Menyoal Kenaikan
Dana Parpol
Oleh : Fadil Abidin
Pemerintah telah
memutuskan menaikkan dana bantuan untuk partai politik (parpol) hampir sepuluh
kali lipat, dari Rp 108 per suara menjadi Rp 1.000 per suara. Ketentuan ini berlaku untuk semua parpol peserta Pemilu
Legislatif (pileg) 2014, walaupun parpol tersebut tidak lolos parliamentary
threshold.
Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai pemenang pemilu 2014 misalnya, yang semula
menerima bantuan Rp 2,5 Miliar setiap tahun, selanjutnya akan menerima dana
hingga Rp 23,7 Miliar. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang
berada di urutan paling buncit dalam pileg 2014, semula hanya menerima bantuan
dana Rp 123,4 juta. Kini, angkanya naik hingga Rp 1,1 Miliar.
Jika ditotal, dana
yang dihabiskan untuk 12 partai politik peserta pemilu 2014 lalu sebelum
kenaikan sebesar Rp 13,42 Miliar. Namun, setelah kenaikan dana parpol disetujui,
maka angkanya akan melonjak hingga Rp 124,92 Miliar. Selisih dana parpol sebelum
kenaikan dan sudah kenaikan mencapai Rp 111,5 Miliar.
Kenaikan dana
parpol ini kemudian dipersoalkan banyak pihak. Sekjen Deputi Forum Indonesia
untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Apung Widadi mengatakan, akan lebih baik
bila dana tersebut digunakan untuk menutup defisit dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Alokasi dana parpol ini justru menambah beban
defisit, kenaikan ini tidak tepat dilihat dari kondisi keuangan negara saat ini.
Sementara itu,
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian
Salang mengatakan, pemerintah harus memastikan partai politik bertanggungjawab
dengan dana yang sudah diberikan. Parpol harus membuat laporan
pertanggungjawaban keuangan parpol tepat waktu. Jika tidak dipenuhi, parpol
tidak berhak mendapat bantuan dana dari negara. "Pemerintah tak boleh
hanya memberikan cek kosong, mesti ada ketentuan yang harus disepakati dengan
parpol," ucap Sebastian (Kompas.com, 29/8/2017).
Korupsi Jalan Terus
Menteri Keuangan
Sri Mulyani menegaskan bahwa kenaikan dana parpol ini sudah sesuai dengan
prosedur yang berlaku. Kenaikan ini sudah sesuai dengan kajian yang dilakukan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Menteri Dalam Negeri. Menkeu mengakui
bahwa kenaikan dana parpol ini bisa membebani APBN yang tengah defisit.
Tujuan KPK dengan
merekomendasikan dan menyetujui kenaikan dana parpol adalah untuk mengurangi
kecenderungan tindak korupsi dengan alasan pencarian dana operasional untuk
parpol. Alasan klise para pejabat, anggota dewan, hingga kepala daerah yang tersangkut
masalah korupsi karena ada kewajiban untuk menyetor dana untuk kepentingan
parpol.
Padahal korupsi
akarnya bukan hanya itu saja. Seharusnya KPK sadar bahwa menaikkan dana parpol
tidak menjamin korupsi politik menurun. Akar utama dari korupsi adalah
keserakahan. Regulasi untuk mengurangi ongkos-ongkos politik telah ditetapkan,
bahkan kampanye pilkada pun dibiayai negara. Tapi korupsi jalan terus.
Sudah menjadi
aturan tak tertulis. Tiap-tiap parpol misalnya mendeklarasikan diri tidak
menetapkan “mahar” dalam pencalonan kepala daerah. Tapi faktanya, kepala daerah
yang terpilih banyak diperlakukan seperti ATM berjalan dengan alasan hutang
politik atau balas budi. Jabatan di parpol masih melekat ketika yang
bersangkutan menjabat kepala daerah. Sehingga ada kewajiban moral dan finansial
untuk membiayai operasional parpol sebagai kader parpol.
Keserakahan memang
tak terbatas. Setelah berhasil membantu pendanaan parpol pun, masih banyak
kepala daerah yang melakukan korupsi untuk kepentingan diri sendiri dan
keluarga. Korupsi terjadi karena keserakahan dan lemahnya mental, bukan masalah
besar-kecilnya tunjangan, masalah gaji, dan masalah bantuan dana.
