Brexit
dan Awal Runtuhnya Uni Eropa
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Kolom OPINI Harian
Analisa Medan, 26 Juni 2016
Uni
Eropa seperti The Eagles 'Hotel California, Inggris bisa check out tapi Inggris tidak pernah dapat pergi. Rakyat Inggris telah memutuskan keluar dari Uni Eropa melalui referendum
Brexit – British Exit (Inggris keluar dari Uni Eropa) pada Kamis (23/6/2016). Kelompok
"Leave" yang ingin Inggris keluar dari Uni Eropa memperoleh 52 persen
suara, sementara kelompok "Remain" yang memilih bertahan hanya meraih
48 persen.
Dampak langsung
Brexit adalah jatuhnya nilai tukar Poundsterling ke posisi terendah dalam 30
tahun terakhir terhadap dolar. Hasil referendum memberikan goncangan besar di
Inggris sendiri, Eropa, dan dunia. Perdana Menteri David Cameron memilih mundur
pada Oktober 2016. Hasil Brexit memberikan motivasi kepada pendukung
kemerdekaan Skotlandia, Irlandia Utara, bahkan Wales untuk memisahkan diri dari
Britania Raya (Great Britain).
Pada tingkat Eropa,
Brexit dapat dianggap sebagai awal bagi keruntuhan Uni Eropa. Keputusan rakyat
Inggris memicu kekhawatiran tentang menguatnya penentangan keanggotaan di Uni
Eropa di negara-negara anggota lainnya dan membuat mereka mengajukan inisiatif
serupa. Partai dan para politisi anti-Uni Eropa di sejumlah besar negara
anggota menyambut keputusan rakyat Inggris dan memuji hasil referendum.
Brexit akan menyebabkan
efek domino ke seluruh Eropa. Beberapa negara Uni Eropa akan terpengaruh untuk
melakukan referendum serupa. Hasil polling
yang dilakukan YouGov menunjukkan bahwa warga negara dari beberapa negara juga menginginkan
referendum untuk keluar dari Uni Eropa seperti Swedia, Denmark, Belanda, dan Irlandia.
Di tingkat global, Brexit telah mengundang kekecewaan Amerika Serikat
sebagai sekutu strategis Inggris.
Mengapa rakyat Inggris lebih memilih
keluar dari Uni Eropa? Oleh sebagian besar rakyat Inggris, Uni Eropa dianggap
telah menghilangkan identitas nasional. Brexit membuat mereka kembali
mengendalikan mata uang nasional mereka Poundsterling, dan tidak “terpaksa” menggunkana
mata uang tunggal Eropa, Euro.
Uni Eropa juga telah dianggap
mengorbankan undang-undang, kedaulatan, kebijakan ekonomi, politik, pertahanan,
keamanan, dan demokrasi. Rakyat Inggris juga tidak senang dengan dominasi Uni
Eropa terutama dalam hal pemaksaan untuk menerima pengungsi dan isu-isu hak
asasi manusia.
Rakyat Inggris tampaknya tak mau “berbagi kemakmuran dan berbagi
penderitaan” dengan sesama anggota Uni Eropa. Ketika negara-negara Uni Eropa
lainnya saat ini tengah disibukkan dengan krisis pengungsi dari Timur tengah
yang berdampak pada menurunnya tingkat ekonomi, Inggris justru terlihat menutup
diri. Mereka tidak sudi menerima gelombang pengungsi dan imigran tersebut. Pendukung
Brexit menginginkan pembatasan imigrasi yang keras agar tenaga kerja lokal
terlindungi, mencegah kemungkinan menyusupnya teroris dan menjaga nilai-nilai
tradisional bangsa.
Dampak
Uni Eropa memang telah menyusup ke segala sendi kehidupan. Lembaga ini pada
awalnya hanyalah persetujuan perdagangan. Lalu menjadi komunitas ekonomi, sekarang
sebuah serikat, mempunyai mata uang sendiri, pasukan pertahanan sendiri,
mempunyai undang-undang bahkan parlemen sendiri. Hanya masalah waktu sampai Uni
Eropa ini menjadi sebuah negara. Kedaulatan masing-masing negara lambat laun
mulai dinegasikan, dan hal inilah yang menjadi ketidakpuasan beberapa anggota
Uni Eropa.
Sebagian rakyat Inggris merasa bahwa Inggris terbebani oleh
Uni Eropa, di mana Uni Eropa membuat peraturan yang dinilai banyak membatasi
bisnis di Inggris. Hal lainnya adalah karena Uni Eropa menarik uang untuk biaya
keanggotaan sejumlah jutaan dolar dan Inggris merasa hanya sedikit keuntungan
yang diperoleh. Hal lainnya lagi yaitu salah satu prinsip Uni Eropa tentang
'Free Movement' yang membawa dampak pada banyaknya imigran datang dan menetap
di Inggris.
Keputusan keluar dari Uni Eropa membuka babak ketidakpastian dan juga
tantangan baru untuk Inggris. Inggris harus membuat hubungan-hubungan
perdagangan baru dengan Uni Eropa yang beranggotakan 28 negara dan 500 juta
populasi. Hal ini membalik proses yang dimulai 40 tahun lalu ketika Inggris
bergabung dengan apa yang saat itu disebut Masyarakat Ekonomi Eropa.
