Amerika di Bawah Trump

Amerika di Bawah Trump
Oleh : Fadil Abidin

            “NotMyPresident” sempat menjadi trending topic global pada 9-11 Nopember 2016 lalu. Frasa ini kemudian menjadi slogan demonstrasi atas kekecewaan atau ketidaksukaan warga Amerika atas terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat yang ke-45. Demo besar-besaran akan terjadi di acara pelantikan pada 20 Januari 2017.

            Kemenangan Donald Trump pada pilpres lalu memang diwarnai kontroversi. Trump secara electoral collage unggul 74 suara dengan total 306 suara elektoral berbanding dengan Hillary Clinton yang meraih 232 suara elektoral. Tapi berdasarkan suara popular (one man one vote) Hillary menang dengan meraih suara 47,97%, sementara Trump meraih 46,34%, sisanya diraih kandidat dari Partai Libertarian Gary Johnson. Jika pilpres di Amerika menggunakan sistem pemilu langsung seperti di Indonesia, maka Hillary Clinton-lah yang memenangkan pilpres.
            Jadi, secara mayoritas rakyat Amerika sebenarnya tidak memilih dan tidak menyukai Donald Trump sebagai presiden. Sumber ketidaksukaan terhadap Trump memang sangat banyak. Mulai dari gaya hidup, gaya bicara, sikap, dan juga program-programnya yang dianggap kontroversial.
            Trump kerap dituding sebagi anti imigran, dituding tidak terlalu toleran dengan kaum LGBT, kaum Hispanik (warga Latin-Meksiko), kaum berkulit hitam, dan warga Muslim. Trump pun dianggap tidak respek dengan kaum perempuan, terkait pelecehan verbal yang pernah ia lakukan dan sempat menyebar ke publik. Trump juga berencana akan membangun tembok tinggi di perbatasan AS-Meksiko untuk membendung imigran gelap dan peredaran narkoba dari Meksiko. Sementara setiap warga Muslim akan diregistrasi ulang untuk mewaspadai aksi terorisme.
            Selain slogan kampanye “Make America Great Again”, Trump juga mempunyai program “America First”. Semua kebijakan politik luar negeri, ekonomi, pertahanan-keamanan harus menguntungkan Amerika. Trump akan memproteksi produk-produk dalam negeri dan mengeluarkan kebijakan impor yang ketat, terutama dari China. Para pengusaha juga diancam agar merelokasi perusahaannya kembali ke Amerika, jika tidak ingin diberi pajak yang tinggi. Program-program Trump yang “ekstrim” itu justru diminati oleh sebagian publik Amerika.
  J.K. Rowling, penulis novel Harry Potter, pernah menyatakan bahwa Voldemort masih kalah jahat ketimbang Trump. Melalui akun Twitter pribadinya, Rowling menuliskan,”How horrible. Voldemort was nowhere near as bad.” Kalimat yang begitu singkat, namun sangat mengena. Baginya, sosok Trump sudah sangat mengerikan dengan seruannya yang rasis dan fasis.
Voldemort sendiri merupakan karakter antagonis abadi di serial Harry Potter. Ia memiliki sifat yang keras dan sangat otoriter. Keinginannya untuk menguasai dunia sihir, membuat Voldemort dapat menghalalkan segala cara. Maka tak heran jika Rowling mengungkapkan sifat Trump yang otoriter tersebut mirip dengan Voldemort. Tindakan-tindakannya sebagai calon presiden Amerika Serikat pada waktu itu memang selalu mengundang kontroversi bukan hanya di negeri Paman Sam, tapi juga seluruh dunia.
Kerusuhan pun merebak di beberapa kota begitu Donald Trump dinyatakan sebagai pemenang dalam Pemilu AS. Sejumlah warga AS turun ke jalan untuk menolak kepemimpinan taipan properti itu selama empat tahun ke depan. Para demonstran menyebut Trump tak pantas memimpin AS. Gema “NotMyPresident” pun merebak ke seantero Amerika dan menjadi trending topic dunia. Menjelang pelantikan Donald Trump menjadi Presiden AS yang ke-45, ribuan warga AS akan melakukan demonstrasi besar-besaran. Mereka menganggap Amerika di bawah Trump akan mengalami intoleransi, perpecahan, dan kesuraman.  
Selebritis Hollywood
