Delay
dan Pertaruhan Reputasi Maskapai
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian
Analisa Medan, 25 Februari 2015
“Nafsu besar tenaga kurang” ini
bukan slogan iklan obat kuat, tapi menggambarkan betapa kemaruk (serakah) sebuah
maskapai penerbangan nasional yang mengalami krisis delay beberapa waktu lalu,
bahkan boleh disebut sebagai maskapai ‘langganan’ delay. Iklan di media massa
maupun di dunia maya begitu gencar dengan harga tiket murah dan destinasi yang
beragam. Tapi pelayanannya tidak memuaskan.
Sama seperti orang kebanjiran order
dan akhirnya kolaps karena tidak mampu melayani orderan yang amat banyak.
Armada dan kru maskapai tersebut ‘digenjot’ habis untuk melayani seluruh jadwal
penerbangan tanpa menyisakan pesawat dan crew stand by untuk cadangan. Begitu
ada satu atau dua yang bermasalah, seluruh jadwal langsung berantakan. Mungkin
pesawat cadangan ada tapi kru tidak ada, dan yang sudah selesai tugas tak
bersedia lembur karena sudah kelelahan dan takut terjadinya kecelakaan. Kemaruk
mau besar untung, akhirnya buntung. Maskapai seperti ini perlu diwaspadai,
karena ujung-ujungnya akan cenderung ‘asal terbang’ dan berbahaya bagi
keselamatan kru dan penumpang.
Setiap maskapai, baik low cost carrier maupun full services airlines, berpotensi menghadapi keterlambantan
penerbangan (delay). Delay bisa terjadi karena banyak faktor, seperti faktor
cuaca, gangguan alam, gangguan teknis pesawat, kondisi bandara, faktor manusia,
dan lain-lain. Delay karena faktor gangguan teknis pesawat atau faktor internal
dari maskapai sebenarnya harus bisa diatasi secepat mungkin. Sudah
seharusnya maskapai menyikapi delay penerbangan secara serius, alias tidak
dianggap sebagai hal yang biasa terjadi. Hal itu menjadi perlu dilakukan, agar
delay tak berbuntut pada stigma negatif, bahkan menggerus reputasi maskapai.
Bisnis airlines adalah
bukan semata menerbangkan penumpang ke destinasi. Namun, melibatkan unsur keselamatan,
keamanan, kenyamanan, presisi, tanggung jawab jiwa dan tanggung jawab sosial. Bilamana
ada ketimpangan atas hal-hal tersebut tentu taruhannya adalah reputasi, yang
selanjutnya berdampak pada tingkat okupansi penumpang akan menurun. Stigma pun
akan terpatri di jiwa konsumen, bahwa maskapai tersebut (meminjam ungkapan yang
tengah trend) adalah maskapai PHP (pemberi harapan palsu).
Tapi celakanya, orang
Indonesia kerap menderita amnesia atau memang tidak sayang dengan nyawanya? Konsumen
atau penumpang terkadang mengabaikan kelemahan atau kekurangan dari airlines
yang sering melakukan delay atau mudahnya melupakan suatu terjadinya insiden
penerbangan, dikarenakan faktor harga yang ditawarkan relatif murah dibandingkan
maskapai lain dan ketersediaan rute yang tersedia. Sehingga sering menjadi ‘take
it for granted’. Namanya juga tiket murah, apa boleh buat, pelayanannya
asal-asalan diterima saja.
Rating
Maskapai
Keterlambatan
atau penundaan penerbangan yang disebabkan oleh faktor internal maskapai, jelas
akan membuat calon penumpang kecewa dan marah. Tak jarang terjadi kegaduhan dan
keributan antara konsumen dengan pihak maskapai, tak jarang pula terjadi
perusakan fasilitas bandara bahkan pemblokiran landasan bandara oleh calon
penumpang. Delay yang berjam-jam akan mengakibatkan krisis delay. Puluhan
jadwal penerbangan tertunda, satu maskapai yang melakukan delay, maskapai lain
terkena imbas delay juga. Beberapa bandara mengalami krisis delay, ribuan
penumpang terlantar di bandara.
Tapi
celakanya, ketika krisis delay di bandara, pihak maskapai kerap tak peduli
dengan calon penumpangnya. Lagi-lagi pihak pengelola bandara dalam hal ini PT
Angkasa Pura (AP) harus menanganinya. Karena pihak maskapai tidak cepat
tanggap, maka pihak AP harus mengeluarkan dana untuk memberi makan dan minum
calon penumpang yang terlantar di bandara. Kemudian juga harus menalangi
pembayaran kompensasi keterlambatan dan memperbaiki fasilitas bandara yang
dirusak penumpang yang marah. Sementara pihak maskapai hanya berujar merasa tak
bersalah, bahwa mereka tidak cepat tanggap dan tidak punya uang cash karena hari
besar.
Pembayaran kompensasi keterlambatan
atau delay penerbangan oleh maskapai kepada penumpang sebenarnya
hanya ada di Indonesia. Di luar negeri, tidak ada praktik seperti itu. Tapi di
luar negeri, jika ada penerbangan yang terlambat, maka yang dilakukan maskapai
adalah memberi fasilitas akomodasi atau penginapan dan mengganti jadwal
penerbangan, bukan membayar tunai. Jika ada delay, biasanya akan ada
penyelidikan oleh pihak terkait. Reputasi maskapai akan dipertaruhkan, karena
biasanya akan ada penilaian atau rating atas maskapai.
