Beda Pandangan Soal Makar

Beda Pandangan Soal Makar
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Kolom OPINI Harian Analisa Medan,19 Mei 2017

            Jangan ragukan kesetiaan, nasionalisme, dan patriotisme Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap NKRI. Dahulu TNI bersama rakyat, pemberontakan atau makar yang bercirikan separatisme, militerisme, agama, hingga komunisme berhasil ditumpas. Dari PRRI/Permesta, RMS, APRA, NII, DI/TII, hingga PKI. TNI tetap setia kepada pemerintahan yang sah.

            Adalah Allan Nairn yang membuat gempar soal isu makar. Lewat laporannya di The Intercept, “Trump’s Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President”. Oleh Tito.id laporan tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diringkas menjadi “Investigasi Allan Nairn: Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar” terbit 19 April 2017. Allan Nairn adalah “mimpi buruk para jenderal” sebab tulisannya kerap memuat laporan tentang sepak terjang para jenderal di banyak negara yang terlibat kejahatan kemanusiaan.    
            Tulisan tersebut pun membuat heboh, dan membuat orang-orang yang disebut namanya dalam tulisan keberatan. Penulis pun mempunyai pendapat sendiri, redaksi tirto.id mungkin terlalu “ceroboh” menyebut karya jurnalis tersebut sebagai “investigasi”. Orang-orang yang disebut namanya dalam tulisan tersebut, kebanyakan tidak bersedia atau menolak untuk melakukan konfirmasi. Narasumber pun berasal dari beberapa orang, dan seorang petinggi mantan anggota TNI – yang selama ini memang kerap mencari “panggung”.
Makar      
            Menurut tulisan tersebut – saya lebih senang menyebutnya sebagai tulisan ketimbang investigasi. Ada dugaan persengkongkolan para jenderal untuk mendongkel Presiden Jokowi lewat kasus Al-Maidah yang menimpa Ahok. Kasus Ahok hanyalah pintu masuk, “gula-gula rasa agama untuk menarik massa”.
               Sasaran “mereka” yang sebenarnya adalah Jokowi. Caranya tentu bukan serangan langsung militer ke Istana Negara, melainkan "kudeta lewat hukum", mirip-mirip kekuatan rakyat yang menggulingkan Soeharto pada 1998. Massa dibiarkan bergerak, dan TNI alih-alih melindungi Presiden, tapi lebih senang ikut menggerogotinya.
            Skenario lain, akan dibuat situasi persis tahun 1965 ketika PKI mengadakan kudeta. Jargon-jargon PKI sudah bangkit terus digaungkan, dan mengecam pihak-pihak yang tak sepaham sebagai PKI atau Komunis Gaya Bara (KGB). KGB adalah sebuah konsep menciptakan ketakutan dalam masyarakat tentang bangkitnya komunis dan ancaman melalui cerita-cerita horor kekejaman lewat sosok Stalin, Pol Pot, dan Hitler.   
Mengacu pada kebijakan yang dituding berwatak komunis seperti “program kesehatan dan pendidikan gratis,” mereka juga mencela “pluralisme dan keragaman dalam sistem sosial” serta mengecam “pihak yang memanfaatkan isu-isu hak asasi manusia dan demokrasi” sebagai ancaman khas KGB yang sedang naik daun di Indonesia.
Ketika pasca kudeta PKI yang gagal tahun 1965, maka ormas-ormas keagamaan terutama Nahdlatul Ulama (NU) dan GP Anshor melalui Banser-nya adalah ormas yang turut andil dalam membersihkan orang-orang PKI di Pulau Jawa. Tapi sekarang, diciptakan kelompok-kelompok sipil binaan yang dapat digunakan untuk menyerang para pembangkang seraya mencuci tangan aparat.
Beda Pandangan
            Tulisan Allan Nairn di atas tentu saja membuat para petinggi TNI berang, dan akan segera mempertimbangkan untuk mengambil langkah hukum terhadap redaksi Tirto yang menayangkan tulisan investigasi Allan Nairn tersebut. "Jadi mengenai tulisan Allan Nairn, saya menyatakan yang berkaitan dengan TNI itu hoax," kata Kapuspen TNI Mayjen Wuryanto (detikcom, 1/4/2017).
