Menguji
Cuti Kampanye bagi Petahana
Oleh : Fadil Abidin
Basuki
Tjahaya Purnama atau Ahok mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah
Konsitusi atas Pasal 30 ayat 3 UU No.10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada). Pasal tersebut berbunyi “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang mencalonkan kembali pada
daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan menjalani cuti
di luar tanggungan negara”.
Dalam aspek legalitas yang
umum, cuti adalah hak setiap pegawai atau pekerja yang boleh dijalankan atau
tidak dijalankan. Cuti bukan kewajiban yang harus dipenuhi pegawai atau pekerja.
Cuti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah meninggalkan pekerjaan beberapa waktu secara resmi
untuk beristirahat dan sebagainya.
Di sinilah ada ambiguitas istilah cuti versi UU dan
pengertiannya dalam bahasa. Dalam UU Pilkada, cuti bagi petahana yang ingin
mencalonkan kembali dalam Pilkada bermakna “harus”. Ada kerancuan dalam UU
karena tidak memakai kata “wajib”.
Implikasinya, jika “harus” maka ia tidak mempunyai aspek
penghukuman atau sanksi kepada pihak yang melanggar. Dalam UU Pilkada, Peraturan
KPU (PKPU) atau Peraturan Bawaslu memang tidak ada klausul sanksi bagi petahana
yang tidak mau menjalani cuti selama masa kampanye. Klausul itu hanya menjadi
kaidah moral dan etika agar Pilkada dapat berjalan secara adil dan tanpa
penyalahgunaan wewenang oleh para petahana kepala daerah.
Gugatan Ahok tersebut sebenarnya menohok para legislator
pembuat UU, serta KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu. Bahwa selama
ini ada “ruang kosong” yang tidak terpikirkan oleh mereka, yaitu tidak adanya
sanksi bagi petahana yang tidak mau menjalani cuti selama kampanye. Aturan cuti
selama ini hanya dijalankan secara “sukarela” oleh para petahana. Mungkin
setelah putusan MK inilah KPU akan membuat aturan sanksi.
Jadi, tidaklah tepat jika banyak kalangan yang kemudian
menghujat Ahok dengan tuduhan bermacam-macam karena ia tidak mau menjalani cuti
(yang diharuskan). Gugatan Ahok justru membuka kotak pandora bahwa masih banyak
ketidaksempurnaan dalam UU Pilkada.
Ada banyak variabel dalam menafsirkan “harus cuti” dalam
UU Pilkada. Kosakata “harus” berarti ia opsional ( bisa memilih). Mau menjalani
atau tidak, tidak ada masalah atau tidak ada konsekuensi atas pilihan karena
tidak ada sanksi sama sekali. Berbeda jika kosakata tersebut menjadi “wajib”,
sesuatu yang mesti dikerjakan dan melahirkan konsekuensi sanksi jika tidak
dilaksanakan. Nah, persoalan cuti menjadi “hak” atau “kewajiban” inilah yang
harus diputuskan oleh MK.
Haruskah
Cuti?
Variabel opsional lainnya adalah, apakah petahana yang
tidak melakukan kampaye selama masa kampanye juga harus dipaksa cuti? Haruskah
menjalani cuti selama 4-6 bulan, mengingat tidak setiap hari petahana melakukan
kampanye?
Pemaksaan cuti jelas akan berdampak pada pelanggaran hak
warga negara dalam hal ini para petahana. Ketentuan ini juga berpotensi
melanggar Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945. Pasal ini menyebutkan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.”
Presiden,
Wakil Presiden, dan para menteri tidak menjalani cuti total dengan menanggalkan
jabatannya sepanjang 4-6 bulan selama masa kampanye pemilu legislatif atau
pemilu presiden. Mereka menjalani cuti hanya di akhir pekan (Sabtu-Minggu)
ketika ada jadwal kampanye saja.
Maka,
sangatlah relevan jika kemudian Ahok meminta persamaan hukum agar cuti bagi
petahana dilaksanakan saat akan berkampanye saja (di akhir pekan). Jika
tidak mau berkampanye, petahana bisa tetap melakukan pekerjaannya tanpa perlu
menanggalkan jabatannya. Memaksa petahana mundur dari jabatannya dengan istilah
“cuti” jelas akan melanggar hak konstitusional para petahana. Seorang kepala
daerah masa jabatannya 5 tahun, sehingga akan melanggar konstitusi jika baru
4,5 tahun atau 4,8 tahun harus mundur dari jabatannya dengan alasan harus cuti
dan dicutikan.
