Menghormati
Orang (Tidak) Berpuasa
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian
Analisa Medan, 16 Juni 2016
http://harian.analisadaily.com/opini/news/menghormati-orang-tidak-berpuasa/244402/2016/06/17
http://harian.analisadaily.com/opini/news/menghormati-orang-tidak-berpuasa/244402/2016/06/17
Apa
salah Ibu Saeni? Warung jualan nasinya dirazia Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP) Kota Serang, Banten. Ibu Saeni dianggap melanggar Peraturan Daerah
(Perda) Kota Serang yang melarang berjualan makanan/minuman di siang hari selama
bulan Ramadan. Ibu Saeni hanya bisa pasrah sambil menangis sedih ketika
beberapa anggota Satpol PP menyita barang-barang dagangannya.
Razia
yang dilakukan Satpol PP tersebut memang kurang simpatik, bahkan agak “overacting”. Warung kecil Ibu Saeni yang
menjual makanan sebenarnya tidak mencolok, tapi terkena razia juga. Nasi,
sayuran, dan lauk pauk dagangan Ibu Saeni disita secara semena-mena. Video
razia ini pun menjadi viral di dunia maya setelah beredar di Youtube.
Akibat
barang dagangannya disita, Ibu Saeni mengalami kerugian, ia sempat dikabarkan
jatuh sakit dan terhutang uang. Aksi simpati dan penggalangan dana pun
bergulir. Netizen mengumpulkan dana untuk
membantu Ibu Saeni. Sampai tulisan ini dibuat (12/06) berhasil dikumpul
uang sekitar Rp 265 juta.
Presiden
Jokowi secara pribadi memberi sumbangan Rp 10 juta. Menteri Dalam Negeri,
Tjahjo Kumolo juga ikut membantu. Tjahjo menilai
cara yang diterapkan Satpol PP Serang untuk merazia warteg yang buka siang hari
kurang simpatik. Bahkan Tjahjo menghimbau kepada kepala daerah agar tidak
mengeluarkan Perda yang kontroversial.
Perda yang melarang berjualan makanan dan minuman di
siang hari selama Ramadan, pada awalnya dikeluarkan untuk menghormati umat Muslim
yang melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan. Tapi, dalam hukum Islam
sendiri tidak ada larangan bagi setiap Muslim untuk tetap bekerja dan berusaha
berjualan makanan atau minuman di siang hari selama Ramadan. Secara hukum
positif, tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan di
Indonesia yang bisa menjadi dasar bagi larangan tersebut.
Jika
alasannya toleransi, hal tersebut harus dilihat sebagai bagian dari seruan untuk
saling menghormati. Setiap orang dipersilahkan saja membuka warungnya selama
bulan Ramadan, sepanjang tidak demostratif “memamerkan” kegiatan makan-minum di
dalamnya. Selama ini penulis menilai bahwa penghormatan tersebut sudah berjalan
dengan baik. Warung nasi, kedai nasi, rumah makan, bahkan gerai fast food modern di pinggir jalan atau
dalam gedung mal, telah menutup etalase, pintu dan jendelanya dengan tirai.
Tidak ada ceritanya, gara-gara warung yang
buka saat bulan Ramadan secara langsung mempengaruhi umat Islam membatalkan
puasanya. Kalau pun itu terjadi berarti kadar iman orang tersebut sangat lemah
sehingga mudah tergiur oleh aneka makanan yang dijual.
Menjaga Puasa
Selain belajar mengendalikan hawa nafsu,
puasa mendidik setiap Muslim untuk sabar dan bersyukur. Rasulullah SAW justru
menganjurkan kepada umatnya ketika berpuasa untuk tidak menarik diri dari
masyarakat, bekerja seperti biasa untuk mencari rezeki yang halal. Beliau
justru mengecam orang-orang yang berpuasa, lalu mengasingkan diri, bertapa di
tempat sunyi, tidak bekerja untuk menghidupi keluarganya karena ingin merasa
lebih khusyu’ ketika berpuasa.
Kita justru harus bersyukur ketika
menjalankan ibadah puasa banyak saja godaan, halangan, tantangan, dan tawaran
menggiurkan yang mencoba membatalkan puasa kita. Rasa syukur kita juga semakin
bertambah, ketika melihat orang-orang lain yang tetap berpuasa kendati bekerja keras
sebagai kuli atau buruh pabrik, badan berpeluh keringat, tenggorokan kering,
perut lapar, dan tenaga yang terkuras habis.
Kita patut “iri” dengan puasa para kuli
tersebut. Mungkin saja “deposito” pahala puasa mereka lebih banyak ketimbang
pahala puasa kita, karena kita menjalankannya dengan mudah. Bekerja di belakang
meja, tempat kerja berpendingin udara, dan terkadang bisa bermalas-malasan.
Selalu ada terlintas dalam pikiran kita, saya
sedang berpuasa tapi mengapa orang-orang di sekeliling saya tak menghormatinya?
Mengapa umat Muslim yang mayoritas ini tidak bisa menerapkan peraturan seperti
di Pulau Bali? Setiap Nyepi, siapapun dan beragama apapun di Pulau Bali harus
ikut pula “nyepi”.