            Selama ini acara pelantikan Presiden AS selalu dimeriahkan dengan konser dan kedatangan tamu dari aktor, aktris, penyanyi, dan selebritis Hollywood lainnya. Tapi kali ini para selebritis Hollywood enggan menghadirinya. Mereka kompak memboikot, sehingga yang bersedia hadir dan mengisi acara pun konon cuma selebritis “kacangan” yang dibayar sangat tinggi agar mau tampil.
Panitia Pelantikan Presiden AS, secara resmi merilis total biaya inagurasi (acara pelantikan) pada 20 Januari 2017 sebesar 90 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,2 triliun. Estimasi 30 ribu tamu akan hadir serta membayar beberapa artis yang tampil dalam inagurasi.
Konon baru kali ini, pihak panitia membayar para artis untuk tampil. Biasanya para artis datang dan mengisi acara secara sukarela. Bahkan ada perasaan bangga ketika diundang dalam inagurasib tersebut. Tapi kali ini artis-artis top Hollywood enggan menghadirinya.
            Mengapa 'tidak ada' bintang yang mau tampil di pelantikan Donald Trump? Bukankah Trump juga seorang selebritis? Berbagai laporan dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa Donald Trump kesulitan untuk menemukan daftar artis yang bersedia tampil dalam pelantikannya.
            Pada pelantikan Presiden Barack Obama di tahun 2009 dan tahun 2013, acara inagurasi selalu diramaikan puluhan artis top. Mereka tampil di konser dengan sukarela. Selama tinggal di Gedung Putih, ia pun kerap  dikunjungi sejumlah penyanyi, artis dan aktor top Hollywood. Donald Trump mungkin tidak seberuntung itu.
            Menurut situs berita Amerika Serikat, The Wrap, komite pelantikan Trump sangat kesulitan untuk menemukan para bintang yang bersedia untuk tampil di acara inagurasi tersebut. "Mereka menelepon para manajer, agen, dan semua orang untuk mencari siapa yang bersedia tampil dan tampaknya ada masalah," ujar seorang sumber yang tidak disebutkan namanya.       
Peraih piala Grammy, John Legend, yang beberapa kali pernah menjadi tamu keluarga Obama, mengatakan ia 'tidak terkejut sama sekali.' "Orang-orang kreatif cenderung menolak kefanatikan dan kebencian," katanya kepada BBC.
Sejak saat itu, nama-nama yang beredar adalah pesohor yang jauh kurang terkenal, atau pesohor yang sudah lawas, mulai dari penyanyi rap-rock Kid Rock hingga bintang kelompok musik rock Achy Breaky, dan Billy Ray Cyrus.
Diberitakan situs The Wrap, Trump masih berusaha mendapatkan Bruno Mars atau Justin Timberlake. Situasinya menjadi begitu gawat, sampai mereka diduga melanggar protokol dengan menawarkan bayaran kepada para artis yang akan tampil sampai 1 juta dolar. Walaupun kemudian kabar ini dibantah pihak panitia.
Mengapa dukungan para selebritis Hollywood ini begitu penting? Terus terang, Amerika dikenal dunia karena prestasi film-film, musik, dan lagunya. Para selebritis Hollywood adalah para marketing handal, public relation, dan cerminan warga Amerika itu sendiri. Penolakan para selebritis merupakan sinyal bagi Trump, bahwa publik Amerika sebenarnya tidak menyukai terpilihnya Trump sebagai presiden.
Demokrasi representatif dan pilpres Amerika dengan sistem electoral college yang dipakai sejak tahun 1787 memang dikritik banyak pihak bermasalah karena tidak mengikuti perkembangan zaman. Sistem ini memungkinkan terpilihnya presiden minoritas yang kalah dalam popular vote tetapi menang dalam electoral vote.
Mendapatkan suara terbanyak tapi kalah. Selain Hillary Clinton, lima capres dalam pilpres AS mengalami hal yang sama. Bagi para penentang electoral college, sistem ini jelas telah kuno, anti-demokrasi, tidak adil, tidak akurat, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Mereka menuntut pemilihan langsung lebih rasional untuk dilakukan dengan sistem one man one vote, satu orang satu suara.

Selama 200 tahun terakhir, tercatat 700 proposal dan petisi telah diajukan kepada Kongres untuk memperbaiki atau bahkan menghapus sistem electoral college. Tapi tidak satu pun proposal dan petisi itu diloloskan oleh Kongres. Lalu masihkah layak Amerika disebut sebagai negara demokrasi terbesar di dunia? ***