            Tulisan Allan Nairn memang terasa sangat liar. Asumsi dijalin berdasarkan berita yang dicomot sana-sini tanpa konfirmasi yang valid. Asumsi ini bisa saja salah, bisa benar, atau salah sebagian dan benar sebagian. Allan Nairn mungkin tengah menggunakan imajinasi terliarnya untuk merangkai cerita skenario mengenai makar di Indonesia.
Tapi ada hal yang menarik terjadi pasca tulisan tersebut menjadi heboh. Dalam talkshow "Rosi" yang tayang di Kompas TV (4/5/2017), Panglima TNI Gatot Nurmantyo  menyebut upaya makar tidak akan mungkin dilakukan kelompok-kelompok yang selama anti-Ahok untuk menjatuhkan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Panglima TNI menyatakan adanya kabar soal upaya makar dalam aksi unjuk rasa itu adalah berita bohong atau hoax untuk menakuti rakyat Indonesia.
Ada beda pandangan soal makar bahkan terjadi kontradiksi. Padahal sebelumnya, pihak kepolisian telah menangkap sejumlah orang yang dituduh akan melakukan upaya makar terhadap pemerintah dengan membonceng aksi-aksi tersebut.
Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto kabarnya akan segera memanggil Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Kepala Polri Tito Karnavian. Pemanggilan ini untuk membahas perbedaan pandangan antara kedua pimpinan institusi soal upaya makar terhadap pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.           
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto enggan mengomentari pernyataan Panglima TNI tersebut. Polri hingga saat ini menjamin bahwa proses penyidikan kasus dugaan makar masih bergulir di Polda Metro Jaya. Ada atau tidak adanya dugaan makar perlu diselidiki lebih lanjut dalam penyelidikan (Tribunnews.com, 6/5/2017).
Pernyataan Panglima tersebut disayangkan banyak pihak. Seharusnya, sebagai elemen institusi negara, TNI memberikan dukungan pada institusi penegak hukum, yakni Polri yang saat ini sedang melakukan penyidikan dugaan kasus makar terhadap sejumlah orang. Jadi tidak etis langsung menyatakan tidak ada dugaan makar.
Asumsi Allan Nairn
Asumsi-asumsi liar Allan Nairn menjadi nyata? Terlalu mengerikan jika asumsi-asumsi tersebut menjadi nyata. Tapi Allan Nairn mungkin lupa, Indonesia sekarang bukanlah Indonesia tahun 1965 atau Indonesia di era Orde Baru.
Tulisan Allan Nairn hanya sekedar asumsi dan opini yang meraba-raba dan spekulatif dengan narasumber yang tidak valid. Skenario makar dan teori-teori konspirasi yang melatarbelakanginya mungkin hasil pengamatan berdasarkan pengalaman Allan Nairn meliput di negara-negara lain.
Allan Nairn sebenarnya tidak paham "keadaan Indonesia" itu sendiri. Dia masih berpikir keadaan Indonesia terutama TNI-Polri sama seperti jaman Orde Baru. Kini secara institusi TNI dan Polri sudah berpisah, dan punya doktrin tugas yang berbeda. Allan Nairn juga mungkin lupa, TNI secara institusi tidak punya tradisi melakukan makar di Indonesia.
Dalam interviewnya dengan berbagai narasumber, Allan Nairn menunjukan ketidakpahamannya dengan keadaan Indonesia terkini. Ia cuma bisa meraba berdasarkan pengalamannya di Orde Baru. Tulisan Allan Nairn sebenarnya tidak tepat disebut sebagai investigasi, mungkin lebih tepat reportase atau lebih bisa disebut opini.

Konstitusi RI juga sudah diubah sebanyak empat kali untuk menghindari bertumpunya pusat kekuasaan hanya pada seorang presiden dan pembatasan periode jabatan presiden dan peran DPR semakin kuat. NKRI semakin demokratis, pemisahan kekuasaan berdasarkan asas trias politica dijalankan, dan sistem check and balances menjadi dasar hubungan antar lembaga negara. Keadaan ini tidak memungkinkan presiden akan menjadi seorang diktator atau rezim yang akan lama berkuasa. ***