Bukan
Negara Ormas
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Kolom OPINI Harian
Analisa Medan, 13 Mei 2017
Indonesia memang patut disebut
sebagai “Negara Ormas” karena hanya di negeri inilah jumlah ormas begitu sangat
banyak, bahkan terbanyak di dunia. Ada ormas yang bercirikan keagamaan,
kebangsaan, kepemudaan, kebudayaan, sosial, profesi, politik, dan sebagainya.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri)
Tjahjo Kumolo mengungkapkan jumlah ormas sampai saat ini di Indonesia mencapai
254.633 ormas. Di Kementerian Dalam Negeri, ormas yang terdaftar sebanyak 287
organisasi, terdaftar di provinsi sebanyak 2.477 organisasi, dan yang terdaftar
di kabupaten atau kota sebanyak 1.807 organisasi. Di Kementerian Luar Negeri
atau ormas asing sebanyak 62 dan yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM sekitar
250.000 organisasi (Antaranews, 5/12/2016).
Di dalam UU No.17 Tahun 2013
Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), yaitu organisasi yang didirikan dan dibentuk
oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak,
kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila.
Di negara ini, ormas-ormas mempunyai
kekuasaan yang nyaris absolut. Seperti organisasi negara dalam negara. Apa pun
tindakan para anggota ormas tersebut, lembaganya sangat sulit untuk dibekukan
atau dibubarkan. Dalam UU Ormas, tahapan untuk membubarkan sebuah ormas
sangatlah rumit dan panjang. Dimulai dari Surat Peringatan 1 sampai 3,
pemberian sanksi administrasi, penghentian sementara, pencabutan status badan
hukum, dan pembubaran.
Dalam hal penjatuhan sanksi
penghentian sementara kegiatan terhadap ormas lingkup provinsi atau
kabupaten/kota misalnya, kepala daerah wajib meminta pertimbangan pimpinan DPRD,
kepala kejaksaan, dan kepala kepolisian sesuai dengan tingkatannya. Jika di
tingkat nasional harus meminta saran hukum dari MA.
Padahal, tidak semua ormas berbadan
hukum. Jika ormas tersebut berbuat anarkhi, menyebarkan keresahan. kebencian, dan
kekerasan, pemerintah tidak bisa menindak ormasnya dengan alasan ormas tersebut
tidak berbadan hukum. Pelaku dan anggotanya saja yang selama ini diproses
hukum. Sementara ormasnya tetap dibiarkan berkembang, merekrut anggota, dan
terus menyebarkan keresahan di tengah masyarakat.
Dalam konteks inilah perlu revisi UU
Ormas. Saat ini sudah banyak ormas yang tak
sejalan dengan empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, Bhineka Tunggal Ika,
UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semua ormas mengakunya
asasnya Pancasila, tapi dalam praktiknya, antara ucapan dan perilakunya
bertolak belakang.
Negara Ormas
Sudah
beberapa tahun belakang ini ada usulan dari berbagai pihak agar UU Ormas direvisi.
Tapi lagi-lagi, wacana revisi UU Ormas dikecam dan dicurigai banyak pihak
sebagai usaha pemerintah untuk memberangus kebebasan berpendapat dan
berserikat. Dicurigai sebagai justifikasi untuk membubarkan ormas-ormas
tertentu yang sangat “vokal” dan tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah.
Draft
revisi UU seharusnya memberi kemudahan bagi pemerintah untuk menindak dan
membubarkan ormas yang tidak sesuai dengan empat pilar kebangsaan tersebut. Pemerintah
menginginkan agar tidak ada proses yang bertele-tele dan terlalu lama dalam
menindak ormas yang bermasalah. Sekarang ini membekukan ormas yang melawan
lambang negara, menolak Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, perlu waktu yang
panjang dengan proses yang berbelit-belit.
Dalam draft ini juga ada ketentuan
untuk memperketat pendirian ormas dan ada kewajiban agar supaya berbadan hukum.
Pembuatan ormas saat ini sangat mudah, di
antaranya bisa dengan cara online, tidak perlu berbadan hukum, cukup
menerangkan surat keterangan terdaftar (SKT), jika tidak mau mendaftar pun,
pemerintah harus aktif mendaftarkan dan mengakuinya.
Merasa dilindungi oleh Konstitusi dan UU, maka sebagian kecil
ormas, bertindak dan bertindak sesukanya. Wacana dan penyebaran ide selain
Pancasila sebagai dasar negara pun kerap disebarkan baik dengan diskusi maupun
disiarkan melalui media sosial hingga aksi turun ke jalan.
Tidak
sedikit ormas yang merasa punya massa besar sehingga punya “power” untuk menggerakkan
massa untuk melakukan demo untuk menuntut pencopotan para pejabat pemerintahan.
Ada yang berdemo dan mendesak pencopotan kapolres, kapolda, bupati, walikota,
gubernur, hingga meminta kapolri, menteri atau presiden mundur dari jabatannya.
Inilah yang terjadi jika negara telah dikuasai oleh
ormas-ormas. Pemerintah terkesan tak punya kuasa karena memang tidak dibekali
UU yang berfungsi sebagai penekan untuk menindak ormas-ormas yang memaksakan
kehendak.
Atas nama kebebasan berpendapat, berkumpul, dan
berserikat yang memang dijamin oleh Konstitusi, kita kerap berbuat berlebihan
memaknai kebebasan ini. Padahal kita harus memahami bahwa ormas-ormas itu
hanyalah sebagian elemen kecil dari masyarakat. Masyarakat di luar ormas-ormas
itu lebih besar dan lebih banyak, yang mungkin saja tidak sepaham dengan
mereka.
Jadi ormas-ormas tidak perlu dan tidak punya hak untuk
mengatasnamakan keseluruhan rakyat. Selama ini mayoritas masyarakat yang hanya
bisa diam, bukan berarti mereka setuju. Masyarakat luas mengartikulasikan
aspirasinya lewat jalan yang lebih demokratis dan elegan, yaitu melalui
pemberian suara pada pilkada, pileg maupun pilpres.
Sekali lagi, NKRI
bukanlah negara ormas. Negara ini tidak boleh dikuasai oleh segelintir ormas. Negara
tidak boleh kalah melawan ormas yang nyata-nyata anti-Pancasila. Anti-Bhineka
Tunggal Ika, dan anti-NKRI. Ormas tidak bisa mengatasnamakan keseluruhan
rakyat. Seluruh elemen masyarakat, pemerintah dan wakil-wakil rakyat di parlemen
harus sepakat dalam hal ini. ***