Ahok
Tak Bisa Mundur di Pilkada DKI
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam OPINI Harian Analisa Medan,
18 November 2016
Tulisan
ini tidak
untuk mencoba membawa variabel suku, agama, ras, antargolongan atau SARA. Namun
mencoba memandang dalam perspektif politik dan hukum, khususnya Undang-Undang
Pilkada. Secara hukum, Ahok dipersulit untuk mundur dari pencalonannya, bahkan
jika dia dimundurkan sekalipun oleh partai politik pengusungnya. Keduanya mustahil
dilakukan, karena mempunyai konsekuensi
hukum yang berat.
Banyak pihak yang
memberikan pendapat bahwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebaiknya mundur
dalam kompetisi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI tahun 2017. Alasannya
beragam, ada yang bilang kemungkinan untuk menang sudah tidak ada karena ia
sudah distigmatisasi sebagai penista agama. Elektabilitas telah menurun drastis,
sangat mustahil berpeluang untuk menang.
Alasannya
lainnya, Ahok harus “mengalah” karena desakan publik terutama umat Islam yang
merasa tersinggung atas ucapannya. Para politisi pesaing Ahok kerap mendesak
agar Ahok mengundurkan diri demi persatuan bangsa. Bahkan ada isu-isu yang
menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo membujuk Ahok agar mundur di Pilkada DKI
sehingga bisa diangkat menjadi duta besar di negara lain dan terbebas dari
jeratan kasus penistaan agama.
Tapi,
apa pun bentuk desakan tersebut, Ahok tetaplah Ahok yang keras kepala dan tetap
teguh pada pendiriannya. Walaupun ratusan ribu massa demonstran pada 4 Nopember
2016 lalu mengecam dan mengutuknya, Ahok menegaskan bahwa ia adalah warga
negara yang taat hukum. “Saya lebih ikhlas ditangkap dan dipenjara kalau
terbukti bersalah secara hukum, daripada mundur di Pilkada DKI 2017,” jelas
Ahok (Tribunnews.com, 5/11/2016).
Para
pihak yang mendesak mundur demi alasan kebaikan bangsa, demi persatuan bangsa,
atau demi ini dan itu lainnya, sebenarnya mempunyai keinginan untuk menjebak
Ahok terperosok ke dalam persoalan hukum yang lain. Ahok tetap tidak akan
terpengaruh.
Setelah
Ahok tetap keras kepala dengan pendiriannya, maka para lawan politiknya
mengembuskan isu lain. Di jejaring sosial atau portal berita online di luar
portal berita mainstream, disebutkan
isu tentang penarikan dukungan partai politik pengusung Ahok. Partai A konon
katanya mencabut dukungan terhadap Ahok, atau mendesak Ahok mundur, dan isu-isu
lainnya hingga perpecahan antar partai pendukung.
Tak
Bisa Mundur
Perlu
ditegaskan sekali lagi, bahwa Ahok tidak bisa mundur atau dimundurkan di
Pilkada DKI 2017 nanti. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pilkada, Pasal
191 ayat (1) menyatakan: Calon Gubernur,
Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan
Calon Wakil Walikota yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah penetapan
pasangan calon sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 60
(enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh
lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah).
Jika Ahok
mundur dalam kontestasi Pilkada 2017, maka Ahok akan terjerat kasus pelanggaran
pidana. Ancaman hukuman juga sangat berat, karena selain diancam hukuman
penjara 2 hingga 5 tahun, juga dikenakan denda Rp 25 miliar hingga Rp 50
miliar. Ahok tentu bukanlah orang bodoh dan mau dibodohi agar mau mundur,
karena risiko hukumnya lebih serius. Makanya, Ahok lebih memilih masuk penjara
karena dugaan kasus penistaan agama (jika benar-benar bersalah), ketimbang
mundur dari pencalonan Pilkada DKI.
Partai
politik yang mengusung Ahok juga tidak bisa memundurkan atau menarik dukungan
kepada Ahok dalam Pilkada. Hal ini juga mempunyai konsekuensi hukum terhadap
para pimpinan partai politik yang mendukungnya.
Ayat (2): Pimpinan Partai Politik atau gabungan pimpinan Partai
Politik yang dengan sengaja menarik pasangan calonnya dan/atau pasangan calon
perseorangan yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah ditetapkan oleh KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan
paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp 25.000.000.000,00
(dua puluh lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah).
Pertanyaannya, sudah siapkah para pimpinan
parpol tersebut masuk penjara selama 2 hingga 5 tahun, dan dikenakan denda Rp
25 miliar hingga Rp 50 miliar? Jawabannya, tentu tidak. Sehingga tidaklah masuk
akal jika mereka menarik dukungan. Berita-berita tentang penarikan dukungan
ini, pastilah hoax.
Bahkan seandainya, calon
kepala daerah dengan sengaja mengundurkan diri setelah pemungutan suara putaran
pertama sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran kedua, ancaman pidananya
lebih berat lagi. Pasal 192 mengancam dengan pidana penjara paling singkat 36
bulan, dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp 50 miliar dan
paling banyak Rp 100 miliar.
Demikian juga bagi
pimpinan parpol yang dengan sengaja menarik dukungannya setelah memasuki
tahapan ini. Ancaman pidana penjara paling singkat 36 bulan, dan paling lama 72
bulan dan denda paling sedikit Rp 50 miliar dan paling banyak Rp 100 miliar.
Proses
Hukum
Dengan demikian, tidak
mungkin Ahok mau mundur, dan mana mungkin parpol-parpol pendukungnya mau
menarik kembali dukungannya kepada Ahok. Selain hal ini dinamakan “bunuh diri
politik” karena dianggap mempermainkan proses demokrasi, juga berimplikasi pada
ganjaran hukuman yang sangat berat.
Tidak itu saja,
seandainya setelah melalui proses hukum melalui gelar perkara yang transparan,
cepat dan tegas, bahkan akan dibuka kepada publik hasil dan prosesnya.
Seandainya, Bareskrim Polri memutuskan menetapkan status Ahok sebagai tersangka
pun, belum mampu membuat Ahok tersingkir dari kompetisi Pilkada DKI 2017.
Seorang calon kepala
daerah, baru bisa dibatalkan pencalonannya jika sudah melalui tahapan sidang
pengadilan, dan telah ada vonis hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
sebelum hari pemungutan suara, menyatakan yang bersangkutan terbukti melakukan
suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara paling singkat 5 tahun
penjara. Ketentuan tersebut diatur di pasal 88 ayat 1 huruf b Peraturan KPU
Nomor 9 Tahun 2016.
Ahok tidak
bisa mengikuti Pilkada jika dia jadi tersangka pelaku tindak pidana
yang sudah diatur dalam UU Pilkada. Sedangkan untuk kasus dugaan penodaan agama
adalah delik umum yang diatur dalam KUHP. Karena itu, jika nantinya Ahok
dinyatakan menjadi tersangka pun, ada aturan lain yang menyatakan dia tidak
perlu ditahan agar Pilkada DKI bisa berlangsung secara normal, fair dan juga
adil bagi semua kontestan.
Penegakkan hukum
haruslah dilakukan secara benar, adil dan juga objektif. Kalau salah nyatakan
salah. Kalau tidak salah nyatakan tidak salah. Semua pihak harus menerima
segala putusan hukum dengan bijak. Penegakkan hukum janganlah dilakukan atas
dasar kebencian atau atas dasar kepentingan yang berat sebelah. ***