Negeri
Ini Dikepung Makanan dan Minuman Beracun
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian
Analisa Medan, 10 April 2015
Negeri
ini dikepung makanan dan minuman beracun! Nyaris setiap hari kita disuguhi
berita demi berita tentang ‘kenakalan’ produsen maupun penjual makanan dan minuman
yang mencampurkan barang dagangannya dengan bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan.
Bahkan di sebuah stasiun televisi ada acara khusus yang menginvestigasi
kecurangan para produsen dan penjual makanan dan minuman tersebut.
Pada
bulan Maret saja kita telah disuguhi berita tentang kikil (kulit sapi atau
lembu) yang mengandung formalin dan boraks. Kikil dapat diolah menjadi makanan
favorit sebagian besar masyarakat. Tingginya permintaan membuat produsen
bertindak curang, kikil yang sudah tak layak konsumsi, sudah rusak, busuk dan
berulat ‘diolah’ dengan mencampur formalin, klorin (zat pemutih), dan zat
pewarna tekstil agar tampilannya tampak segar.
Kasus
kikil berformalin ini terungkap di Jakarta Barat, Tasikmalaya, Jawa Barat, dan
masih banyak daerah lainnya. Di Jakarta Barat, satu rumah usaha saja omzet penjualan kikil berformalin dalam sehari bisa
terjual 100 kg seharga Rp 17 ribu per kg. Pembelinya sebagian besar berasal
dari pedagang pasar dan rumah-rumah makan.
Kemudian kita juga kerap mendengar kasus bakso
berformalin, selain berformalin bakso ini juga dioplos dengan daging tikus atau
daging celeng (babi liar). Daging tikus dan celeng ini tentu tidak layak
konsumsi karena mengandung bibit penyakit seperti cacing pita, salmonella, dan
bakteri berbahaya lainnya. Konsumen yang hanya berorientasi pada harga murah,
akhirnya terjebak menjadi ‘keranjang’ sampah dari bahan-bahan pangan berbahaya
ini. Nyaris setiap bulan selalu ada saja berita soal bakso berformalin dengan
daging celeng oplosan ini.
Kita juga dikejutkan dengan peredaran saos yang
mengandung bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan. Selain di Jawa Barat, kasusnya
juga terungkap di Medan yang konon dilakukan oleh produsen saos yang cukup
laris di pasaran karena harganya murah. Saos merek ini mudah kita dapati di
warung, kios dan grosir. Ada yang dalam kemasan botolan, plastik refill, dan
sachet kecil. Di warung mie, bakso, mie ayam, bakso bakar, sosis goreng, nugget
goreng, atau kedai ayam goreng, saos merek ini pasti menjadi pelengkapnya.
Selang beberapa hari kemudian, kota Medan juga gempar
dengan kasus mie instan daur ulang yang dilakukan oleh produsen mie instan
cukup ternama di daerah ini. Praktik curang daur ulang tersebut ironisnya
divideokan dan disebarkan ke media sosial oleh para mantan karyawan pabrik
tersebut. Mie instan yang kadaluarsa karena tidak laku, dibuka bungkusnya,
mienya diambil dan digiling ‘dimixer’ kembali menjadi tepung untuk dioplos
dengan bahan tepung yang baru, dan jadilah mie instan daur ulang. Di dalam
video tersebut juga digambarkan bagaimana proses pembuatan mie yang jauh dari
higienis. Bahan-bahan tepung yang telah jatuh ke lantai dikumpulkan kembali
dengan sapu kemudian dimasukkan ke mesin mixer lagi.
Negeri Racun
Negeri ini memang penuh racun! Setiap hari kita menghirup
udara beracun di sekitar kita. Polusi udara terjadi karena semakin banyaknya
kendaraan bermotor, pabrik, industri besar, dan industri rumahan yang terus
berkembang. Udara tercemar, bahan pangan dan minuman kita juga tercemar. Air
kita, baik air dalam tanah terutama air sungai tercemar parah oleh berbagai
limbah.
Sayur
mayur dan buah-buahan yang kita konsumsi tak lepas dari racun bernama
pestisida, insektisida, dan herbisida. Beras kita ditengarai banyak mengandung
klorin (zat pemutih), daging, ikan, cumi-cumi, udang, kerang, ikan asin, dan
tahu telah bercampur dengan formalin agar terlihat awet dan segar.
