Louhan,
Anthurium, Batu Akik dan Economic Bubble
Oleh : Fadil Abidin
Meminjam
istilah futurolog Alvin Toffler, masyarakat dunia ketiga, termasuk Indonesia
adalah masyarakat yang mudah terkejut (shock).
Orang yang mudah terkejut biasanya akan gampang terkena sindrom latah. Latah
mengikut-ikut apa saja yang dikatakan, dilakukan, dan dipakai orang lain tanpa
perlu berpikir logis, sehingga kemudian terjadi latah berjamaah.
Sekitar awal tahun 2000, kita masih ingat ikan louhan
menjadi ikan yang paling populer, jika sebelumnya ikan yang dianggap mahal
adalah arwana, louhan menggantikanya sebagai primadona ikan akuarium saat itu. Harganya
pun tinggi dari yang ratusan ribu bahkan sampai ratusan juta. Selain benjolan nonong di kepala yang tampak unik, konon
yang membuat mahal itu corak pada tubuh (sisik) ikan yang bisa membuat aksara
tertentu. Fenomena ikan louhan lambat laun menghilang diganti sebuah tanaman.
Tanaman
tersebut bernama anthurium, dan untuk menaikkan nilai jualnya dijuluki tanaman
gelombang cinta. Tanaman ini harganya sama gilanya dengan tren ikan louhan,
harga tanaman ini dari jutaan sampai ratusan juta dan menjadi tanaman wajib
bagi orang-orang yang sudah bingung untuk menghabiskan uangnya. Berita tentang anthurium
sekarang sudah jarang kita temui lagi.
Setelah
‘demam’ ikan dan tumbuhan, kini masyarakat kita memasuki ‘zaman batu’. Tiada
hari tanpa berita atau perbincangan soal batu akik, semua jadi latah
ikut-ikutan ‘demam’ batu akik yang tiba-tiba jadi primadona. Harga jual dari
pertambangan rakyat melonjak 500 persen. Padahal batu akik bukanlah batu mulia,
bukan batu langka, bahkan di banyak daerah jumlahnya melimpah, baik di sungai,
berserakan di hutan, kaki bukit, di gua-gua dan sebagainya dengan berat berpuluh-puluh
ton.
Banyak
kalangan menduga bahwa ‘demam’ batu akik sebagai hal sesaat layaknya fenomena
ikan louhan, tanaman anthurium, atau bunga euphorbia, beberapa tahun lalu di
Indonesia. Tapi karena batu akik adalah benda mati, demam batu akik kemungkinan
bisa bertahan cukup lama.
Demam
batu akik tak terlepas dari pemberitaan yang gencar dan sengaja
digembar-gemborkan oleh banyak pihak. Selain sisi ekonomi yang dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat. Tapi ada juga pesan-pesan irasional bahkan
berbau klenik dan supranatural. Memang pada awalnya, pemakai batu akik
(terutama untuk mata cincin) adalah para dukun. Dan para dukun ini katanya bisa
‘mengisi’ batu akik tersebut dengan mantra, rajah, bahkan jin. Konon dengan
memakai batu akik tersebut dapat meningkatkan wibawa, disegani orang, dan
membawa keberuntungan, sehingga jika berbicara soal harga batu akik memang
harganya selalu di luar logika.
Economic Bubble
Dengan alasan meningkatkan ekonomi perajin batu akik, ada
beberapa kepala daerah yang mewajibkan
para PNS di daerahnya memakai batu akik. Naiknya pamor batu akik tak terlepas
dari rekayasa economic bubble.
Secara
sederhana economic bubble adalah
suatu kondisi dimana suatu benda dibuat popular oleh pasar dan harga-harganya
sangat tergantung oleh hukum permintaan dan penawaran. Harga dibuat perlahan
tapi pasti merangkak naik sampai akhirnya menjadi gelembung-gelembung harga
yang tinggi. Pada suatu titik jenuh, pasar tidak akan sanggup lagi menahan
harga dan pada akhirnya gelembung itu pecah. Sehingga tibalah benda tersebut
pada titik harga terendah.
Pernah
ada dua contoh fenomena economic bubble
ini, yaitu ketika demam ikan louhan dan tanaman anthurium. Kedua jenis barang
tersebut pada mulanya tidak diminati, karena ada monopoli pasar, promosi yang
gencar, dan ulah spekulan. Maka harga-harganya menjadi semakin tinggi hingga
mencapai ratusan juta rupiah. Yang diuntungkan adalah penjual yang berada di
tangga awal dan puncak harga, yang dirugikan adalah pembeli yang berada di
puncak harga ketika kejenuhan terjadi. Dalam sekejap karena tidak kuatnya pasar
menahan harga yang irasional, harga barang-barang tadi terjun bebas ke titik
terendah.
Bagaimana
dengan fenomena batu akik? Ada perbedaan cukup besar antara batu akik dan batu
mulia. Batu akik adalah batu hasil olahan alam dengan tingkat kekerasan yang
tidak begitu tinggi dan harganya tidak terlalu tinggi karena tersedia dalam
jumlah yang sangat banyak. Contohnya batu panca warna, nilam, phirus,
bungbulang, jenis batu garut, dan lainnya. Sedangkan batu mulia adalah batu
hasil olahan alam selama waktu yang sangat lama dari masa jutaan tahun lalu dengan
tingkat kekerasan yang sangat tinggi dan harganya juga tinggi karena tersedia
dalam jumlah yang terbatas. Contohnya ruby, sapphire, permata, intan, berlian, zamrud,
emerald, dan lainnya.
