Potret Buram Hutan Indonesia
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 2 Januari 2010
Terdapat keyakinan, dahulu nyaris seluruh daratan Indonesia ditumbuhi hutan. Indonesia merupakan rumah dari hutan hujan terluas (tropical rain forest) di seluruh Asia dan nomor dua dunia setelah hutan Amazon Brasil.
Sekitar tujuh belas ribu pulau-pulau di Indonesia membentuk kepulauan yang membentang di dua alam biogeografi - Indomalayan dan Australasian, dan tujuh wilayah biogeografi, serta menyokong luar biasa banyaknya keanekaragaman dan penyebaran spesies. Dari sebanyak 3.305 spesies amfibi, burung, mamalia, dan reptil yang diketahui di Indonesia, sebesar 31,1 persen masih ada dan 9,9 persen terancam. Indonesia merupakan rumah bagi setidaknya 29.375 spesies tumbuhan vaskular, yang 59,6 persennya masih ada.
Hutan-hutan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tertinggi di dunia, meskipun luas daratannya hanya 1,3 persen dari luas daratan di permukaan bumi. Kekayaan hayatinya mencapai 11 persen spesies tumbuhan yang terdapat di permukaan bumi. Selain itu, terdapat 10 persen spesies mamalia dari total binatang mamalia bumi, dan 16 persen spesies burung di dunia.
Luas Hutan Indonesia
Sebenarnya berapa luas hutan di Indonesia? Dinas Kehutanan Indonesia pada 1950 pernah merilis peta vegetasi. Peta yang memberikan informasi lugas, bahwa dulunya sekitar 84 persen luas daratan Indonesia (162.290.000 hektar) pada masa itu, tertutup hutan primer dan sekunder, termasuk seluruh tipe perkebunan.
Peta vegetasi 1950 juga menyebutkan luas hutan per pulau secara berturut-turut, Kalimantan memiliki areal hutan seluas 51.400.000 hektar, Irian Jaya seluas 40.700.000 hektar, Sumatera seluas 37.370.000 hektar, Sulawesi seluas 17.050.000 hektar, Maluku seluas 7.300.000 hektar, Jawa seluas 5.070.000 hektar dan terakhir Bali dan Nusa Tenggara Barat/Timur seluas 3.400.000 hektar.
Menurut catatan pada masa pendudukan Belanda, pada 1939 perkebunan skala besar yang dieksploitasi luasnya mencapai 2,5 juta hektar dan hanya 1,2 juta hektar yang ditanami. Sektor ini mengalami stagnasi sepanjang tahun 1940-an hingga 1950-an. Tahun 1969, luas perkebunan skala kecil hanya mencapai 4,6 juta hektar. Sebagaian besar lahan hutan itu berubah menjadi perkebunan atau persawahan sekitar 1950-an dan 1960-an. Alasan utama pembukaan hutan yang terjadi adalah untuk kepentingan pertanian, terutama untuk budidaya padi.
Memasuki era 1970-an, hutan Indonesia menginjak babak baru. Di masa era ini, deforestrasi (menghilangnya lahan hutan) mulai menjadi masalah serius. Industri perkayuan memang sedang tumbuh. Pohon bagaikan emas coklat yang menggiurkan keuntungannya. Lalu penebangan hutan secara komersial mulai dibuka besar-besaran. Saat itu terdapat konsesi pembalakan hutan (illegal logging), yang awalnya bertujuan untuk mengembangkan sistem produksi kayu untuk kepentingan masa depan. Pada akhirnya langkah ini terus melaju menuju degradasi hutan yang serius. Kondisi ini juga diikuti oleh pembukaan lahan dan konversi menjadi bentuk pemakaian lahan lainnya.
Hasil survei yang dilakukan pemerintah menyebutkan bahwa tutupan hutan pada tahun 1985 mencapai 119 juta hektar. Bila dibandingkan dengan luas hutan tahun 1950 maka terjadi penurunan sebesar 27 persen. Antara 1970-an dan 1990-an, laju deforestrasi diperkirakan antara 0,6 dan 1,2 juta hektar.
Namun angka-angka itu segera diralat, ketika pemerintah dan Bank Dunia pada 1999, bekerjasama melakukan pemetaan ulang pada areal tutupan hutan. Menurut survei 1999 itu, laju deforestrasi rata-rata dari tahun 1985–1997 mencapai 1,7 juta hektar. Selama periode tersebut, Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan mengalami deforestrasi terbesar. Secara keseluruhan daerah-daerah ini kehilangan lebih dari 20 persen tutupan hutannya. Para ahli pun sepakat, bila kondisinya masih begitu terus, hutan dataran rendah non rawa akan lenyap dari Sumatera pada 2015 dan di Kalimantan setelah 2020. Pada akhirnya ditarik suatu kesimpulan yang mengejutkan. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen (Sumber: World Resource Institute, 1997).
