Deparpolisasi dan Ilusi Ketakutan Partai Politik
Oleh
: Fadil Abidin
Di
tangan Ahok semua tradisi perpolitikan di tanah air seakan dirobek-robek dan dibuang ke tong sampah. Jika selama ini seorang gubernur “menyembah” para anggota DPRD, memberi aneka tunjangan dan fasilitas bahkan jika
perlu memberi “suap” asal jabatannya aman. Ahok justru mencampakkan DPRD ke dasar jurang.
Ahok tak mau berkompromi dengan DPRD soal APBD DKI Jakarta yang dianggapnya penuh
kejanggalan. Ahok berkoar-koar ada perampokan uang rakyat di sana dan ia
berteriak lantang ada “maling” di DPRD. Para anggota dewan berteriak galak, tetapi Ahok lebih galak lagi.
Jika
seorang pejabat selama ini harus menjadi contoh bagi publik bagaimana
berperilaku santun, berkata lembut, sopan, bertutur dengan kata-kata intelek, bermanis-manis dengan para koruptor dan penjarah tanah
negara, uang negara dan hak orang lain, Ahok malah sebaliknya. Ia berkata
kasar, menghantam, memaki para koruptor dan menghina mereka bagai manusia tak
beradab. Seolah Ahok tidak perduli dijuluki
manusia kasar, sombong dan pongah. Ia tetap menunjukkan karakternya sebagai
seorang perobek tradisi.
Menjelang
Pilkada, biasanya seorang petahana bermanis-manis
kepada rakyat dan kepada para bawahannya, tetapi Ahok malah sebaliknya. Ia
semakin galak memaki, menggusur, mengomel dan memecat bawahannya yang tidak becus bekerja. Ahok tetap seperti aslinya, original dan apa adanya. Ia
tidak meniru para calon gubernur lainnya yang tiba-tiba pergi ke pasar tradisional, hadir di tengah kampung pelacuran yang hendak digusur, makan nasi bungkus dan
makan di warteg untuk sekadar menarik simpati.
Jika selama ini
partai politik
minta syarat ini dan itu
dari para
calon kepala daerah, Ahok malah membuang mereka bagai sampah.
Partai tak
lagi dianggap sebagai media pembelajaran politik, terlalu lamban bergerak, dan tidak aspiratif lagi. Jika partai mencoba memberangus Ahok, sebaliknya Ahok melawan mereka
tanpa ampun hingga berteriak histeris mengumbar kata-kata subversif, deparpolisasi!
Deparpolisasi
Istilah
deparpolisasi pada
awalnya dituduhkan kepada komunitas anak-anak muda yang tergabung dalam Teman Ahok. Istilah
ini dimunculkan Sekretaris DPD PDI-P DKI Jakarta, Prasetio Edi
Marsudi yang juga Ketua DPRD DKI. Prasetio menilai adanya upaya deparpolisasi
yang sedang berkembang di Indonesia. Indikatornya, kata
dia, adalah adanya upaya untuk meniadakan peran partai politik dalam pemilihan
kepala daerah. Akibat pernyataannya yang “asal” ini, Prasetio banyak dibully kaum netizen dan menjadi bahan
olokan di dunia maya.
Namun
apa arti sebenarnya dari kata deparpolisasi tersebut? Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, arti deparpolisasi adalah pengurangan jumlah partai politik. Pengamat
politik dari Universitas Gajah Mada, Arie Sudjito,
mencoba menerangkan apa arti deparpolisasi tersebut.
"Deparpolisasi
itu upaya pemandulan terhadap partai, contohnya dengan membatasi jumlah partai,
tidak memberi ruang terhadap partai. Ada kondisi politik yang bisa
menghancurkan partai dan menghilangkan peran partai (Kompas.com, 10/3/2016).
