Masalah Presidential Threshold di Indonesia
Oleh
: Fadil Abidin
RUU Pemilihan Umum Presiden
(Pilpres) menimbulkan polemik berkepanjangan di parlemen. Syarat pengajuan
ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold untuk Pilpres 2019 yang disesuaikan dengan
jumlah kursi di perlemen, setiap mendekati pemilu selalu menjadi ajang debat
yang melelahkan.
Presidential threshold (PT) pada
Pilpres 2014, pasangan calon presiden dan wapres harus memperoleh dukungan dari
partai politik yang memperoleh minimal 20 persen kursi DPR atau mendapat suara
sah secara nasional 25 persen dalam pemilu legislatif.
Setiap menjelang pemilu, DPR memang mempunyai hobi mengutak-atik UU yang
berkaitan dengan politik. Sebagain anggota dewan berpendapat, ketentuan ini
harus tetap dipertahankan. Tapi ada yang berpendapat syarat PT itu harus
diturunkan hingga 10 persen. Sementara banyak juga berpendapat bahwa ketentuan
PT tersebut harus dihilangkan, atau nol persen.
Secara logika demokrasi, pembahasan PT
sebenarnya sudah tidak relevan ketika Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan
pelaksanaan pemilu presiden dilakukan secara serentak bersamaan dengan pemilu legislatif.
Alotnya pembahasan PT di DPR
karena partai-partai besar sangat berkepentingan untuk tidak diancam oleh
kemunculan calon-calon presiden yang diusung partai kecil.
Pasal 22E UUD 1945 dengan jelas menyatakan, bahwa Pemilu dilaksanakan
sekali dalam lima tahun. Pemilu itu dilaksanakan untuk memilih anggota DPR,
DPD, DPRD serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Khusus tentang pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, UUD 45 menyatakan bahwa pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pemilihan umum dilaksanakan.
Pasal 6A jika dikaitkan dengan Pasal 22E UUD 45 dengan jelas menunjukkan
bahwa Pemilu dilaksanakan serentak dan setiap parpol peserta pemilu berhak
untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden sebelum pemilu dilaksanakan.
Kalau Pemilu memang wajib dilaksanakan serentak, maka pembicaraan tentang PT menjadi tidak relevan sama sekali.
Ketakutan jika yang terpilih nanti tidak didukung oleh rakyat secara
mayoritas tidak beralasan lagi. Pasal
6A ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen jelas-jelas mensyaratkan, Pasangan calon
presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen
(50%) dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen
(20%) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah
provinsi di Indonesia dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
Tidak Relevan
Perolehan hasil pemilu lima tahun yang lalu itu, tidak ada alasan logika
dan rasionalnya untuk dijadikan dasar penentuan ambang batas. Situasi politik, tokoh-tokoh
politik yang berkiprah, maupun keinginan rakyat sudah berubah dalam kurun waktu
lima tahun, karena itulah harus diadakan pemilu lagi.
Sistem ketatanegaran Indonesia adalah presidensil, bukan parlemter.
Presiden (eksekutif) dipilih langsung oleh rakyat tanpa terpengaruh oleh
kekuasaan legislatif di parlemen. Rakyat yang berkuasa memilih wakil-wakilnya
di partai politik untuk menduduki kursi legislatif. Rakyat pula yang berkuasa
memilih presiden dan wapres. Tugas partai politik adalah menyediakan
kandidat-kandidat yang terbaik. Bukan memanipulasi atau merebut hak rakyat dalam
hal syarat-syarat PT persentase yang tidak ada dasar konstitusinya.
Adanya penetuan PT, seolah-olah kualitas
presiden mendatang hanya ditentukan oleh besar-kecilnya dukungan parpol atas
calon presiden. Seperti berlaku pada Pemilu Presiden 2014. Pencalonan presiden
dan wapres seperti pasar, ada tawar-menawar, negosiasi, barter politik, dsb,
sehingga disebut politik dagang sapi. Parpol-lah yang paling berkuasa untuk
menentukan capres dan cawapres. Rakyat hanya disuguhi calon-calon yang
merupakan hasil kongkalikong politik dari petinggi parpol.
Soalnya,
pemberlakuan ambang batas tertentu dalam pencalonan presiden tidak lazim,
apalagi jika dikaitkan dengan perolehan suara atau kursi parlemen. Secara
teoritis, basis legitimasi seorang presiden dalam skema sistem presidensial
tidak ditentukan oleh formasi politik parlemen hasil pemilu legislatif.