Pada periode 1997–2000, ditemukan fakta baru bahwa penyusutan hutan meningkat menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Dua kali lebih cepat ketimbang tahun 1980. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, di antaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan (Badan Planologi Dephut, 2003). Dan menciptakan potret keadaan hutan Indonesia dari sisi ekologi, ekonomi, dan sosial ternyata semakin buram.
Pengelolaan Hutan
Forest Watch Indonesia bersama Global Forest Watch menyajikan laporan penilaian komprehensif yang pertama mengenai keadaan hutan Indonesia. Laporan ini menyimpulkan bahwa laju deforestasi yang meningkat dua kali lipat utamanya disebabkan suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi. Ketidakstabilan politik yang mengikuti krisis ekonomi pada 1997 dan yang akhirnya melengserkan Presiden Soeharto pada 1998, menyebabkan deforestasi semakin bertambah sampai tingkatan yang terjadi pada saat ini.
Pengelolaan hutan yang buruk dimulai semenjak Orde Baru berkuasa. Konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang mencakup lebih dari setengah luas total hutan Indonesia, oleh mantan Presiden Soeharto sebagian besar di antaranya diberikan kepada sanak saudara dan para pendukung politiknya. Kroniisme di sektor kehutanan membuat para pengusaha kehutanan bebas beroperasi tanpa memperhatikan kelestarian produksi jangka panjang.
Ekspansi besar-besaran dalam industri kayu lapis dan industri pulp dan kertas selama 20 tahun terakhir menyebabkan permintaan terhadap bahan baku kayu pada saat ini jauh melebihi pasokan legal. Kesenjangannya mencapai 40 juta meter kubik setiap tahun. Banyak industri pengolahan kayu yang mengakui ketergantungan mereka pada kayu curian, jumlahnya mencapai 65 persen dari pasokan total pada 2000.
Korupsi dan anarki atau ketiadaan hukum semakin berkembang menjadi faktor utama meningkatnya pembalakan ilegal dan penggundulan hutan. Pencurian kayu bahkan marak terjadi di kawasan konservasi, misalnya di Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah dan di Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara dan Aceh.
Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan sistem konversi hutan menjadi perkebunan menyebabkan deforestasi bertambah luas. Banyak pengusaha mengajukan permohonan izin pembangunan HTI dan perkebunan hanya sebagai dalih untuk mendapatkan keuntungan besar dari Izin Pemanfaatan Kayu (kayu IPK) pada areal hutan alam yang dikonversi. Setelah itu mereka tidak melakukan penanaman kembali, yang menyebabkan jutaan hektar lahan menjadi terlantar. Disamping itu, beberapa perusahaan perkebunan dan HTI sering melakukan pembakaran untuk pembersihan lahan, yang merupakan sumber utama bencana kebakaran hutan di Indonesia.
Pembakaran hutan merupakan salah satu ancaman serius terhadap kerusakan hutan Indonesia. Namun demikian, sampai saat ini belum banyak tindakan hukum yang telah diambil oleh pemerintah terhadap para pembakar hutan, meskipun sudah ada peraturan perundangan tentang larangan pembakaran hutan, di antaranya PP No. 4 Tahun 2001.
Efek dari berkurangnya hutan ini pun meluas, tampak pada aliran sungai yang tidak biasa, erosi tanah, longsor dan banjir bandang kerap terjadi di lereng lembah dan aliran sungai. Ketika musim penghujan terjadi banjir dan ketika musim kemarau terjadi kekeringan. Selain masalah ekologi juga timbul masalah ekonomi, yaitu dengan berkurangnya hasil dari produk-produk hutan dan berkurangnya kesuburan tanah.
Polusi dari pemutih khlorin yang digunakan untuk memutihkan sisa-sisa dari tambang telah merusak sistem sungai dan hasil bumi di sekitarnya, sementara perburuan ilegal telah menurunkan populasi dari beberapa spesies yang mencolok, di antaranya orangutan (terancam), harimau Jawa dan Bali (punah), serta badak Jawa dan Sumatera (hampir punah). Di pulau Irian Jaya, satu-satunya sungai es tropis mulai menyurut selain sebagai akibat perubahan iklim, juga akibat lokal dari pertambangan dan penggundulan hutan.