Mendadak Calon Kepala Daerah

Mendadak Calon Kepala Daerah
Oleh : Fadil Abidin

            Bangsa ini mungkin dikenal sebagai bangsa yang suka menunda-nunda, bahkan terkenal akan istilah “jam karet”. Sewaktu sekolah dulu, ada pekerjaan rumah (PR) hari Kamis, karena ini masih hari Senin, kita kerap menunda mengerjakannya pada hari Rabu malam Kamis bahkan ada yang terus menundanya hingga detik-detik akhir mau berangkat sekolah. Kita suka mengerjakan sesuatu dengan mendadak dan terburu-buru. Konon katanya, jika mengerjakan secara mendadak dan terburu-buru akan melahirkan kreativitas dan energi yang berlebih. Benarkah?

            Demikian juga dalam kehidupan berbangsa ini, banyak kebijakan, pembuatan peraturan perundang-undangan, dan proyek pembangunan dilaksanakan secara mendadak dan terburu-buru. Tak sedikit yang tampak asal-asalan dan hasilnya mengecewakan. Banyak produk kebijakan dan UU yang kemudian direvisi atau ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Proyek-proyek pembangunan yang dibangun secara terburu-buru, kualitasnya juga meragukan.
            Salah satu contoh yang sudah mendarah daging dari kebiasaan menunda dan melaksanakan secara mendadak adalah dalam hal memilih pemimpin. Di banyak negara di dunia, calon pemimpin sudah berkampanye dan dicalonkan setahun atau dua tahun sebelumnya. Waktu yang lama ini diperlukan agar rakyat bisa memantau, mengawasi, membandingkan, dan menilai para calon pemimpinnya.   
            Di Indonesia para calon pemimpin, termasuk calon kepala daerah diputuskan secara cepat kilat dan mendadak dalam tempo 3 hari, untuk selanjutnya akan berkampanye dan mengenalkan diri termasuk visi dan misinya ke publik selama 4 bulan. Calon-calon kepala daerah injury time, the last minutes, atau calon kepala daerah dadakan banyak muncul menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada). Bahkan dalam hitungan detik, pencalonan atau dukungan bisa berubah arah.  
Pilkada Serentak
            Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada 15 Februari 2017. Pilkada diikuti 101 daerah dari tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada tersebut terdiri atas 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Ketujuh provinsi tersebut yaitu Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat.
Berdasarkan lampiran Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tahapan Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan atau Wali Kota Wakil Wali Kota setidaknya ada 13 tahapan kegiatan penyelenggaraan yang telah dimulai sejak Juli 2016 lalu.
Tahapan yang dianggap penting adalah pendaftaran pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah pada 19-21 September 2016. Hingga tulisan ini dibuat (20/09/2016), mayoritas KPU daerah belum menerima pendaftaran pasangan calon. Para petinggi partai maupun para pasangan calon (paslon) masih sibuk “bergerilya” dan bernegosiasi.
Tak jelas apa yang dinegosiasikan, apakah “mahar politik”, koalisi, kompromi, konsesi, atau hitungan jasa-jasa politik jika menang. Tapi yang pasti, hampir seluruh parpol maupun gabungan parpol menunggu detik-detik akhir untuk mengajukan dan mendaftarkan pasangan calonnya ke KPU daerah. 
Keputusan akhir tentang penentuan dan penetapan pasangan calon pun terkesan sangat oligarkis, hanya ditentukan segelintir elit pengurus parpol di daerah hingga pengurus DPP Pusat bahkan ketua umum juga kerap intervensi. Terkadang sudah hampir pasti, pasangan calon A dan B, tapi pada detik-detik akhir sang ketua umum bisa intervensi. Maka yang terjadi adalah pasangan calon A dengan C, atau malah D dengan C. Inilah yang kerap terjadi. 