Jadi, upaya yang dilakukan oleh Teman Ahok bukanlah
deparpolisasi. Sebab sikap mereka tidak
membatasi jumlah partai ataupun menghilangkan peran partai politik, dan mereka tidak punya wewenang dan
kekuasaan untuk melakukan itu. Calon
independen lahir sebagai bentuk kritik dan merupakan alternatif dari pilihan parpol yang memiliki banyak sekali kelemahan dalam mengusung seorang calon kepala
daerah.
Lagipula,
munculnya calon independen telah diatur dalam UU No. 8
tahun 2015 tentang Pilkada. Munculnya calon independen dilandasi aturan hukum
yang sah.
Jadi parpol tidak perlu alergi apalagi takut menghadapi calon dari jalur
independen.
Kegagalan Parpol
Isu deparpolisasi merupakan visualisasi kegagalan partai politik
menyiapkan kader terbaikrnya
untuk menjadi pemimpin. Selama
ini beratas-ratus kepala daerah yang dicalonkan oleh parpol terjerat masalah
korupsi. Mekanisme internal, penjaringan calon, mukernas, mukewil, mukerda,
musyawarah entah apa lagi namanya, proses ini dan itu yang bertele-tele, toh
hanya melahirkan kepala daerah yang korup.
Sikap tegas, lugas dan berani Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok yang selama
ini tidak mengenal kompromi, membuat hampir semua pimpinan parpol
khawatir akan terjadi
ketidakpercayaan publik yang massif terhadap eksistensi parpol
dalam kehidupan berdemokrasi.
Apalagi Ahok sejauh ini tidak menjadi anggota parpol manapun.
Dalam konteks pilgub DKI Jakarta, tidak ada
parpol yang memiliki kader handal untuk bisa dicalonkan sebagai cagub DKI
Jakarta untuk melawan popularitas
dan elektabilitas Ahok. Hal
ini merupakan visualisasi kegagalan parpol dalam menyiapkan kader terbaiknya.
Saat ini Ahok muncul sebagai pemimpin yang transformatif, original dan fenomenal. Rakyat
Indonesia saat ini sedang
mengalami krisis kepemimpinan.
Rakyat saat ini mungkin tidak membutuhkan lagi pemimpin-pemimpin seperti era
sebelumnya, yang ganteng, tegap, gagah, berwibawa, kharismatik, orator ulung, bertutur
kata sopan, dsb. Rakyat lebih memilih pemimpin yang bersahaja, bicara apa
adanya, jujur, berani, dan tegas.
Ilusi Ketakutan
Sikap media sosial yang membela Ahok
atas sikapnya tidak memilih parpol sebagai kendaraan politik menuju Pilgub DKI Jakarta adalah
alarm bagi para pemimpin parpol untuk segera bangkit dan berbenah. Sikap berani ini membuat banyak orang-orang penting di negeri ini tersentak, terutama para pimpinan parpol. Tuduhan deparpolisasi justru membuka aib kebodohan
para petinggi parpol itu sendiri.
Hanya seorang pimpinan tertinggi negara yang
tiran dan otoriter yang mampu melakukan deparpolisasi. Apa yang dituduhkan sebagai
deparpolisasi sesungguhnya adalah membuka aib sendiri tentang terjadinya delegitimisi parpol. Sebuah gejala yang menggambarkan
lunturnya kepercayaan publik terhadap partai politik.
Aspirasi
masyarakat mampet, tingkah pola, tindakan kader-kader parpol yang kerap mengabaikan aspirasi rakyat, juga keterlibatan kader parpol dalam sejumlah
kejahatan, seperti korupsi, kekerasan, dan kejahatan kriminal lainnya menggerus
simpati dan kepercayaan publik. Delegitimiasi yang berkaitan dengan pencalonan kepala daerah di pilkada,
misalnya, merupakan bukti kegagalan parpol melakukan fungsi rekrutmen sehingga
tidak menciptakan kader pemimpin kredibel, berintegritas, dan kompeten untuk
mengisi jabatan-jabatan publik.
