Koruptor
Lebih Keji daripada Pengedar Narkoba
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian
Analisa Medan, 30 April 2015
Dalam
salah satu poin nawa cita atau program unggulannya, Presiden Joko Widodo
memiliki misi untuk membangun sistem penegakan hukum yang bebas korupsi. Butir
keempat dalam nawa cita, yaitu menolak negara lemah dengan melakukan
reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan
terpercaya.
Realisasi
program nawa cita ini kemudian disorot menyusul pencalonan Komjen Budi Gunawan
sebagai Kapolri, padahal dia telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh
KPK. Kisruh pencalonan ini kemudian berimbas pada perseteruan Polri-KPK, para
pimpinan KPK pun kemudian berbalik dijadikan tersangka oleh Polri.
Program
nawa cita kemudian patut dipertanyakan ketika Menteri Hukum dan Hak Azasi
Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly mewancanakan untuk “mengobral” remisi
kepada para narapidana kasus korupsi. Pemberian remisi kepada napi kasus
korupsi kemudian ditentang banyak pihak. Muncul pertanyaan, mengapa untuk
gembong pengedar narkoba pemerintah bisa tegas menghukum mati, tapi untuk napi
kasus korupsi malah mendapat remisi?
Presiden
Jokowi tegas memberi hukuman mati karena menganggap Indonesia
saat ini tengah berada dalam situasi darurat narkoba. Ketika menyampaikan sambutan
dalam Rapat Koordinasi Nasional Gerakan Nasional Penanganan Ancaman Narkoba
dalam Rangka Mewujudkan Indonesia Emas 2045 di Hotel Bidakara, Jakarta (4/2/2015),
menurut Presiden hampir 50 orang mati setiap hari karena narkoba, setahun
sekitar 18 ribu orang meninggal. Pengguna yang sedang menjalani rehabilitasi
mencapai 4,2-4,5 juta.
Anggota
Dewan Pertimbangan Presiden Suharso Monoarfa menyebut hukuman mati bagi
terpidana kasus narkoba adalah upaya Presiden Jokowi dalam melindungi
rakyatnya. Suharso mengatakan proses hukum terhadap 10 terpidana mati kasus
narkoba yang bakal dieksekusi, sudah final sehingga sebaiknya tidak
diintervensi negara lain, termasuk Australia yang menggulirkan wacana
pertukaran tahanan (Antara News, 13/03/2015).
Koruptor Lebih Keji
Jika
Presiden Jokowi setia dengan nawa cita yang menjadi program unggulannya, pasti
wacana remisi bagi para napi kasus korupsi tidak akan pernah terjadi. Indonesia
dari dulu hingga sekarang masih dalam keadaan darurat korupsi. Presiden harus
memandang bahwa pelaku korupsi lebih jahat daripada para pengedar narkoba. Jika
para pengedar narkoba, baik secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan
kematian rata-rata 50 orang pecandu setiap hari. Maka pelaku korupsi bisa
membunuh rakyat yang tak berdosa lebih dari 100 orang per hari. Bukankah
koruptor lebih keji dari pengedar narkoba?
Lihatlah
akibat korupsi, sebuah hanggar bandara di Makassar yang baru dibangun runtuh
mengakibatkan 5 orang tewas dan 14 cedera. Gedung runtuh karena bahan-bahan
konstruksi tidak sesuai bestek dan bermutu rendah. Sebuah jembatan di Kalimantan
Timur yang baru dibangun beberapa tahun sudah roboh menyebabkan 21 orang tewas.
Setiap hari ratusan bahkan ribuan nyawa rakyat Indonesia melayang akibat jembatan
atau jalanan yang rusak. Jembatan atau jalanan yang rusak karena konstruksinya
tidak sesuai bestek, anggarannya dikorupsi. Akibatnya jembatan dan jalan
tersebut asal jadi, beberapa tahun bahkan dalam hitungan bulan sudah rusak dan
memakan korban jiwa.
Setiap
hari anak-anak sekolah di Lebak, Banten, Ternate, atau daerah lainnya harus
bertarung nyawa menyeberangi sungai dengan jembatan darurat yang reot. Ada yang
menyeberangi sungai dengan berenang, atau menggunakan rakit dari bambu. Tidak
ada anggaran untuk merehab atau membangun jembatan di daerah mereka karena
anggaran telah habis dikorupsi oleh para pejabat.
Kita prihatin,
ketika Sudri siswa SDN 1 Pajagan, Rangkasbitung, Banten yang menjadi korban
jembatan gantung runtuh ketika akan berangkat ke sekolah. Ia mengalami patah
tulang belakang, kemungkinan akan lumpuh dan cacat seumur hidup. Mengapa hal
tersebut bisa terjadi? Ini semua karena korupsi!