Sekali
waktu datanglah ke sekolah tempat anak kita menuntut ilmu. Perhatikan pedagang
makanan yang berjualan di sekitarnya, maka akan banyak kita jumpai jajanan yang
sebenarnya tidak layak konsumsi. Mereka mengunakan bahan pewarna tekstil untuk
makanan, pemanis buatan, saos berbahaya, bakso basi berformalin, dan
sebagainya. Kasus-kasus keracunan anak-anak sekolah akibat jajanan pun terus
meningkat.
Bukan
hanya makanan, minuman juga ternyata mengandung zat-zat racun. Air minum dalam
kemasan isi ulang di galon sudah lama ditengarai tidak higienis dan bebas kuman
lagi. Kita tidak tahu darimana sumber air isi ulang tersebut, bagaimana
prosesnya, bagaimana pencucian galon, dan bagaimana mesin air minum isi ulang
bekerja untuk membasmi kuman-kuman. Jadi tak heran jika bakteri coli, bakteri
penyebab diare dan muntaber masih bisa berkembang biak di dalamnya. Konsumen
hanya peduli pada harga yang murah.
Minuman
olahan juga berisiko tercampur zat-zat berbahaya bagi kesehatan. Jika kita
saksikan acara investigasi di suatu acara televisi, bagaiman para penjual
minuman tersebut ‘sangat kreatif’ mencapurkan zat-zat kimia dalam minuman. Dari
es campur, es dawet, es cendol, es cincau, es lilin, dan sebagainya tak lepas
dari zat warna tekstil, tawas, klorin, rodamin, dan pemanis sintetis. Saat ini
terungkap juga kasus ‘es krim sampah’ hasil daur ulang dari pembuangan pabrik
es krim.
Belakangan
terungkap juga kasus pembuatan es batu yang sumber airnya berasal dari sungai
yang tercemar. Air sungai yang keruh, kotor, jorok, tercemar karena aneka
limbah industri, limbah rumah tangga, bercampur sampah dan kotoran manusia
diolah menjadi es balok. Air yang sudah ‘hancur-hancuran’ begitu diakali dengan
anti foam agar tidak berbusa, dicampur klorin dan kaporit supaya hilang bau
busuknya, dan diberi tawas dan soda api agar terlihat jernih. Mereka
menjual es buatannya seharga Rp12 ribu hingga Rp30 ribu per balok. Penjualan es
batu setiap harinya ditargetkan sebanyak 2.000 balok besar. Proses penjernihannya terlihat asal-asalan, sehingga es balok
tersebut beracun dan memakan korban. Kasus ini ditangani Polres Metro Jakarta
Selatan.
Aneka Racun
Ada
saja ulah produsen, pembuat, dan penjual makanan minuman untuk berbuat curang
dengan mencampurkan zat-zat berbahaya agar barang dagangannya awet, tahan lama,
dan murah produksinya. Zat berbahaya yang biasanya dicampur dalam bahan makanan
juga bermacam-macam bahkan terkesan tidak masuk akal. Ada yang dicampur semen,
bedak, kapur, cat, lem sintesis, shampo, deterjen, lotion kulit, balsem (agar
terasa pedas), dan sebagainya.
Sementara za-zat kimia yang dipakai seperti sodium nitrit, yaitu bahan pengawet yang digunakan untuk
mengawetkan daging, ikan, ikan asin, dan ikan asap. Sodium nitrit adalah bahan kristal yang tak berwama atau
sedikit semu kuning. Ia dapat berbentuk sebagai bubuk, butir-butir atau
bongkahan dan tidak berbau. Garam ini sangat digemari, antara lain untuk
mempertahankan warna asli daging serta memberikan aroma yang khas seperti
sosis, keju, kornet, dendeng, ham, dan lain-lain.
BHA (butil hydroxy-anisole) dan BHT (butil
hidroksi-toluena) yang biasanya untuk bahan shampo, lotion kulit, dan sabun
dijadikan bahan pengawet untuk permen, keripik, dan minyak sayur. Propyl Gallate/Glycol juga ditemukan dalam daging, sup ayam, dan sebagainya. Semua pengawet
diatas menyebabkan timbulnya kanker.