Pakar Hukum Tata Negara
Refly Harun menilai, kepala daerah yang kembali mencalonkan diri pada Pikakda
2017 tidak perlu cuti selama masa kampanye berlangsung. Pada pilkada serentak
2017, masa cuti dimulai 26 Oktober 2016 hingga 11 Februari 2017. "Masa
kampanye hampir 4 bulan. Padahal tidak tiap hari kampanye," kata Refly (Kompas.com,
23/8/2016).
Refli mengatakan,
kewajiban cuti selama masa kampanye akan menyebabkan kepala daerah menganggur. Jika
bertujuan agar tak ada penyalahgunaan jabatan oleh petahana, menurut dia, Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat memaksimalkan perannya. "Yang gunakan uang
publik, fasilitas negara harus didiskualifikasi. Pengawasan harus kuat. Bawaslu
harus bekerja," ujar Refly.
Refly menyatakan setuju
terhadap langkah Ahok menguji materi pasal terkait cuti petahana tersebut.
Menurut dia, pasal tersebut harus diubah. "Bukan selama masa kampanye tapi
(cuti) pada saat kampanye," ujar Refly.
Trauma
Masa Lalu
Aturan
Pilkada bahwa petahana harus mundur dari jabatannya atau menjalani cuti selama
masa kampanye adalah akibat trauma masa lalu. Pada masa lalu, banyak petahana
yang menggunakan dana publik atau anggaran APBD dan menyalahgunakan wewenang
untuk berkuasa kembali. Akhirnya, terjadilah ketidakadilan, petahana begitu
diistimewakan, mendapatkan kemudahan, dan masih punya kuasa untuk menggerakkan birokrasi
ketika kampanye.
UU Pilkada kemudian
mengatur cuti pada masa kampanye bagi para petahana. Ketentuan cuti diambil berdasarkan sejumlah
pertimbangan agar proses demokrasi dalam Pilkada dapat berjalan secara fair. Pertimbangan
lain, yakni sering adanya penyalahgunaan fasilitas negara jika petahana tidak
mengambil cuti saat masa kampanye. Termasuk agar menimbulkan asas keadilan
dengan calon lain yang berakses terbatas hingga untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan
anggaran daerah saat masa kampanye.
Masalahnya, pembuat UU
Pilkada mungkin lupa untuk menegaskan bahwa cuti kampanye bagi petahana adalah
suatu kewajiban dan mempunyai konsekuensi sanksi bagi yang melanggarnya. Suatu
peraturan tanpa ada sanksi bagi pelanggarnya akan sia-sia. Sanksi ini harus
diatur secara tertulis dalam UU yang disahkan DPR. Sanksi seharusnya jangan
dibuat oleh KPU yang sangat rentan digugat ke PTUN.
Secara historis dan
analogi jika petahana tidak cuti akan terjadi penyalahgunaan jabatan, maka ada
kemungkinan gugatan agar presiden dan wakil presiden juga harus menjalani cuti
selama 3-4 bulan selama masa kampanye pilpres untuk menghindari penyalahgunaan
anggaran dan wewenang. Maka diangkatlah presiden pelaksana tugas (plt).
Tentu hal ini tidaklah
mungkin, karena tidak ada presiden (plt) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
maupun di dunia. Tapi harus diperhatikan pula, di seluruh dunia tidak ada gubernur
plt, bupati plt, atau walikota plt seperti di Indonesia. Ketentuan bahwa kepala
daerah harus mundur dari jabatannya dengan cara cuti, hanya ada di Indonesia.
Dalam proses pengajuan uji materi ke MK,
persoalannya akan menjadi sederhana. Tinggal bagaimana MK menyingkapi UU
Pilkada tersebut. Apakah cuti petahana masih dianggap sebagai hak, atau sudah
dianggap sebagai kewajiban.
Jika dianggap sebagai
hak maka ia punya hak opsional untuk memilih antara cuti dari jabatannya untuk
berkampanye, atau tidak mau cuti dari jabatannya dengan konsekuensi tidak akan
melakukan kampanye. Dan jika dianggap sebagai kewajiban, maka diperlukan aturan
lebih lanjut, bahkan jika perlu UU Pilkada direvisi dengan penambahan sanksi
bagi petahana yang tak mau menjalani cuti dalam jabatannya selama masa
kampanye. ***