Mahkamah
yang Terjerat Rasuah
Oleh : Fadil Abidin
Awal
yang busuk niscaya ujungnya juga busuk. Gambaran inilah yang mungkin tepat
terhadap kasus operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang menimpa hakim Mahkamah
Konstitusi (MK) Patrialis Akbar (25/1/2017). Patrialis Akbar (PA) diduga
menerima suap terkait uji materi beberapa pasal di UU Nomor 41
Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pasal-pasal ini ditengarai
bernilai sangat mahal karena menyangkut soal pengaturan impor hewan ternak.
Sejak
awal penunjukan PA sebagai hakim MK periode 2013-2018 pada Juli
2013 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menimbulkan kontroversi. Indonesia
Corruption Watch (ICW) menilai pengangkatan PA tidak transparan. Apalagi tidak
melalui uji seleksi di DPR. Namun pemerintah berkukuh melanjutkan penunjukan
politikus Partai Amanat Nasional itu. "Ini wakil pemerintah di MK, maka
hak pemerintah menentukan," kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan
Keamanan Djoko Suyanto waktu itu.
Penolakan masyarakat berlanjut. Pada 12 Agustus 2013 Koalisi
Selamatkan Mahkamah Konstitusi melayangkan gugatan atas penunjukan PA sebagai
hakim MK ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta. Koalisi yang
terdiri atas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum
Jakarta, Indonesia Legal Rountable, ICW, Kontras, dan Elsam Indonesia itu
beranggapan Presiden SBY telah melanggar tiga undang-undang sekaligus.
Tiga UU itu adalah UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih, UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan
Tata Negara, dan Pasal 19 UU Mahkamah
Konstitusi tentang Pencalonan Hakim Konstitusi yang harus transparan.
Enam bulan setelah PA resmi mengucapkan sumpah jabatan
sebagai hakim MK, PTUN memutuskan mengabulkan gugatan Koalisi Selamatkan Mahkamah
Konstitusi pada 23 Desember 2013. Majelis hakim mengharuskan Presiden SBY
mencabut Keputusan Presiden Nomor 87/P/2013 tertanggal 22 Juli 2013 tentang
pengangkatan PA. Pemerintah lalu banding. Putusan PTUN itu kemudian dibatalkan oleh
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) pada 11 Juni 2014, yang menetapkan
Patrialis tetap menduduki kursi hakim MK.
Mahkamah terjerat rasuah, bukanlah kali pertama. Kasus rasuah
(suap) di tubuh MK ini merupakan kasus kedua. Pada Oktober
2013, Ketua MK Akil Mochtar ditangkap oleh KPK atas dugaan penyuapan sebesar
lebih dari Rp 20 miliar dalam kasus sengketa Pilkada untuk 7 daerah. Dia
divonis hukuman penjara seumur hidup pada Juni 2014.
Legitimasi
Dipertaruhkan
Tertangkapnya
seorang hakim MK memiliki dampak serius dan dampak ikutan pada produk kerja
lembaga pengawal Konstitusi ini. Hakim MK adalah pejabat negara kelas
negarawan, yang seharusnya tidak memiliki interest apapun dalam bekerja kecuali
mengawal konstitusi dan menjaga paham konstitusionalisme.
Praktik suap yang
diduga ditukar dengan putusan hakim Konstitusi memiliki daya rusak lebih serius
dibanding suap biasa. Kewenangan MK memutus konstitusionalitas sebuah norma
dalam UU, yang merupakan produk kerja DPR dan Presiden, adalah kewenangan yang
sangat besar dan memiliki daya ikat luar biasa.
Putusan MK adalah “erga
omnes”, berlaku bagi semua orang, meski sebuah norma UU hanya dipersoalkan oleh
satu orang. Putusan MK juga, jika sebuah permohonan judicial review dikabulkan,
berarti membatalkan produk kerja 550 anggota DPR dan presiden selama
berbulan-bulan bersidang, yang bersifat final
and binding.
Atas dasar
kewenangannya yang sangat besar, maka dugaan memperdagangkan putusan,
sebagaimana dipraktikkan oleh PA, memiliki daya rusak luar biasa yang bisa
mendelegitimasi banyak putusan MK dan kelembagaan MK. Jika MK tidak bisa
dipercaya lagi, maka runtuhlah konstitusi kita.
Sebagai lembaga
pengawal konstitusi yang berada di garis terdepan menjaga kualitas produk UU, mengadili
sengketa antar lembaga negara, mengadili sengketa pilkada, pemilu legislatif,
dan pilpres, prahara suap ini menuntut penyikapan serius dari berbagai pihak.
Sejalan dengan agenda
revisi UU MK, DPR dan Presiden perlu mengkaji dan mengatur lebih detail penguatan
kelembagaan MK. Khususnya perihal rekrutmen, pengisian jabatan Hakim MK,
pengawasan, standar kualifikasi calon hakim, termasuk menyusun regulasi perihal
transparansi manajemen peradilan MK untuk mencegah praktik korupsi.
Kode etik terhadap
anggota hakim MK harus ditegakkan dan diperkuat. Sebagai hakim MK, para hakim
harus menempuh “jalan sunyi”, mereka harus menjadi “pertapa”. Mereka tidak
boleh menemui pihak-pihak yang berperkara, membatasi pergaulan/ persahabatan
untuk menghindari konflik kepentingan, larangan untuk keluar malam secara
sendiri di tempat hiburan, dan sebagainya.
Hakim MK dilarang
menjadi anggota suatu klub, misalnya klub golf, klub hobi, dsb. Dalam kasus PA,
ia ditangkap KPK ketika sedang berada di tempat hiburan dan konon sedang
bersama seorang wanita. Secara etik dan moral, kehadirannya di sana sudah
menyalahi.
OTT
KPK yang menyasar satu Hakim MK sungguh merupakan kado buruk yang muncul di
bulan perdana 2017. Betapa tidak dalam lintasan operasi KPK belakangan ini,
kelompok eksekutif (Bupati) yang sedang ramai-ramainya dicokok. Sebelumnya
kalangan legislatif juga menjadi sasaran OTT KPK.
Demokrasi Indonesia memang
sedang rusak dengan tertangkapnya hakim konstitusi.
Apalagi eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang menjadi
tiga pilar utama demokrasi itu semuanya menderita penyakit kronis korupsi. Korupsi
masih bertahta aman pada semua institusi utama demokrasi dan lembaga hukum.
Para pejabat bahkan tak takut lagi untuk
mengulangi perbuatan korupsi itu. Walaupun berita korupsi dari mereka yang
tertangkap lebih dulu masih hangat diperbincangkan. Belum selesai kasus korupsi
yang satu, sudah mencuat lagi kasus korupsi oleh pejabat lain.
Hal ini sama artinya sebagian pejabat
yudikatif, eksekutif, dan legislatif sudah kebal dengan ancaman hukuman. Hukuman
penjara (yang rata-rata masih ringan) tidak lagi menakutkan mereka. Wacana
memiskinkan para koruptor hanya sebatas wacana tanpa eksekusi.
Tak ada lagi lembaga yang steril dari praktik korupsi saat
ini. Tak ada pejabat yang bisa dengan sangat meyakinkan mengaku bersih. Kemarin
ia berbicara menggebu-gebu tentang pemberantasan korupsi, hari ini pula ia yang
terjerat kasus korupsi. ***