Maka yang terjadi adalah fenomena “mendadak calon kepala daerah”. Banyak calon kepala daerah yang muncul secara mendadak. Tak jelas apa pertimbangannya sehingga mereka bisa maju dan didaftarkan oleh parpol pengusung ke KPU.
Masyarakat yang sudah apatis dengan Pilkada pun semakin sinis, siapa pula yang dicalonkan? Kenal pun tidak. Tak jelas rekam jejak dan prestasinya. Periode pendaftaran pasangan calon kepala daerah ini persis seperti acara televsisi tempo dulu “Kuis Siapa Dia?” Ada tamu misterius (mistery guest) yang harus ditebak.
Dan celakalah kita, jika harus memilih pemimpin seperti ini. Calon-calon pemimpin hanya diseleksi oleh segelintir elit parpol tanpa mekanisme yang transparan. Pertimbangannya juga terkadang tidak jelas, hanya persoalan “orang partai” atau “bukan orang partai” dan seberapa besar konsesi atau kontribusi yang akan diterima partai.
Parpol terlalu lamban dan bertele-tele dalam menetapkan pasangan calon. Mereka berdalih harus melalui mekanisme internal, mekanisme eksternal, penjaringan nama calon, rapat ini, rapat itu, dan sebagainya. Hasilnya? Belum tentu terpilih calon yang berkualitas, jutsru banyak yang tersandung masalah korupsi hingga terkena kasus narkoba ketika menjabat.    
Mendadak
Apa sih pentingnya menetapkan calon secara mendadak? Seharusnya UU Pemilu, UU Pilpres, dan UU Pilkada direvisi berkenaan dengan pencalonan. Calon harus ditetapkan setahun sebelum pemilihan. Hal ini berguna agar rakyat dapat mengenal lebih dekat dan lebih dalam calon-calon pemimpinnya. Masa waktu setahun tentu sudah cukup bagi rakyat untuk menilai dan memberi pilihan kepada para calon.
Pada masa lalu, Pilkada tak lebih dari proyek uji coba untuk memperoleh kekuasaan. Si A telah menjadi Bupati atau Walikota lalu mencoba peruntungan menjadi Gubernur di provinsi daerah sendiri atau provinsi lain. Bahkan ada gubernur yang ingin menjadi gubernur di daerah provinsi lain. 
Dulu, para anggota dewan juga berebut mencoba peruntungan menjadi kepala daerah. Kini, anggota dewan yang mencalonkan diri dalam Pilkada harus mundur dari jabatannya. Jika tidak, maka Pilkada akan menjadi proyek uji coba peruntungan memperoleh kekuasaan.
Untuk menghindari jabatan gubernur menjadi ajang uji coba atau batu loncatan untuk meraih kekuasaan yang lebih tinggi bagi para bupati atau walikota. Maka para bupati atau walikota yang mencalonkan diri menjadi gubernur harus mengundurkan diri dari jabatan sebelumnya. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Pasal 7 ayat 2.
Zaman seharusnya telah berubah, perubahan UU harus dilakukan. Sudah tidak zamannya lagi memilih dan menetapkan kepala daerah secara mendadak, simsalabim lalu muncul. Seorang calon harus diperkenalkan dan diuji oleh waktu, dan biarkan publik menilai.
Selama ini rakyat hanya seolah “dipaksa” memilih dari calon-calon kepala daerah yang ada, dan mengenalnya sebatas hanya selama masa kampanye saja. Sehingga tidaklah heran, jika mayoritas yang memenangkan Pilkada adalah petahana yang lebih dulu dikenal luas oleh masyarakat.

Jadi perlu dibuat aturan, masa pendaftaran pasangan calon untuk kepala daerah, bahkan calon pasangan presiden harus didaftarkan ke KPU selambat-lambatnya setahun sebelum pemilihan. Selama setahun tersebut, biarkan mereka berkampanye, memperkenalkan diri, dan membuktikan diri dengan bekerja untuk rakyat. ***