Sebaliknya,
kader-kader yang oleh masyarakat dinilai memiliki kualifikasi memadai justru
diabaikan oleh partai politik hanya karena ia bukan anggota parpol dan tidak
punya “mahar”
yang cukup. Dari sinilah, lahir jalur
independen guna membuka jalan bagi kader-kader pilihan masyarakat agar bisa menduduki jabatan-jabatan publik.
Bagi orang-orang yang mempunyai kualifikasi yang
memadai sebaiknya harus berani menempuh jalur indpenden. Jangan seperti
pengemis yang datang ke parpol dengan menunduk-nunduk, menjanjikan ini dan itu
jika menang, menjilat, bakan bersedia membayar “mahar” jika parpol tersebut mau
mendukung dan mengusung.
Isu deparpolisasi tak lain adalah ilusi dari ketakutan
parpol itu sendiri. Pertama, popularitas dan elektabilitas Ahok menurut hampir
semua lembaga survei selalu yang teratas. Mereka sebenarnya mau merekrut Ahok,
tapi melihat tabiat Ahok yang tak kenal kompromi, tak mau membayar “mahar”, dan
tak mau “cawe-cawe” membuat parpol jadi segan dan enggan merekrutnya. Jika tak
memberi manfaat, untungnya buat parpol apa?
Kedua, Ahok adalah petahana kepala daerah. Parpol
mempunyai ilusi ketakutan yang luar biasa. Ini bisa menjadi preseden. Di masa
depan, petahana yang awalnya dicalonkan parpol kemudian berkinerja baik,
disukai rakyat dan mempunyai elektabilitas tinggi, karena tidak mau terikat
lagi dengan parpol maka untuk pencalonan periode berikutnya memilih jalur independen.
Ini adalah bencana bagi parpol.
Ilusi ketakutan ketiga, parpol takut kalah. Jika
seandainya Ahok menang, maka delegimitasi terhadap parpol akan semakin meluas.
Jalur indpenden akan menjadi tren di masa depan dan jalur parpol hanya akan
dipandang sebelah mata.
Ilusi-ilusi ini akan mengakibatkan dua hal. Pertama,
parpol kemungkinan akan bersatu menghadang Ahok. Seluruh parpol akan bersatu
hanya mendukung dan mengusung satu pasangan calon yang dianggap terbaik untuk
mengimbangi elektabilitas Ahok. Pilgub DKI hanya akan ada dua pasangan calon,
jalur parpol versus jalur independen. Kehormatan parpol dipertaruhkan.
Kedua, bisa saja parpol-parpol tertentu akan memanggil
kader-kader terbaiknya untuk menghadapi Ahok. PDIP yang “sakit hati” bisa saja
akan mencalonkan “duet maut” Ganjar Pranowo dan Tri Rismaharini. PKS akan
membujuk Ridwan Kamil agar mau mencabut pernyataannya dan mau maju di Pilgub
DKI. Partai Gerindra mungkin akan mencalonkan Sandiaga Uno atau Fadli Zon. PPP,
PKB dan PAN mungkin akan berkoalisi mencari figur yang dianggap bisa menyaingi
Ahok. Partai Golkar dan Demokrat akan wait
and see, mereka akan menerapkan politik injury
time, menunggu detik-detik terakhir baru bisa memutuskan.
Saya tidak yakin musisi Ahmad Dhani akan maju sebagai
calon dari PKB. Yusril Ihza Mahendra punya parpol PBB tapi tak punya kursi di
DPRD DKI. Adhyaksa Dault bukan anggota parpol. Kedua orang ini butuh “caper”
alias cari perhatian agar dilirik parpol.
Apapun konsekuensinya, rakyat akan tetap diuntungkan.
Jika banyak tokoh-tokoh hebat ikut pilkada, maka akan terjadi pertarungan ide,
gagasan, visi dan misi dalam membangun Jakarta sebagai ibukota negara agar menjadi
lebih baik. ***