Dampak Brexit dan jika didukung oleh pembatasan imigrasi, akan membuat para
pekerja mengalihkan pekerjaan di Inggris ke negara-negara yang masih ada dalam
Uni Eropa. Saat ini banyak sektor industri, pabrik, tenaga kebersihan, tenaga
konstruksi, pelayan, supir, penjaga toko, dan buruh kasar lainnya berasal dari
luar Inggris. Demikian juga dalam dunia olahraga sepakbola, saat ini Premier
League didominasi oleh pelatih dan pemain dari luar Inggris.
Warga negara Inggris juga akan kesulitan jika ingin
berpergian, berwisata, bekerja, mengadakan hubungan dagang, atau berinvestasi
di negara-negara Uni Eropa. Mereka akan dikenakan pajak dan ketentuan tarif
lainnya. Hal ini tentu akan berdampak pada barang ekspor dan impor dari dan
keluar dari Inggris. Rakyat Inggris diperkiarakan akan membeli barang lebih
mahal dari biasanya yang buatan Uni Eropa.
Secara eksternal, Brexit berdampak pada gagasan bahwa
integrasi Eropa adalah kemustahilan. Inggris sebagai negara besar di Eropa dan
boleh dibilang sebagai pilar utama Uni Eropa akan mempunyai dampak yang luar
biasa. Inggris dengan penduduk kurang dari 1 persen penduduk dunia, tapi
mempunyai output sebesar 3 persen terhadap perekonomian global. Keluar dari Uni
Eropa hanya berdampak jangka pendek bagi perekonomian Inggris. Dengan kondisi
ini, Inggris boleh jumawa alias sombong, dengan menyatakan bahwa mereka tak
butuh Uni Eropa.
Sementara pilar utama Uni Eropa lainnya Jerman dan
Prancis akan semakin memiliki posisi dominan. Tapi pada saat yang bersamaan
mereka juga kehilangan aliansi berharga atas sejumlah isu seperti reformasi
ekonomi, persaingan, perdagangan bebas, pertahanan-keamanan, dan lainnya.
Rakyat
Berdaulat
Pasca-Brexit,
Uni Eropa kemungkinan akan menjadi kurang kompetitif dan lebih protektif
terhadap anggotanya agar tidak melakukan langkah yang sama. Uni Eropa pun
diambang keruntuhan. "Jin euroskeptis (para
pembenci Euro) telah keluar dari botol dan sekarang tidak akan bisa dimasukkan
lagi. Uni Eropa sudah selesai, Uni Eropa sudah mati," ucap Ketua Partai
Kemerdekaan Inggris (UKIP), Nigel Farage, yang juga penggerak utama dalam
kampanye Inggris meninggalkan Uni Eropa.
Jika Brexit berhasil dan tak mempunyai
dampak yang signifikan bagi Inggris, maka Uni Eropa kemungkinan akan berlanjut
ditinggalkan para anggotanya. Deretan negara yang bersiap “exit” seperti
Denmark, Swedia, Belanda, Irlandia, atau Polandia. Sementara di Prancis,
beberapa pihak juga menyuarakan perlunya referendum.
Lalu apa dampaknya bagi Indonesia? Brexit akan berpengaruh pada arus investasi di
Indonesia yang datang dari Inggris. Namun dampak tersebut tidak terlalu
signifikan dan tidak akan berdampak besar terhadap ekonomi negara berkembang
seperti Indonesia.
Tapi ada
hikmah yang patut kita tiru. Referendum Brexit tak sekadar regulasi ekonomi,
perdagangan dan bisnis. Ini lebih kepada demokrasi. Bahwa rakyatlah yang
berdaulat, berkuasa, rakyat dimintakan pendapat dan menentukan. Semua dampak,
baik atau buruk akan ditanggung bersama oleh rakyat Inggris yang telah
menentukan pilihan.
Pemerintah kita juga seharusnya bersikap
seperti itu. Jika ada hal-hal fundamental yang menyangkut kehidupan rakyat
secara keseluruhan hendaklah dilakukan referendum. Saat ini semua hal
diserahkan oleh partai-partai politik yang berkuasa di Senayan. Padahal tak
selamanya suara partai politik tersebut adalah aspirasi seluruh rakyat.
Rakyat Inggris telah melakukan referendum dan
mengambil sikap yang sangat berani demi kepentingan nasionalnya. Walaupun
Inggris telah keluar dari Uni Eropa, bukan berarti Inggris keluar dari Benua
Eropa. Secara ekonomi, Inggris akan tetap berhubungan dengan negara-negara Uni
Eropa lainnya. Inggris bisa memilih untuk mengikuti Norwegia atau Swiss yang
bukan negara Uni Eropa tapi masih bisa terhubung ke pasar tunggal Uni Eropa.
Norwegia
merupakan salah satu negara di Benua Eropa yang tidak menjadi anggota Uni Eropa. Norwegia menolak
keanggotaan Uni Eropa pada 1994, juga melalui sebuah referendum. Cara
referendum untuk keluar dari Uni Eropa ini kemudian ditiru oleh Yunani (Greek)
dengan sebutan Grexit atau Greek Exit tahun 2015 dan kemudian gerakan Brexit
atau British Exit tahun ini.
Meski tak menjadi anggota
Uni Eropa, Norwegia tetap memiliki akses zona perdagangan yang disebut “pasar
tunggal”. Untuk memdapatkan akses ini, Norwegia harus membayar uang dalam
jumlah besar agar memperoleh izin pergerakan orang dan modal dengan bebas.
Kemungkinan besar, Inggris akan mengikuti langkah seperti ini.
Jadi
benar ungkapan di atas, Uni Eropa seperti The
Eagles 'Hotel California, Inggris bisa check
out tapi Inggris tidak pernah dapat pergi kemana-mana. ***