Mengurangi
Ketimpangan Subsidi Energi
Oleh : Fadil Abidin
Pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM)
bersubsidi sebesar Rp 2.000 per liter. Sehingga harga premium dari Rp 6.500
menjadi Rp 8.500 dan harga solar dari Rp 5.500 menjadi Rp 7.500. Kenaikan harga
BBM berlaku sejak 18 November 2014 lalu, dengan kenaikan tersebut pemerintah
menghemat anggaran subsidi sekitar Rp 100 triliun.
Presiden Joko Widodo mengatakan kebijakan itu diambil untuk
mengalihkan subsidi BBM dari sektor konsumtif ke produktif. Menurut dia, selama
ini negara membutuhkan anggaran untuk membangun infrastruktur, kesehatan,
pendidikan, namun tak tersedia karena uang negara dihamburkan untuk subsidi
BBM.
Jokowi menjelaskan untuk rakyat kurang mampu yang terkena
dampak kenaikan harga BBM, pemerintah menyiapkan perlindungan sosial
berupa Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia
Pintar untuk menjaga daya beli masyarakat.
Pengumuman kenaikan harga BBM terasa “istimewa” karena
Presiden Jokowi sendiri yang mengumumkan. Sejak reformasi, Jokowi adalah
presiden pertama yang mengumumkan sendiri kenaikan harga BBM. Pada masa
pemerintahan sebelumnya, kenaikan harga BBM diumumkan oleh pejabat setingkat
menteri. Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo
Bambang Yudhoyono ‘tidak berani’ mengumumkan sendiri kenaikan harga BBM.
Presiden SBY tiga kali menaikkan harga BBM dan tiga kali pula
menurunkan harga BBM. Pengumuman kenaikan harga BBM dilakukan oleh para
menterinya, sedangkan ketika menurunkan SBY memilih untuk mengumumkan sendiri.
Langkah Presiden Jokowi, mengumumkan sendiri kenaikan harga
BBM menunjukkan keberaniannya untuk tidak populer. Berani menghadapi resiko
interpelasi di DPR, siap dikritik, dan siap dicaci maki para pendemo. Alasan
Presiden mengumumkan langsung karena beliau berprinsip, yang sulit-sulit harus dia
hadapi sendiri. Padahal, para menteri siap untuk mengumumkan hal tersebut.
Ketimpangan Subsidi
Setiap
kali mengisi BBM di SPBU saya sering merasa iri dengan para pemilik mobil.
Bayangkan sepeda motor saya hanya diisi 2 liter bensin, sementara mobil mereka
bisa diisi 20-50 liter bensin. Jika dulu subsidi BBM per liter sekitar Rp
4.000, berarti pemerintah memberi subsidi kepada saya hanya Rp 8.000 untuk
setiap kali mengisi BBM. Sementara pemilik mobil yang notabene orang-orang yang
lebih kaya justru menyedot subsidi BBM Rp 80.000 – Rp 200.000 setiap kali
mengisi BBM. Itulah ketimpangan subsidi!
Beban subsidi BBM semakin besar
karena ‘populasi’ kendaraan yang rakus memakan BBM juga semakin banyak. Program
mobil murah, kredit mobil murah, tidak ada pembatasan usia mobil yang boleh
beroperasi, pajak kendaraan (mobil) yang juga relatif murah, membuat masyarakat
berlomba-lomba membeli mobil yang banyak menyedot BBM. Orang-orang kaya bahkan
punya 2-5 mobil di garasinya, dan setiap anak diberi mobil. Anggaran subsidi
BBM dalam APBN setiap tahun pun terus membengkak.
Sebagai catatan, selama 10 tahun pemerintahan SBY nilai
subsidi energi mencapai Rp 1.935 triliun. Selain itu, mengingat hampir separuh
dari BBM yang dikonsumsi di Indonesia merupakan impor, maka dampaknya juga akan
memukul neraca perdagangan nasional. Dalam 3 tahun terakhir neraca perdagangan
Indonesia selalu negatif akibat besarnya importansi migas, terutama BBM.
Walaupun harga minyak internasional turun, walaupun harga
premium naik, tapi pemerintah masih menggelontorkan subsidi BBM yang besar. Harga
keekonomian BBM jenis premium pada November 2014 sebesar Rp 9.200 per liter. Dengan
harga baru Rp 8.500 per liter, pemerintah masih memberikan subsidi Rp 700 per
liter. RAPBN 2015 mematok kuota konsumsi BBM bersubsidi sebesar 45,2 juta
kiloliter, anggaran subsidi BBM masih sebesar sekitar Rp 276 triliun.
Kecuali untuk anggaran pendidikan, selama 10 tahun terakhir,
anggaran yang disalurkan pemerintah untuk subsidi BBM Rp 1.935 triliun.
Anggaran ini jauh lebih besar dibandingkan anggaran untuk pembangunan
infrastruktur, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Dan penikmat subsidi ini sebagian
besar justru orang-orang kaya bermobil yang lebih banyak menyedot BBM.