Transparansi
Kenaikan dana parpol telah disetujui dan telah dianggarkan
dalam APBN. Selama 10 tahun memang tidak ada kenaikan dana parpol. Parpol
sebagai pilar utama demokrasi memang memiliki peran penting. Sebuah negara
tidak bisa lepas dari eksistensi partai politik. Negara tanpa parpol adalah
bukan sebuah negara, sehingga keberlangsungan hidup parpol harus menjadi
tanggung jawab negara pula.
Ke
depannya, perlu ada transparansi dalam pengelolaan dana parpol ini. Ini adalah
kewajiban UU, sebab setiap penggunaan anggaran dalam APBN harus dipertanggung
jawabkan. Apa saja yang boleh dan tidak boleh penggunaan dana ini harus
diperjelas.
Untuk itu perlu
ada aturan yang mengikuti kebijakan tersebut agar nantinya dana bantuan parpol
dipergunakan sesuai peruntukannya. Apakah dana itu boleh untuk membeli aset
misalnya, apakah diperbolehkan untuk ditanamkan ke saham atau untuk usaha, dsb.
Apakah dana itu hanya untuk operasional serta pembelian barang dan jasa. Semua
harus diatur.
Untuk memastikan
penggunaan dana tersebut transparan, dana parpol juga harus diaudit secara
rutin setiap tahun. Jika ada parpol yang tidak dapat membuat laporan dengan
benar, atau ketika diaudit tidak benar dan ada penyimpangan, maka parpol
tersebut harus diberi sanksi tegas, tidak diberi dana parpol untuk tahun
berikutnya. Jika ada indikasi terjadi praktik korupsi, maka pimpinan parpol,
dalam hal ini bendahara, sekretaris jenderal, dan ketua umum harus bertanggung
jawab secara bersama-sama.
Dana parpol memang
lebih tepat jika dipakai untuk proses rekrutmen, pendidikan dan latihan politik
bagi para kader, biaya operasional, sosialisasi dan kegiatan agenda politik
lainnya. Untuk itu parpol jangan hanya mengandalkan dana dari
pemerintah, parpol harus mampu mandiri lewat iuran anggota, sumbangan anggota,
sumbangan pihak ketiga yang tidak mengingat, dan penggalangan dana lainnya yang
dibenarkan UU.
Partai politik memang membutuhkan biaya
operasional yang besar untuk menggerakkan berbagai tingkat kepengurusan di seluruh
wilayah Indonesia. Mulai tingkat pusat, wilayah, daerah, cabang, anak cabang,
ranting, hingga anak ranting. Bahkan ada
pimpinan parpol yang bilang, dengan dana minim seperti tahun lalu, jangankan
untuk membiayai kegiatan operasional parpol se-Indonesia, untuk membiayai
administrasi satu kantor DPP saja tidak cukup.
Imbas dari peningkatan dana parpol ini perlu
pula diikuti peningkatan pendidikan politik kepada masyarakat, rekrutmen, kaderisasi
yang berkualitas, dan pembenahan lembaga serta tata kelola keuangan yang
transparan dan akuntabel.
Kemudian harus disusun pula kode etik dan
syarat-syarat mutlak untuk pemberian bantuan dana kepada parpol yang bersumber
dari APBN dan APBD. Misalnya, terkait kepentingan umum, kejujuran, integritas,
transparansi, keadilan, profesional, taat pada hukum, inklusif,
non-diskiminatif, serta hubungan dengan konstituen dan masyarakat.
Baiknya politisi dan parpol akan menentukan
baiknya demokrasi kita. Tentu
tidak fair ketika kemudian di satu sisi konstitusi kita meletakkan parpol
sebagai pilar utama demokrasi yang tidak bisa dipisahkan dalam proses politik
pemilu, dan proses politik yang lain. Tapi di sisi lain parpol tidak
ditempatkan sebagai sebuah institusi yang harus didukung dengan sistem dan
keuangan yang memadai.
Bagaimana
pun juga dana yang akan digunakan adalah dana yang berasal dari APBN, artinya
adalah uang dari rakyat yang harus dipertanggungjawabkan secara hati-hati. Sama
standar pertanggungjawabannya dengan lembaga negara lain, pelaporannya harus
transparan dan akuntabel. ***