Budaya Mundur atau Pantang Mundur?

Budaya Mundur atau Pantang Mundur?
Oleh : Fadil Abidin

            Pemerintah tengah mewacanakan untuk memberlakukan hukuman tambahan bagi para narapidana korupsi, yaitu hukuman sanksi sosial berupa mempermalukan para koruptor tersebut. Sudah tidak punya rasa malukah bangsa kita?

Pada masa kejayaan samurai sekitar abad ke-12, seorang pendekar Jepang biasanya membawa dua bilah pedang. Satu katana yang panjang, satu lagi tanto yang berukuran pendek. Pedang panjang digunakan sebagai senjata untuk menuntaskan misi sedangkan pedang pendek digunakan untuk seppuku atau bunuh diri jika gagal melaksanakan tugas.
Budaya ini hanya memberi pilihan kepada para samurai untuk menang. Daripada ditawan atau malu akibat kalah, lebih baik mati. Budaya harakiri atau memotong perut sendiri memang sudah nyaris hilang di Jepang, tapi spirit untuk merasa malu ketika gagal atau melakukan kesalahan tetap tertanam hingga kini.
Karena itu, suatu hal yang lumrah di Negeri Matahari Terbit jika pejabat yang gagal menjalankan tugas mengundurkan diri. Tidak hanya di Jepang, di negara yang menjunjung tinggi integritas kerja, pejabat mundur juga merupakan kelaziman. Mereka menjunjung tinggi budaya malu.  
Sayangnya, di Tanah Air, sangat jarang terjadi seorang pejabat rela melepas kedudukannya karena sadar telah gagal menjalankan tugas. Bahkan pada pelaksanaan Pilkada 2017 nanti, beberapa calon kepala daerah ada yang berstatus tersangka,  terdakwa, bahkan eks terpidana tapi masih mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Tidak ada malunya sama sekali.
Budaya malu yang berimplikasi pada budaya mundur harus dibudayakan di negeri ini. Selama ini kita terlanjur dalam pola pikir budaya yang sering disalahartikan, yaitu budaya “maju terus pantang mundur”. Jika mundur dianggap kalah dan bersalah. Sebaliknya, jika pantang mundur dianggap hebat, berani, dan benar.  
Pola pikir “maju terus pantang mundur” dalam masa perjuangan kemerdekaan memang memberikan spirit untuk terus berjuang tanpa lelah sampai titik darah penghabisan untuk melawan penjajah. Tapi masihkah relevan semboyan dan pola pikir tersebut untuk terus dipertahankan dan digunakan oleh para pejabat untuk mempertahankan jabatannya?  
Mundur
            Sangat langka di negeri ini jika ada pejabat yang mundur dari jabatannya karena merasa tak mampu menjalankan tugasnya. Pejabat yang nyata-nyata tersangkut masalah narkoba, pelecehan seksual, hingga korupsi pun tak mau mengundurkan diri. Bahkan yang jelas-jelas tertangkap tangan oleh KPK karena menerima suap masih berkilah dan tak mau mengundurkan diri.
            Mereka tidak menjabat lagi bukan karena mengundurkan diri, tapi memang dicopot dari jabatannya karena ada ketentuan undang-undang yang mengaturnya ketika ditetapkan sebagai tersangka. Jika tidak ada UU, mungkin mereka akan terus bercokol dari kursi jabatannya walaupun statusnya menjadi terpidana. 
Sampai saat ini para pejabat tetap dapat duduk di kursi empuk meski tidak banyak perbaikan yang dilakukan atau tidak ada peningkatan berarti. Bahkan, bukannya mundur, pejabat seperti ini masih banyak yang tidak malu mencalonkan diri lagi. Anehnya, mereka yang memiliki kinerja buruk pun ada yang menang di pilkada.
Indonesia memang memiliki banyak keunikan, termasuk integritas pejabat publiknya. Di negara yang menjunjung tinggi integritas, banyak pejabat yang menjadikan mundur sebagai pilihan pertama jika gagal menjalankan tugas. Di Indonesia, mundur hampir selalu menjadi pilihan terakhir. Banyak juga yang mundur karena tahu bahwa mereka tidak akan menang. Daripada kalah lebih parah, lebih baik memilih mundur duluan. Bukan sebuah bentuk kesadaran, melainkan meminimalkan risiko.