Zat kimia yang paling sering digunakan
adalah formalin. Formalin adalah
bahan kimia yang kegunaannya untuk urusan luar tubuh. Jika formalin masuk dalam
tubuh bisa akut maupun kronis. Kondisi akut tampak dengan gejala alergi, mata
berair, mual, muntah, seperti iritasi, kemerahan, rasa terbakar, sakit perut
dan pusing. Sedangkan kondisi kronis tampak setelah bahan ini masuk kedalam tubuh dalam
jangka lama dan berulang. Gejalanya iritasi parah, mata berair, gangguan
pencernaan, hati, ginjal, pankreas, sistem saraf pusat, gangguan menstruasi, dapat
memicu tumor dan kanker.
Borax atau boraks
adalah bahan solder, bahan pembersih, pengawet kayu, antiseptik kayu, dan
pengontrol kecoa. Sinonimnya natrium biborat, natrium piroborat, natrium
tetraborat. Sifatnya berwana putih dan sedikit larut dalam air. Zat ini pernah
ditemukan pada bakso, sosis, nugget, mie, dan gula merah. Zat ini bersifat
sangat karsinogenik, sebagai trigger
penyebab aneka kanker dalam tubuh.
Pewarna tekstil,
selain formalin
dan boraks, bebrapa jenis bahan makanan yang diuji BPOM juga mengandung bahan
berbahaya seperti pewarna tekstil, kertas dan cat (Rhodamin B), methanyl
yellow, dan amaranth. Pewarna buatan sudah terbukti menyebabkan kanker.
Monosodium Glutamat atau MSG (penyedap rasa), nyaris seluruh makanan mengandung MSG atau vetsin.
MSG dijual bebas dan biasa digunakan oleh kita sehari-hari dengan berbagai
merek. Tapi penggunaannya yang berlebihan dapat menyebabkan migrain, keracunan,
dan efek samping lainnya. Lemak trans
juga sering digunakan sebagai penyedap rasa yang dapat menyebabkan
penyakit jantung, stroke, dan masalah gangguan ginjal.
Aspartam (pemanis kimia buatan), sering ditemukan
dalam produk makanan dan minuman, baik minuman olahan, minuman ringan, es,
sirup, dan sebagainya. Pemanis buatan yang melebihi dosis dipercaya dapat
menyebabkan radang usus dan gangguan ginjal.
Kalium Bromat, sering ditambahkan ke tepung putih dan roti untuk
meningkatkan volume produk, tetapi memiliki penyebab kanker. Banyak negara di dunia
mengharuskan pencantuman label pada kemasan makanan yang menggunakan zat
additif ini.
Tidak Tegas
Sering tidak kita
sadari bahwa dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari ternyata mengandung
zat-zat kimia yang bersifat racun, baik itu sebagai pewarna, pengawet, pengembang,
penyedap rasa dan dan bahan campuran lain. Zat-zat kimia ini berpengaruh terhadap
tubuh kita dalam level sel, sehingga kebanyakan kita baru akan mengetahui
dampaknya dalam waktu yang lama.
Dampak
negatif yang bisa terjadi adalah dapat memicu aneka kanker, kelainan genetik,
cacat bawaan ketika lahir, keracunan, kelemahan saraf, dan lain-lain. Tidak ada
cara untuk menghindar 100% dari bahan-bahan kimia itu dalam kehidupan kita
sehari-hari, yang perlu kita lakukan adalah meminimalkan penggunaannya sehingga
tidak melewati ambang batas yang disarankan. Karena selain banyak tersedia di pasaran,
bahan-bahan tersebut juga harganya yang relatif sangat murah.
Untuk
mencegah dampak yang terus meluas, pemerintah harus berani melakukan tindakan
preventif mulai sekarang dan jangan menunggu-nunggu kalau sudah ada korban.
Peraturan hukum yang ada, baik KUHP, UU Kesehatan, UU Pangan, UU Perlindungan
Konsumen, Peraturan Menteri, dan sebagainya hanya menjadi seperangkat instrumen
yang belum terimplementasikan dengan baik.
Sampai
saat ini kita belum pernah mendengar produsen atau penjual makanan atau minuman
yang berbahaya bagi kesehatan yang dihukum maksimal 5 tahun atau denda maksimal
Rp 1 miliar seperti sanksi dalam undang-undang. Hukum kita teramat lemah, tidak
ada sanksi yang tegas menyebabkan mereka merasa bebas sesuka hati mencampurkan
apapun ke dalam bahan makanan atau minuman yang mereka jual kepada masyarakat.
Mereka tidak takut dengan sanksi yang ada, dan akhirnya negeri ini pun dikepung
oleh makanan dan minuman yang beracun! ***