Akibat korupsi
anggaran untuk pendidikan, kesehatan, fasilitas umum, pembangunan sarana dan
prasarana tidak tersalurkan secara maksimal. Akibatnya, ribuan anak sekolah
terancam putus sekolah, gedung-gedung sekolah roboh dan mencelakai anak-anak
kita. Akibat korupsi, generasi muda kita jadi bodoh, suram masa depannya, putus
asa, menjadi miskin, dan akhirnya menjadi penjahat jalanan. Akibat korupsi,
orang-orang miskin tidak mendapatkan pengobatan yang layak. Akibat korupsi,
kita memakai fasilitas umum seperti jalanan berlubang-lubang yang sangat
membahayakan jiwa.
Fakta-fakta bahwa
korupsi lebih keji dari pengedar narkoba sudah jelas. Jika pengedar narkoba
hanya memakan korban para pecandu, tapi para koruptor dengan tindakannya telah
‘membunuh’ banyak rakyat tak berdosa. Maka sesungguhnya para koruptor juga
layak mendapat hukuman mati.
Tanpa Efek Jera
Tanpa
remisi pun sebenarnya para koruptor bisa hidup menyenangkan di penjara. Mereka
dimanjakan dengan aneka fasilitas. Mereka bisa membayar untuk memperoleh
kemudahan di penjara, bisa mengajukan izin berobat keluar, cuti tahanan,
memperoleh pembebasan bersyarat, dan sebagainya.
Penjara
bagi para koruptor tidak akan menimbulkan efek jera, justru dengan segala
kemudahan dalam penjara membuat orang ingin selalu melakukan korupsi jika ada
kesempatan. Pikirkan, seorang pejabat dengan jabatannya seumur hidup tidak akan
bisa memperoleh uang Rp10-100 miliar. Tapi dengan korupsi ia memperoleh uang
tersebut dengan mudah, jika pun dipenjara mungkin ia cuma dihukum 5 tahun.
Setelah keluar dari penjara, dengan modal hasil korupsi ia akan hidup kaya
raya.
Sudah
saatnya para koruptor dipandang dengan rendah layaknya pelaku pembunuhan,
teroris, dan pengedar narkoba. Koruptor dengan segala tindak tanduknya
menyebabkan rakyat menderita, miskin, sakit, putus asa, bahkan terbunuh.
Sebagai contoh, jalan di tempat tinggal kami sudah bertahun-tahun rusak dan
berlubang. Jika hujan becek, jika panas berdebu. Setiap hari kami menghirup
debu yang membuat nafas sesak, bisa saja kami terkena ISPA, asma, kanker
paru-paru atau TBC.
Jalanan tersebut
juga membuat kami stres karena sering menimbulkan macet, pergi dan pulang kerja
selalu terhambat. Entah sudah berapa orang yang tewas di jalan itu karena
menghindari lubang jalanan justru tertabrak truk. Entah sudah berapa orang yang
mengalami kecelakaan, kendaraannya rusak atau tubuhnya jadi cacat. Semuanya
akibat jalan yang rusak. Kami tahu anggaran untuk perbaikan jalan itu ada, tapi
dikorupsi entah oleh siapa.
Padahal sebagai
warga negara, kami telah menunaikan kewajiban dengan membayar PBB untuk tanah
dan rumah kami, membayar PPJ (Pajak Penerangan Jalan) untuk lampu di jalanan
yang tak pernah ada lampunya, membayar Pajak Penghasilan (PPh) tiap bulan dari
gaji, membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk setiap barang yang kami
beli. Tiap tahun juga membayar PKB (Pajak Kendaraan Bermotor), dan sebagainya.
Tapi di mana hak kami dan kewajiban negara kepada kami?
Melalui pembayaran pajak, masyarakat memiliki
hak untuk mengkonsumsi dengan baik barang publik (fasilitas publik) yang harus
disediakan oleh pemerintah. Banyaknya kondisi jalan atau fasilitas umum yang
buruk merupakan suatu bukti bahwa pemerintah tidak menjalankan keawajibannya
sebagai penyedia barang publik. Yang menjadi pertanyaan, kemanakah dana-dana
pajak yang sudah dikumpulkan tersebut menguap, sampai-sampai fasilitas paling
sederhana dan paling penting (infrastruktur jalan) masih pada level kondisi
buruk?
Realitas yang lebih memprihatinkan lagi
adalah masyarakat sudah bayar pajak tetapi nyawa merekapun hilang akibat
pemerintah tidak menepati kewajibannya atas kewajiban yang sudah dilakukan oleh
wajib pajak/masyarakat. Itulah ulah para koruptor yang merampok uang rakyat.
Untuk itu, para koruptor jangan diberi
remisi karena perbuatannya itu extra ordinary crime, kejahatan
luar biasa yang terorganisir. Seharusnya tidak ada remisi terhadap para koruptor
untuk menimbulkan efek jera. Apalagi besarnya dampak yang ditimbulkan dari
perbuatan mereka bagi bangsa dan negara.
Jika para pengedar narkoba harus diberi
tanggung jawab atas kematian 50 orang pecandu tiap hari sehingga layak dihukum
mati. Maka para koruptor juga harus diperlakukan sama, justru para koruptor
lebih keji karena mereka ‘membunuh’ rakyat tak berdosa lebih banyak lagi
ketimbang para pengedar narkoba. ***