Di negara yang menjunjung tinggi integritas, banyak pejabat memilih mundur sebelum kasusnya meluas sehingga kesalahan mereka tidak terekspos terlalu banyak. Sepertinya di negeri ini lebih banyak pejabat bertelinga tebal yang kebal. Sanggup tetap berdiri kokoh di posisinya sekalipun hujatan serta caci maki terus ditujukan kepadanya.
Di negara-negara Asia seperti Jepang atau Korea Selatan, mundur menjadi hal yang biasa dilakukan ketika dianggap gagal atau terlibat dalam sebuah skandal. Bagi mereka mundur adalah bagian dari rasa malu sekaligus tanggung jawab. Bagi mereka, mundur lebih terhormat daripada tetap memegang jabatan tetapi merasa terhina.
Budaya
Menumbuhkan budaya malu tidak sekadar menumbuhkan perasaan malu, tetapi terefleksi dalam tindakan dan perilaku sehari-hari. Malu berbohong, malu berdusta, malu berbuat jahat, malu berbuat kriminal, malu mengkorupsi uang rakyat, malu memanipulasi data dan malu jika tidak punya rasa malu.
Realisasi budaya malu di kalangan pejabat tinggi pada aksi spontan penuh sadar berupa pengunduran diri pejabat yang tersangkut kasus, penyerahan diri ke penegak hukum secara sukarela dan malu tersenyum di depan kamera ketika dirinya terbukti bersalah. Malu menggunakan jasa para pengacara super mahal untuk membelanya di pengadilan.
Jepang mungkin salah satu negara dengan budaya malu tinggi dalam memimpin. Banyak pejabatnya memilih mundur terhormat, daripada menjabat menanggung noda. Kesantunan adalah nyawa pemimpin Jepang.
Budaya mundur secara terhormat telah lahir di Jepang sejak berabad tahun silam. Budaya itu berawal dari ritual harakiri para samurai. Apa yang bisa kita petik dari budaya harakiri? Jelas bunuh diri, bagaimanapun adalah keliru. Tapi apa yang lebih bernilai adalah makna filosofi di dalamnya.
Di kalangan para samurai dan prajurit pengawal setia kekaisaran, ritual harakiri adalah kode kehormatan. Harga untuk membayar rasa malu kekalahan dan kegagalan. Harakiri juga dilakukan sebagai bentuk hukuman mati bagi samurai yang melakukan pembunuhan tanpa alasan, pengkhianatan, korupsi dan perampokan.
            Dalam budaya Indonesia memang tidak ada budaya harakiri. Di nusantara yang tumbuh subur adalah budaya pengkhianatan. Kerajaan-kerajaan di Nusantara jatuh dan bangun dalam rentang sejarah yang relatif singkat karena adanya pengkhianatan, pemberontakan, dan konflik perebutan kekuasaan.
            Bahkan ada seorang budayawan yang menyatakan bahwa, tingkah pola para politikus di Nusantara ini mirip Ken Arok, pendiri kerajaan Singosari. Ken Arok punya sifat serakah, licik, mengadu domba, khianat, dan tanpa kehormatan sama sekali. Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, lalu menuduh Kebo Ijo sebagai pelakunya. Pongah menjadi pahlawan lalu menobatkan diri menjadi raja dan kemudian memperistri Ken Dedes, istri dari Tunggul Ametung. Dan sepanjang sejarah, Singosari tak lepas dari gejolak konflik perebutan kekuasaan dan saling bunuh-membunuh para keluarga kerajaan.   
            Mungkin kita harus menggali lebih dalam budaya-budaya di Nusantara yang merealisasikan budaya malu. Budaya malu inilah yang harus lebih ditonjolkan ketimbang budaya “maju terus pantang mundur” yang sudah nyaris tidak relevan dalam mengelola sebuah kepemimpinan.    
Dalam kepemimpinan, keberanian tanpa kejujuran adalah buta. Kejujuran tanpa keberanian adalah bisu. Kepemimpinan adalah soal kehormatan dan kebesaran jiwa. Maka siapapun pemimpin, jika bersalah maka ia harus mundur. Itu bagian dari etika, dan etika adalah roh dari sebuah kepemimpinan. ***