Di luar
negeri, jika suatu maskapai kerap delay dan sering terjadi insiden maka akan
diumumkan rating maskapai tersebut agar konsumen bisa memutuskannya sendiri. Di
Indonesia rating maskapai kurang dipahami masyarakat sebagai rujukan untuk
memilih maskapai mana yang akan dipilih. Pola pikir kita masih terpaku pada
harga tiket yang murah.
Agar
masyarakat terdidik dan sadar informasi akan keselamatan dan kenyamanan, rating
maskapai sebaiknya diumumkan di tiap bandara, di buku panduan travelling dan
iklan. Perlakuannya sama seperti hotel berbintang. Contohnya, Maskapai A
berbintang lima, Maskapai B berbintang empat, dan seterusnya. Kementerian
Perhubungan sebenarnya secara rutin telah merilis rating maskapai, tapi kurang
terpublikasikan dengan baik sehingga belum menjadi rujukan yang terpercaya bagi
konsumen.
Hak Konsumen
Menyadari bahwa maskapai sering
lalai dan mengabaikan hak-hak konsumen di masa lalu. Pemerintah dalam hal ini
Kementerian Perhubungan kemudian berusaha melindungi hak-hak konsumen penerbangan
dengan membuat berbagai aturan, seperti UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Peraturan Menteri Perhubungan No. 77
Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.
Terkait
dengan keterlambatan angkutan udara, UU No. 1 Tahun 2009 Pasal 1 Angka 30,
menjelaskan definisi keterlambatan sebagai “terjadinya perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan
yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan”. Menurut
Pasal 9 Permenhub No. 77 Tahun 2011,
keterlambatan terdiri dari: a. keterlambatan penerbangan (flight delayed);
b. tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied
boarding passenger); dan c. pembatalan penerbangan (cancelation of
flight).
Dalam hal terjadi keterlambatan penerbangan (flight delayed),
maskapai bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh
penumpangnya. Ganti rugi yang wajib diberikan oleh maskapai penerbangan
kepada penumpang sebelumnya telah diatur dalam Pasal 36 Peraturan Menteri Perhubungan No. 25 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Udara yaitu: a. keterlambatan lebih dari
30 menit sampai dengan 90 menit, perusahaan angkutan udara niaga berjadwal
wajib memberikan minuman dan makanan ringan; b. keterlambatan lebih dari 90
menit sampai dengan 180 menit, perusahaan angkutan udara niaga berjadwal wajib
memberikan minuman, makanan ringan, makan siang atau malam dan memindahkan
penumpang ke penerbangan berikutnya atau ke perusahaan angkutan udara niaga
berjadwal lainnya, apabila diminta oleh penumpang; c. keterlambatan lebih dari
180 menit, perusahaan angkutan udara niaga berjadwal wajib memberikan minuman,
makanan ringan, makan siang atau malam dan apabila penumpang tersebut tidak
dapat dipindahkan ke penerbangan berikutnya atau ke perusahaan angkutan udara
niaga berjadwal lainnya, maka kepada penumpang tersebut wajib diberikan
fasilitas akomodasi untuk dapat diangkut pada penerbangan hari berikutnya.
Kemudian,
pemerintah melengkapi ketentuan ganti rugi dalam Permenhub No.25/2008 dengan
ketentuan yang diatur dalam Pasal
10 Permenhub No.77/2011, sebagai berikut: a. keterlambatan lebih dari 4
jam diberikan ganti rugi sebesar Rp. 300.000 per penumpang; b. diberikan ganti
kerugian sebesar 50% dari ketentuan huruf a apabila pengangkut menawarkan
tempat tujuan lain yang terdekat dengan tujuan penerbangan akhir penumpang
(re-routing), dan pengangkut wajib menyediakan tiket penerbangan lanjutan atau
menyediakan transportasi lain sampai ke tempat tujuan apabila tidak ada moda transportasi
selain angkutan udara; c. dalam hal dialihkan kepada penerbangan berikutnya
atau penerbangan milik Badan Usaha Niaga Berjadwal lain, penumpang dibebaskan
dari biaya tambahan, termasuk peningkatan kelas pelayanan (up grading class)
atau apabila terjadi penurunan kelas atau sub kelas pelayanan, maka terhadap
penumpang wajib diberikan sisa uang kelebihan dari tiket yang dibeli.
Pembayaran
kompensasi delay sebenarnya hanya sebagai stimulan agar maskapai tidak lalai
terhadap kewajibannya kepada konsumen. Maskapai penerbangan harus memperlakukan
pembayaran kompensasi delay sebagai ‘aib’. Semakin sering membayar kompensasi
delay, berarti semakin banyak aib yang diderita maskapai. Delay harus menjadi
pertaruhan reputasi antar maskapai, dan Kemenhub harus rutin melaporkan ke
publik maskapai mana saja yang kerap melakukan delay. ***