Lembaga
presiden dan parlemen dalam sistem presidensial adalah dua institusi terpisah
yang memiliki basis legitimasi berbeda. Praktik yang lazim di negara-negara
penganut sistem presidensial adalah pemberlakuan ambang batas minimum (nol
persen) bagi calon presiden.
Salah
kaprah ini semestinya tak perlu terjadi jika politisi dan petinggi parpol
membuka diri terhadap kritik, serta tidak terperangkap ke dalam egoisme dan
pragmatisme sempit masing-masing parpol. Akibatnya, yang muncul adalah
"debat kusir" karena sikap parpol hanya bertolak dari posisi
subjektif dan kepentingan jangka pendek kekuasaan.
Partai-partai
besar, cenderung mengusulkan ambang batas pencalonan presiden yang relatif
tinggi, karena terlalu percaya diri dengan elektabilitas masing-masing seperti
dikonfirmasi oleh sejumlah survei publik. Seakan-akan hasil survei hari ini
otomatis akan mencerminkan hasil pemilu legislatif dua tahun mendatang.
Sebaliknya, parpol kecil dan menengah, mengusulkan ambang batas dengan persentase
minimum dengan harapan ketua umum masing-masing bisa diusung sebagai capres
atau cawapres.
Hampir tidak satu pun petinggi parpol yang berbicara
soal kebutuhan kepemimpinan nasional dalam konteks berbagai tantangan besar,
krusial, dan strategis yang bakal dihadapi bangsa kita kedepan. Juga tidak satu
parpol yang secara elegan membuka diri terhadap sumber-sumber kepemimpinan lain
di luar parpol. Selama ini posisi sebagai ketua umum seolah-olah menjadi
satu-satunya tiket yang sah untuk menjadi calon presiden. Walaupun dalam Pemilu
2014 telah dibuktikan bahwa Joko Widodo dan Jusuf Kalla terpilih, mereka bukan
ketua umum parpol.
Segera Diakhiri
Karena
itu, perdebatan yang cenderung sia-sia tentang persentase ambang batas
pencalonan presiden perlu segera diakhiri. Sudah waktunya energi parpol
dicurahkan untuk merumuskan agenda perubahan signifikan yang diperlukan negeri
ini agar bisa bertahan di tengah arus persaingan global yang cenderung saling
membinasakan saat ini.
Parpol
jangan hanya memikirkan kepentingan pragmatisme mereka sendiri. Parpol jangan
merampas hak rakyat dengan dalih ambang batas. Seperti dikemukakan sebelumnya,
siapa pun yang terpilih sebagai presiden harus memenuhi persyaratan kemenangan
lebih dari 50 persen dengan tingkat penyebaran dukungan sesuai amanat Pasal 6A
ayat (3) UUD 1945. Hal ini sudah cukup, sehingga tidak perlu setiap menjelang
pemilu, UU selalu diutak-atik menurut kepentingan oligarkhi partai politik di
DPR.
Persyaratan
ambang batas pencalonan presiden yang didasarkan pada perolehan suara atau
kursi parpol di DPR pada dasarnya merupakan praktik anomali dalam skema
presidensial. Apalagi konstitusi kita sudah menjamin, DPR di satu pihak dan
presiden di lain pihak tidak bisa saling menjatuhkan di antara mereka.
Yang
jauh lebih penting dipikirkan parpol adalah merumuskan agenda perubahan
signifikan yang diperlukan bangsa ini untuk 5 hingga 20 tahun ke depan. Setelah
agenda perubahan dirumuskan secara jelas, baru kemudian parpol mencari figur
dari internal ataupun eksternal parpol yang dianggap mampu dan layak
memperjuangkan dan mewujudkannya. Bukan zamannya lagi, ketua umum parpol
otomatis harus dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden.
UU Pilpres mestinya tidak sekadar memfasilitasi para ketua umum parpol
menjadi capres atau cawapres. Tapi juga hendaknya membuka peluang
sebesar-besarnya bagi tokoh terbaik dari luar parpol. Jika tidak, yang
berlangsung akhirnya tak lebih dari pergantian kekuasaan presiden secara lima
tahunan tanpa perbaikan signifikan bagi kehidupan bangsa kita. ***