukungan dengan politik uang. Walaupun pendukungnya sedikit, tapi
kalau solid pasti akan menang jika golput tinggi.
Maka untuk mencegah para
‘penjahat’ ini menjadi pejabat, sebenarnya banyak pihak yang mendesak agar pemerintah dan DPR untuk
melakukan revisi Undang-Undang
Pemerintah Daerah atau RUU Pemilukada terkait pengetatan calon kepala daerah. Aturan yang digagas antara lain:
(1) Memperketat syarat sebagai calon kepala daerah/calon wakil kepala daerah. Tersangka korupsi
dilarang/tidak dapat menjadi calon
kepala daerah/calon wakil kepala daerah, (2) Calon
kepala daerah/calon wakil kepala daerah yang menjadi tersangka atau terdakwa
tindak pidana korupsi tidak dapat dilantik sebagai kepala kepala daerah/calon
wakil kepala daerah, (3) Kepala daerah/wakil kepala
daerah yang menjadi tersangka tindak pidana korupsi harus diberhentikan
sementara dan ketika menjadi terdakwa harus diberhentikan tetap.
Aturan yang ada sekarang
jelas-jelas tidak mencerminkan semangat untuk memberantas korupsi yang semakin
masif dilakukan oleh para kepala daerah. Seakan tidak ada sinergi antara
penegak hukum yang ada, baik oleh Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Pengadilan,
Mahkamah Agung, KPK, hingga MK. Bukankah Mendagri pernah ‘kalah’ ketika
mengeluarkan surat keputusan pemberhentian seorang kepala daerah yang
tersangkut masalah korupsi?
Akhirnya semua kepala
daerah tidak bisa diberhentikan sampai berakhir masa jabatannya walaupun sudah
menjadi terdakwa dan mendekam di penjara. Sementara daerah tetap diperintah sang
kepala daerah dibalik jeruji penjara dengan mengangkat pejabat pelaksana tugas
(Plt). Mungkin hal ini hanya terjadi di Indonesia, di mana kepala daerah masih
memerintah di balik jeruji penjara.
Hal di atas mengingatkan
kita pada cerita-cerita gangster atau mafia, di mana jika sang pemimpin mafioso
tertangkap dan dijebloskan di penjara, ia masih bisa menggerakkan organisasi
kejahatannya lewat para wakilnya. Apakah negara ini telah berubah menjadi
organisasi kejahatan? Soalnya beda tipis antara penjahat dan pejabat, penjahat
bisa menjadi pejabat, dan pejabat bisa menjadi penjahat. ***