Gelombang
“Unfriend” di Pilkada DKI
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian Analisa Medan, 13
Desember 2016
Harus diakui bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta kali ini
membawa kegaduhan yang sangat luar biasa. Jika presiden disebut sebagai RI-1,
wakil presiden disebut RI-2, maka ada yang berpendapat bahwa kursi gubernur DKI
disebut dengan RI-3.
Pilkada DKI serasa pemilu presiden. Sama gaduhnya, sama ributnya, bahkan
sama musuh-musuhannya. Tidak heran, saat kampanye dan menjelang pemungutan
suara bulan Februari 2017 nanti, terjadi
“perang” di dunia maya. Media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dsb
digunakan menjadi ajang perang kata-kata.
Tidak hanya perang opini, perang ayat, perang status, perang komentar,
perang postingan, dan perang tandingan link serta gambar juga terjadi. Semua
urat otot leher saat emosi tersalur ke jempol tangan, menyebabkan jempol terkadang
keseleo karena terlalu sering memencet layar ponsel.
Tidak hanya itu. Perang pun terjadi antara mereka yang selama ini berteman
dan bersahabat hanya karena berbeda pilihan. Tak jarang proses unfriend terjadi
saat si teman tidak lagi asyik karena memiliki perbedaan dalam hal beropini
yang tak lagi bisa ditolerir. Banyak yang menekan tombol unfriend oleh sebab si teman tak lagi satu dukungan dengan sang
calon.
Panasnya Pilkada DKI ternyata mencuatkan gelombang tsunami unfriend di Facebook. Menurut lembaga
pemeringkat Alexa (Nopember 2016), peringkat Facebook di Indonesia menjadi
jeblok ke peringkat ke-11. Facebook biasanya selalu menempati deretan peringkat teratas
sebagai situs yang paling sering dikunjungi. Turunnya peringkat akibat
gelombang unfriend ini. Terjadi fenomena memutus
pertemanan atau unfriend besar-besaran.
Fenomena ini meningkat sejak
dimulainya kampanye Pilkada DKI dan terkuaknya kasus dugaan penistaan agama
yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta petahana Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok. Sejak itu, dimulailah bermunculan konten yang membela versus yang
menentang Ahok.
Perang opini dan komentar
pun terjadi, dari kata-kata sopan hingga menjurus caci-maki, bahkan bertendensi
menyebar fitnah, penghinaan dan kebencian. Banyak yang kemudian menjadi tidak
nyaman dengan hal ini, sehingga memutuskan melakukan unfriend kepada sejumlah teman demi menjaga
kenyamanan menggunakan media jejaring sosial tersebut. Pokoknya kita tidak friend lagi !
Sejumlah teman mengaku
sampai harus menekan tombol unfriend
di Facebook hingga puluhan kali. Rata-rata beralasan sudah tak nyaman
dengan halaman akunnya yang dipenuhi hal-hal berbau negatif dan tak sedikit
juga bernuansa hatespeech alias kebencian.
Sejak dimulainya
kampanye Pilkada DKI dan merebaknya kasus Ahok, linimasa Facebook memang banyak
dikeluhkan pengguna. Pasalnya media sosial ini kerap dijadikan lahan kampanye
yang tak lepas dari hatespeech atau
penggiringan opini ke hal negatif. Belum lagi ada fenomena Demo 411 dan Demo
212 yang tak kalah heboh. Pengguna Facebook, baik yang mendukung aksi tersebut
maupun yang punya pandangan lain saling berbagi konten yang kesannya saling
menyudutkan.
Hal tersebut membuat situasi
menjadi semakin panas dan membuat pengguna yang punya sikap netral jadi tak
nyaman, sehingga memilih meninggalkan Facebook atau untuk sementara waktu tidak
mengakses Facebook. Seorang teman berkomentar, "Sekarang tiap buka
Facebook bawaannya emosi, mending tidak buka-buka dulu.”
Karakter dan Ideologi
Pilkada atau Pemilu sebenarnya menghadirkan kesempatan bagi kita untuk
menguji seberapa besar kemampuan kita untuk menegosiasikan perbedaan.
Keberanian kita untuk mengutarakan pendapat di tengah gelombang opini yang
begitu besar untuk tidak takut disebut “kafir”, “pengkhianat”, “murtad”, atau
sebutan lainnya. Menguji bagaimana cara kita menerima atau berargumen dengan
opini orang lain.
Karakter dan ideologi yang dianut oleh individu akan semakin terlihat
dari hal-hal yang mereka posting di media sosial, terutama saat pemilu atau
pilkada. Benarlah jika ada yang mengatakan "You are what you
post." Karakter, ideologi, kondisi psikologi, dan tingkat
kecerdasan anda akan tampak dari apa-apa yang anda posting di media sosial.
