Ada ‘Serigala’ di Sekolah

Ada ‘Serigala’ di Sekolah
Oleh : Fadil Abidin

            Ada ‘serigala’ di sekolahku. Sebagai guru SD pada mulanya saya tidak percaya ada ‘serigala’ berkeliaran di beberapa kelas di sekolah tempat saya mengajar. Ini lembaga pendidikan yang mendidik manusia agar menjadi manusia seutuhnya, bukan sirkus yang hendak mendidik binatang bertingkah laku layaknya manusia atau sebaliknya. Fenomena munculnya ‘serigala’ adalah jika tidak ada guru di dalam kelas maka akan terdengar lolongan serigala. Lolongan itu kemudian disahuti lolongan lain, berarti banyak ‘serigala’ di dalam kelas tersebut.

            Suatu hari di kelas VI A yang tidak ada gurunya (tidak jelas gurunya hadir atau tidak), terjadi kegaduhan, teriakan, dan baku hantam dalam kelas. Lalu beberapa murid perempuan keluar ruangan menuju ruang guru melaporkan terjadi perkelahian antar ‘serigala’ tersebut. Guru piket yang dari tadi diam saja ketika mendengar lolongan serigala tersebut tergopoh-gopoh memasuki kelas. Dua orang murid laki-laki sedang bergumul, saling cakar dan saling gigit. Mata merah melotot dengan mulut komat-kamit.
            Perkelahian di atas bukanlah adegan di sinetron “Ganteng-ganteng Serigala” atau GGS yang ditayangkan tiap hari di sebuah stasiun televisi. Bunyi lolongan serigala mereka tiru di sinetron tersebut, termasuk aksi menggigit dan mencakar. Lalu apa hasil dari perkelahian antar ‘serigala’ tersebut?
            Satu murid kena gigitan di lengan kiri, ada berkas merah berdarah melingkar seperti deretan gigi. Lawannya kena cakar pada wajahnya, ada tiga garis lurus di pipi kanan mengeluarkan sedikit darah, persis seperti terkena sabetan cakar Wolverine tokoh kartun dalam X-Men. Siapa yang salah? Tidak jelas.
            Mereka saling menyalahkan. Selidik punya selidik ternyata persoalannya gara-gara cemburu. Si X cemburu dan marah karena si Z menggoda murid perempuan si A. Si X rupanya naksir kepada si A, dan tak rela jika digoda si Z. Maka terjadilah duel. Terinspirasi atau tidak dari sinetron GGS mereka berkelahi layaknya dua serigala jantan yang tengah memperebutkan serigala betina.
            Jika kita amati, sinetron GGS banyak memberikan dampak buruk pada anak-anak sekolah terutama murid SD. Perilaku melolong menirukan suara serigala, menyeringai, mata melotot, saling cakar, saling gigit, dan adegan pacaran kerap ditiru anak-anak. Dalam satu bulan ini saja, di sekolah kami ada tiga kasus anak-anak yang berkelahi dengan saling cakar dan saling gigit.
            Ketika orangtua mereka dipanggil ke sekolah, para orangtua mengakui jika anak-anaknya memang kerap melolong seperti serigala, dan ironisnya mereka biarkan begitu saja. Mereka anggap perilaku tersebut biasa saja hanya sekadar meniru. Dan mereka sama sekali tidak menyadari efek meniru tersebut akan berlanjut kepada perilaku suka mencakar dan menggigit orang lain.
Kekerasan di Sekolah
            Beberapa bulan belakangan ini, kita kerap disuguhi tindak kekerasan yang terjadi di sekolah dasar. Kekerasan tersebut baik fisik maupun seksual yang dilakukan oleh murid-murid SD itu sendiri. Ada seorang bocah yang baru kelas III tewas karena dipukul kakak kelasnya karena persoalan sepele. Ada pengeroyokan dan penyiksaan terhadap murid perempuan yang dilakukan teman-temannya, direkam dan unggah ke situ Youtube. Ada pula kasus kekerasan seksual, seorang murid SD memasukkan gagang sikat kamar mandi ke kemaluan teman perempuannya, dan masih banyak lagi. 
            Ini merupakan fenomena baru, selama ini kita menganggap anak-anak SD seperti malaikat-malaikat kecil tanpa dosa. Nyaris tanpa prasangka dan tanpa terduga mereka bisa melakukan itu semua. Mengapa anak-anak belia tersebut kini menjadi buas?
             Teori Tabula Rasa dari John Locke (1638-1704) menyatakan bahwa manusia yang baru dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai tabula rasa atau kertas putih yang belum ditulisi (a sheet ot white paper avoid of all characters). Jadi, sejak lahir manusia itu tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa. Manusia dapat dibentuk oleh lingkungan sosialnya. Di sini kekuatan ada pada lingkungan. Lingkungan berkuasa atas pembentukan perilaku bahkan kepribadian manusia.
            Lingkungan sosial anak-anak kita zaman sekarang ini memang kurang sehat. Di sekeliling rumah atau sekolah bertebaran warung internet atau rental Playstation (PS). Anak-anak SD sekarang pun sudah diberi perangkat ponsel yang sudah bisa memutar video. Setiap mereka mengakses internet dan mendowload video-video dewasa, mereka menyimpannya di ponsel atau di flash disk. Kondisi ini diperparah dengan tayangan televisi yang kerap menampilkan acara yang tidak mendidik.
            Adegan-adegan kekerasan, perkelahian, saling pukul, dsb mereka tiru dari adegan-adegan laga di game online maupun offline, permainan PS dan film. Tapi yang paling berkesan dan mudah ditiru anak-anak adalah tayangan televisi. Dulu kita mengenal “Smackdown” gulat bebas Amerika yang banyak ditiru anak-anak. Korban pun berjatuhan. Tayangan tersebut kemudian dilarang setelah banyak pihak yang keberatan.
            Kini yang lagi trend adalah sinetron GGS yang mencontek film Twillight. Sinetron GGS secara tak langsung mengajari anak-anak untuk menjadi ‘serigala’, anak-anak pun latah bertingkah laku seperti serigala. Anak-anak pun berubah menjadi serigala yang kerap memangsa teman-temannya, berbuat kekerasan, menganiaya, melakukan pelecehan seksual, dan sudah membentuk kelompok-kelompok geng. Kini ada ‘serigala’ di hampir tiap sekolah.
Ironisnya, sukses secara rating sinetron GGS diikuti oleh pendomplengnya yaitu “Manusia Harimau”. Mungkin setelah ini ada sinetron “Cantik-cantik Macan” atau “Manusia Singa”. Kita tidak tahu, mereka itu manusia atau sejenis hewan ajaib yang langka. ***