Batu
akik inilah yang jadi fenomena demam batu di Indonesia. Awalnya tidak dilirik,
harganya murah tetapi sekarang karena pemberitaan dan ulah spekulan di pasar
harga-harganya menjadi tinggi, dan ada semacam latah berjamaah. Harga batu akik
semakin tinggi karena di dalamnya ada motif-motif tertentu, entah sengaja
dimirip-miripkan, seperti gambar naga, atau sesuatu sehingga harganya bisa mencapai
miliaran.
Berbeda
dengan batu mulia. Disebut mulia karena nilai instrinsik dan kelangkaannya yang
tinggi. Dari awal harganya sudah sangat tinggi dan sampai kapanpun tetap
tinggi. Pernah disinggung oleh ekonom Islam Ibnu Khaldun (1332-1406) dalam buku
terkenalnya yaitu “Mukaddimah” bahwa logam/batu mulia merupakan nilai tukar
yang adil, nilainya berlaku sepanjang zaman. Artinya tingkat inflasi bagi logam
dan batu mulia adalah mendekati bahkan sama dengan nol.
Titik Jenuh
Rekayasa atau jurus-jurus economic bubble biasanya dipakai para
pialang saham untuk mengeruk keuntungan. Mereka biasanya membuat isu-isu,
rumor, atau hoax, agar pergerakan harga bursa bisa dikendalikan oleh mereka.
Soal batu akik juga demikian, ada isu-isu batu akik jenis A diminati oleh orang
Taiwan, Korea, Jepang, dan sebagainya, mereka berani membayar tinggi. Atau hoax
yang menyatakan bahwa Presiden Obama atau artis-artis Hollywood memakai batu
akik.
Jurus-jurus economic bubble seperti mempromosikan barang-barang lainnya. Para
pelaku menyampaikan
pesan informasi, membentuk opini melalui media masa maupun even-even yang
mereka bentuk seperti mengadakan pameran, expo, kontes pemilihan batu akik, sampai
pemilihan Putri Batu Akik dengan menampilkan wanita-wanita cantik. Hal itu
sah-sah saja serta bisa dilakukan untuk mengangkat nilai dari suatu komoditas
yang dikehendaki.
Praktik-praktik seperti itu sudah lazim dan biasa. Contohnya seperti lomba perkutut, lomba ikan hias, lomba tanaman hias, dll. Pemenangnya pun secara tidak langsung akan memperoleh penawaran harga yang terus melambung.
Praktik-praktik seperti itu sudah lazim dan biasa. Contohnya seperti lomba perkutut, lomba ikan hias, lomba tanaman hias, dll. Pemenangnya pun secara tidak langsung akan memperoleh penawaran harga yang terus melambung.
Penulis bukan anti-batu akik, tapi
mengharapkan agar masyarkat lebih rasional. Penulis hanya ingin mengingatkan
bahwa banyak orang yang terjebak dan terjebak lagi dalam fenomena ini. Ciri
khas dalam fenomena economic bubble
adalah informasi yang dilebih-lebihkan. Misalnya, si X menjual batu akik dengan
harga sekian miliar. Atau batu akik si Y sudah ditawar sekian miliar, tapi tidak
dilepas. Informasi harga yang irasional seperti ini akan dimakan mentah-mentah
oleh masyarakat. Akibatnya semua menjadi tertarik.
Ketika
bisnis ini dibuat seolah menggiurkan, semakin banyak orang yang memulai bisnis
batu akik ini. Orang-orang mulai mencari batu akik di hutan, di sungai, di
dalam gua, membuat lubang-lubang di dalam tanah, dll. Dengan banyaknya orang
yang mencari batu akik, maka lambat laun pasokan bahan batu akik semakin
meningkat karena memang melimpah dan mudah didapat. Ketika pasokan bahan batu akik
ini terus meningkat, orang yang mau membeli batu akik mulai berpikir: Apa
kegunaannya? Apa keuntungannya? Apakah sebanding dengan harganya?
Ketika orang
mulai berpikir seperti itu, maka banyak orang yang mulai menahan keinginannya
untuk memiliki batu akik. Supply
terus melimpah tapi penawaran terus turun. Nah, pada titik jenuh inilah para
pebisnis batu akik mulai panik. Mereka mulai kebingungan, mau dijual kemana batu
akiknya? Kok tak ada yang beli? Ketika itu terjadi, mereka mulai akan
membanting harga batu akik kembali pada harga seperti dulu.
Untuk itu, kita harus bersikap
wajar dalam menyikapi demam batu akik. Sebab hingga kini, batu akik belum
memiliki standar harga di pasaran. Selain itu, batu tersebut belum memiliki
sertifikasi yang bisa menjaga harga dan keasliannya. Harga-harga tinggi untuk
batu akik tertentu karena efek psikologis semata. Kondisi itu bisa memicu
perubahan yang tidak bisa diprediksi, yakni bisa terus melonjak ataupun jatuh
secara tiba-tiba jika sudah berada di titik jenuh. Batu akik bukanlah bahan
langka dan belum bisa dijadikan sebagai investasi jangka panjang seperti emas
atau berlian. ***