Dalam teori psikologi sosial mengenai pilihan, dijelaskan bahwa setiap
individu selalu senang dengan dikotomi kebaikan versus kejahatan, good
vs evil, atau angel and devil. Teori dari strukturalis
melalui Ferdinand Saussure pun mengembangkannya menjadi kode binari,
dimana banyak kode-kode komunikasi yang kita pakai selalu berasosiasi
dengan binary good vs evil.
Itu sebabnya retorika binari kebaikan dan kejahatan sangat manjur
untuk dijual dalam proses kampanye. Setiap kandidat maupun konstituen selalu
mengidentifikasikan diri mereka dengan the good, the angel, atau
kebaikan. Sementara kelompok sebelah adalah the demon, the evil,
keburukan, kemungkaran, kafir, dan seterusnya.
Parahnya, otak kita pun memproduksi berbagai macam cara untuk mengurangi
disonansi atau gangguan yang menantang cara berpikir kita. Akibat terpapar
ujaran kebencian yang semakin masif di media sosial, ada seseorang yang berubah
karakternya. Pada awalnya santun kemudian menjadi kasar dalam berbicara, yang
toleran menjadi intoleran, bahkan ada yang mengalami proses radikalisasi.
Dalam psikologi komunikasi, proses ini disebut mengurangi disonansi
kognitif. Manusia akan berupaya untuk mengurangi informasi gangguan yang
membuat kita merasa tidak nyaman dengan yang kita percayai. Misalnya dengan
memilih informasi, menginterpretasikan informasi seperti yang kita kehendaki,
mengembangkan cerita yang membuat kita paham dengan yang kita percaya, membuat
keputusan, dan mengingat yang perlu diingat.
Ambil contoh kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok. Dari awal mereka
yang memang sudah tidak suka dengan Ahok akan selalu memilih informasi yang
bisa mendukung ketidaksukaan mereka dengan Ahok. Momentum video yang diunggah
oleh Buni Yani di Youtube tentang “jangan mau dibohongi pakai Al Maidah 51” mennjadi the
Eureka moment bagi mereka yang memang sudah tidak suka Ahok. Sungguh
dahsyat kata-kata Ahok tersebut sehingga ia harus dicap sebagai penjahat super
jahat yang harus segera dirajam dimuka bumi Indonesia ini.
Beropini dengan Cerdas
Pada akhirnya, para pendukung (the
lovers) maupun pembenci (the haters)
Ahok atau kandidat lainnya, sebenarnya tidak hendak saling meyakinkan. Mereka
asyik sendiri meyakinkan diri sendiri bahwa merekalah si baik, tetapi mereka
sebenarnya tidak bisa meyakinkan lawan mereka. Mereka merasa senang sendiri
saat didukung sesama penyuka kandidat. Mereka senang mendengar berita-berita
yang menyenangkan telinga dan mata mereka sendiri mengenai kandidat mereka.
Mereka senang mengutarakan hal-hal yang bias sesuai dengan dukungan mereka.
Itulah sebabnya media-media online yang mendukung salah satu kandidat
sangat laris belakangan ini. Dikutip, dibagikan, di-like, di media
sosial tidak peduli bagaimana kaidah dan nilai jurnalistiknya yang sangat
rendah. Tidak peduli judulnya tidak sesuai isi, berisi berita hoax atau fitnah,
yang penting sensasi isunya sesuai dengan harapan si pemuja atau si
pembenci.
Ibarat perang, panglima sebenarnya adalah para silent readers dan swing
voters. Mereka yang hobi menonton, hobi mengamati, dan kadang tidak berpendapat
sebenarnya sedang menjadi juri dalam adu mulut para haters dan lovers para
kandidat. Mereka yang diam sebenarnya adalah raja yang kepada merekalah
kekalahan dan kemenangan kandidat itu sedang dipertaruhkan.
Donald Trump adalah kandidat yang dimenangkan oleh para silent voters dan swing voters dalam pilpres Amerika Serikat bulan Nopember lalu.
Padahal menurut hampir semua lembaga survei, Donald Trump selalu kalah dari
kandidat Hillary Clinton.
Salah satu tujuan dalam proses berdemokrasi adalah tercapainya masyarakat
yang paham informasi. Tetapi, dalam berbagai kasus di media sosial semakin kita
paham suatu informasi, semakin butalah kita pada suatu masalah. Semakin
tertutuplah kita pada informasi yang lebih luas.
Sehingga, sekalipun anda berisik di media sosial dengan melempar banyak
fakta, data, website, dan lain-lain kepada teman anda yang sudah jelas berbeda
pilihan, jangan terlalu berharap dia akan berubah. Bisa jadi justru yang anda
lakukan itu akan memperkuat opini dan posisinya. Alih-alih berubah, ia akan
semakin teguh, lalu berujung pada debat kusir tiada henti. Level diskusi
pun tidak akan meningkat menjadi lebih produktif. Akhirnya, goodbye
friends, I unfriend you. ***