Beban anggaran akibat subsidi BBM membuat banyak negara tak
bisa mempertahankan kebijakan populis tersebut. Sebelumnya, praktik subsidi
diterapkan oleh negara penghasil minyak di Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia
Tenggara. Namun, meroketnya harga minyak sejak pertengahan dekade lalu membuat
subsidi tak lagi relevan. Dana subsidi yang demikian besar dialihkan untuk
sektor lain seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Di sejumlah negara importir seperti Korea Selatan, Inggris,
Belanda, Jepang, dan Singapura, BBM bahkan dikenakan pajak sangat tinggi. Di
Belanda, misalnya, pajak mencapai 62% sehingga harga BBM mencapai $ 2,12. Saat
ini hanya ada 6 negara di dunia yang masih menerapkan subsidi BBM yang cukup
tinggi, yaitu negara produsen utama minyak dunia seperti Venezuela, Arab Saudi,
Iran, Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia. Di negara-negara tersebut,
harga BBM tercatat masih yang paling murah di dunia.
Tapi imbas kenaikan harga minyak dunia beberapa waktu lalu
membuat negara-negara tersebut memangkas subsidinya. Ketika negara importir
mengenakan pajak, dan negara eksportir memotong subsidi, yang terjadi di
Indonesia adalah sebuah anomali. Setelah menjadi net importir sejak 2008 lalu,
pemerintah sulit “move on” dari rezim subsidi. Harga BBM di Indonesia tergolong
yang paling murah di dunia, di bawah $ 1. Padahal, subsidi BBM sebesar Rp 276
triliun dalam APBN 2015 menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi karena
terbatasnya anggaran untuk sektor lain.
Pengalihan Subsidi
Presiden Jokowi menerangkan bahwa kebijakan mengurangi
subsidi BBM tersebut diperlukan untuk memberikan ruang fiskal agar dapat
membangun sektor produktif. RAPBN 2015 mematok kuota konsumsi BBM bersubsidi
sebesar 45,2 juta kiloliter. Dengan penarikan subsidi sebesar Rp 2.000 per
liter, pemerintah setidaknya akan menghemat Rp 90,4 triliun. Menteri Keuangan
Bambang Brodjonegoro menyebutkan penghematan Rp 100 triliun.
Selain sektor produktif, dana hasil penghematan akan
digunakan untuk program sosial, antara lain Kartu Indonesia Sehat dan Kartu
Keluarga Sejahtera (KIS). Bantuan iuran untuk KIS sebesar Rp 25.500 per bulan
akan diberikan kepada 86,2 juta rakyat. Sedangkan, untuk program Kartu Keluarga
Sejahtera (KKS), pemerintah mengucurkan Rp 200.000 per bulan selama delapan
bulan untuk 15,5 juta kepala keluarga.
Dana penghematan juga akan digunakan untuk sektor pertanian.
Rencananya, pemerintah akan membenahi irigasi yang rusak untuk mendongkrak
produksi pangan. Indonesia memiliki 3,3 juta hektare lahan dengan irigasi yang
buruk dan pemerintah menargetkan membenahi 1 juta hektare lahan per tahun.
Menurut perhitungan Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa,
setiap 1 hektare lahan dapat memproduksi 1 ton beras. Hal ini berarti dalam 1
tahun, pertanian Indonesia dapat memproduksi tambahan 1 juta ton beras untuk
konsumsi masyarakat. Dana penghematan subsidi BBM juga akan digunakan untuk
percepatan pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan, jalan, jembatan,
bandara, dan infrastruktur penting seperti pipa transmisi gas.
Pengurangan subsidi BBM jelas tidak populer. Pengurangan
subsidi ibarat balita yang ‘disapih’ menyusui oleh ibunya. Pasti akan timbul
gejolak, penolakan, demo, dan dampak-dampak pengiringnya. Kenaikan harga BBM
sudah pasti akan mengakibatkan kenaikan harga barang-barang, kenaikan biaya
transportasi, terjadinya inflasi, dsb.
Tapi walaupun ‘sakit’ bagaimanapun seorang balita harus
disapih pada waktunya. Kita harus sadar, Indonesia saat ini bukan negara
pengekspor minyak, bahkan telah menjadi negara net importer minyak. Subsidi BBM
yang telah kita nikmati berpuluh-puluh tahun ini lambat laun harus dikurangi.
Rezim subsidi BBM yang selama ini kita nikmati jelas telah
salah sasaran, telah terjadi ketimpangan dan penyimpangan. Ketimpangan ini pada
akhirnya menjadi beban bagi perekonomian negara, bahkan telah menghambat
perkembangan di sektor-sektor lain. Untuk itu ketimpangan dalam subsidi energi
harus dikurangi. Tugas kita selanjutnya adalah mengawasi bersama agar
pengalihan subsidi BBM ini benar-benar terealisasi seperti yang diharapkan.***