Sementara ketika Ramadan, warung-warung dan
kedai nasi tetap buka, banyak orang berlalu lalang merokok atau makan-minum di
pinggir jalan. Itulah godaan hawa nafsu, bisakah kita menahan amarah dan
menahan sifat buruk sangka kita?
Umat Muslim karena menjaga puasanya harus
bisa menghormati orang-orang yang tidak berpuasa. Dan orang-orang yang tidak
berpuasa harus menghormati pula orang-orang yang berpuasa. Saling mengormati,
bukan karena orang-orang yang berpuasa “gila hormat”. Tapi posisikan diri,
seandainya saya berpuasa juga, merasakan lapar dan haus seperti mereka yang
berpuasa. Tentu saya akan menghormati mereka yang berpuasa.
Saya punya pengalaman menarik. Sekitar 10
tahun lalu, sehabis shalat Jumat di bulan Ramadan, saya mendapat SMS dari
istri. Ia ingin sekali makan nasi rendang. Saya pun langsung pergi dengan
mengendarai sepeda motor menuju ke sebuah rumah makan Padang. Ketika saya
memesan satu bungkus nasi rendang, orang-orang yang sedang makan di situ
terkejut melihat saya.
Mereka mungkin berprasangka, ini orang
berpeci, berkain sarung, dan berbaju koko. Tapi siang-siang di bulan puasa
begini beli nasi bungkus? Saya baru sadar dengan keadaan saya ini. Saya tidak
ingin berburuk sangka dengan mereka, dan saya pun tak ingin mereka berburuk
sangka kepada saya. Dan untunglah ada tetangga sebelah rumah (non-muslim) yang
menegur, ”Buat siapa nasi bungkusnya?”
Saya pun menjawab lega, “Nasi bungkus ini
buat istri. Dia lagi ngidam ingin
makan rendang.” Tanya dia lagi, “Sudah berapa bulan?” “Tiga bulan,” jawabku.
Orang-orang di rumah makan itu pun mengangguk mengerti.
Ketika mengandung anak pertama, istri memang
mengalami “sakit hamil” yang parah, sehingga tidak jatuh hukum wajib puasa
kepadanya. Setiap hari nyaris muntah-muntah, sakit, badan lemah, dan tidak bisa
berbuat apa-apa, termasuk memasak. Dan untung saja selama Ramadan masih banyak
rumah makan yang tetap berjualan. Sehingga kami tidak kerepotan mencari
makanan.
Prasangka Baik
Intinya adalah, kita jangan berburuk sangka
ketika seseorang mampir di rumah makan di siang hari bulan Ramadan. Bisa saja
ia lagi membelikan nasi bungkus untuk istri yang sedang hamil, untuk ibunya
yang sudah uzur, atau untuk anaknya yang masih kecil. Puasa tidak wajib bagi
orang yang sakit, sudah uzur, anak-anak yang belum baligh, perempuan yang
sedang menstruasi, hamil, baru melahirkan (nifas), dan ibu menyusui.
Bagi seorang suami, ketika istri sakit atau
ada halangan lain, tentu akan kerepotan menyediakan hidangan makanan berbuka.
Dan itulah fungsi dari rumah makan! Membuka warung
makan adalah hak setiap orang untuk menafkahi keluarganya. Ketika warung
atau rumah makan ini diwajibkan tutup selama Ramadan. Dari mana mereka akan
mendapatkan rezeki untuk menafkahi keluarga dan mendapatkan uang untuk
keperluan Lebaran?
Orang-orang yang
berpuasa pun masih berkepentingan dan memerlukan tetap beroperasinya rumah
makan selama bulan Ramadan. Dengan demikian, jika ada warung makan atau
restoran yang tetap buka di siang hari pada bulan puasa, jika dalam konteks
memfasilitasi orang-orang yang tidak berpuasa, maka tentu kita harus bersyukur.
Karena masih ada kepedulian terhadap mereka yang tidak berpuasa. Tentu
saja dengan syarat tidak menampilkan kegiatan makan-minum secara terbuka dan
demonstratif, tetapi dengan tetap menjaga dan menghormati mereka yang berpuasa.
Mereka yang tidak beragama Islam dan umat
Islam yang tidak wajib berpuasa tentu membutuhkan makan pada siang hari. Jika semua
warung dipaksa tutup, mereka yang tidak berpuasa akan kesulitan untuk mencari
makanan. Adanya Perda larangan tersebut, justru seolah meragukan keimanan umat
Islam.
Sehingga akan muncul anggapan bahwa dengan
adanya warung yang buka akan menjadi pemicu seseorang untuk membatalkan
puasanya. Apa mereka kira keimanan umat Islam itu lemah dan hanya setipis kulit
bawang?
Kita harus mengembangkan sikap dan prasangka
positif (husnudzon) terhadap perbedaan, baik itu suku, agama, ras, golongan,
dan jenis kelamin. Meniadakan perbedaan adalah sesuatu yang mustahil. Karena
itu kita diperintahkan untuk bersikap positif dalam menerima perbedaan. Tidak
sekadar menerima perbedaan koeksistensi sosiologis, tetapi memahamai
sumber-sumber perbedaan dan menerima mereka yang berbeda sebagai bagian
integral masyarakat.***