Polemik dan Solusi Trasnsportasi Berbasis Aplikasi

Polemik dan Solusi Trasnsportasi Berbasis Aplikasi
Oleh : Fadil Abidin

"Uber, perusahaan taksi terbesar dunia, tak punya kendaraan. Alibaba, retailer paling bernilai, tak memiliki gudang. Dan Airbnb, penyedia akomodasi terbesar, tak punya properti. Sesuatu yang menarik sedang terjadi," tulis Tom Goodwin, analis industri di TechCrunch (detikinet,12/03/2016).
Di zaman serba canggih ini, kita bisa menjual apa saja, baik produk benda maupun jasa,  yang benar-benar tidak kita miliki. Uber, perusahaan taksi (transportasi mobil) terbesar di dunia ternyata tak memiliki armada kendaraan. Alibaba, retailer atau penjual barang yang termasuk terbesar di dunia ternyata tidak mempunyai gudang untuk menyimpang barang. Kok bisa?

Begitulah, seiring demam startup yang menghinggapi berbagai belahan dunia, beberapa orang sukses menciptakan terobosan, tapi di sisi lain menimbulkan gejolak. Umumnya karena mengganggu status quo dari penguasa bisnis dengan metode lama, dengan model bisnis yang benar benar baru.
Menurut Wikipedia, istilah startup merujuk pada perusahaan yang belum lama beroperasi. Perusahaan-perusahaan ini sebagian besar merupakan perusahaan yang baru didirikan dan berada dalam fase pengembangan dan penelitian untuk menemukan pasar yang tepat.
Defenisi diatas mungkin lebih pada terminologinya, namun secara umum istilah startup diartikan sebagai perusahaan baru yang sedang dikembangkan. Istilah ini kemudian banyak dihubungkan dengan segala yang berbau inovasi teknologi, web, aplikasi, internet dan yang berhubungan dengan ranah tersebut.
Istilah startup sendiri mulai popular secara internasional pada masa bubble dot-com. Fenomena buble dot-com terjadi pada periode 1998-2000, dimana banyak perusahaan dot-com didirikan secara bersamaan. Pada masa itu sedang gencar-gencarnya perusahaan membuka website. Makin banyak orang yang mengenal internet sebagai ladang baru untuk memulai bisnisnya.
Perseteruan
            Apa pun yang baru pasti akan berseteru dengan yang lama. Dimana pun Uber berada, selalu mengundang polemik bahkan konflik. Uber kerap kali berseteru dengan perusahaan taksi konvensional di hampir seluruh belahan dunia. Uber dianggap ilegal, dihujat, didemo dan harus dibubarkan, itulah tuntutan para pengemudi taksi konvensional. Tapi di satu sisi, masyarakat konsumen lebih memilih transportasi berbasis aplikasi ini karena berbagai keunggulannya. 
Pihak yang terganggu selalu mengeluh, tapi ini memang wajar terjadi. Pertanyaannya adalah apakah terobosan itu menciptakan lebih banyak kemerdekaan individual untuk bebas memilih atau malah menuju ke arah penciptaan monopoli global? Bisakah perusahaan lokal berkompetisi dengan perusahaan global?
Nama Uber belakangan banyak diperbincangkan, terutama karena model bisnisnya yang mengguncang industri taksi dan ditiru banyak perusahaan lainnya. Perusahaan Uber didirikan duet Travis Kalanick dan Garett Camp pada tahun 2010. Kalanick sejak muda memang gemar membuat berbagai terobosan aplikasi.
Semasa kuliah, ia mengerjakan proyek bernama Scour yang gunanya untuk berbagi file. Scour adalah mesin cari peer to peer yang cukup populer di zamannya. Tapi Scour dibenci para penyedia konten karena memungkinkan konsumen memiliki konten tanpa bayar. Akibatnya, Scour digugat USD 250 miliar dan akhirnya bangkrut.
Tapi Kalanick tak menyerah. Tak lama berselang, dia membuat perusahaan baru bernama RedSwoosh. Fokus perusahaan ini adalah menghantarkan konten web pada user dengan biaya murah. Ketika Amerika dilanda krisis keuangan, Redswoosh akhirnya dijual ke Akamai Technologies senilai USD 20 juta.
Pada tahun 2008, Kalanick dan penggiat startup lain bernama Garret Camp bertemu di konferensi teknologi LeWeb di Paris. Camp mengajukan ide penciptaan aplikasi penyewaan mobil. Tapi ide aplikasi itu dianggapnya kurang menarik bagi Kalanick.
Kalanick sebenarnya sudah melupakan ide penyewaan mobil itu, tapi tidak dengan Camp. Ia terobsesi dengan ide itu, kemudian membeli nama domain UberCab.com. Camp berhasil meyakinkan Kalanick kalau mereka akan berhasil. Layanan UberCab pun lahir di San Francisco pada tahun 2010. Kemudahan yang ditawarkan aplikasi ini, di mana pengguna tinggal memanggil taksi dan membayar dengan kartu kredit, membuatnya mulai dilirik. 
Sisanya adalah sejarah gemilang meski tak lepas dari kontroversi. Uber kini adalah startup sangat terkenal, beroperasi di banyak negara dan nilainya sekitar USD 50 miliar. Kalanick yang kini berumur 38 tahun, kaya raya dengan uang senilai USD 6,2 miliar atau di kisaran Rp 80 triliun. Kalanick masih juga mengembangkan startup lainnya. Ada prediksi kalau suatu saat Kalanick akan berada di level yang sama dengan Bill Gates atau Steve Jobs.
Tapi tantangan besar menghadang Uber dan perusahaan sejenisnya, misalnya Grab yang dikembangkan Anthony Tan dari Malaysia. Protes pada mereka tak juga berhenti, terutama dari para sopir dan perusahaan taksi yang menganggap Uber ilegal dan mencuri nafkah mereka. Banyak menilai, mereka beroperasi secara ilegal, tanpa menaati regulasi, tidak membayar pajak, tidak mempunyai izin operasional dan tidak berkompetisi dengan fair. Itulah sebabnya mereka menjadi besar.
Polemik dan Solusi
Uber seperti menjadi 'common enemy' bagi pebisnis taksi konvensional di berbagai belahan dunia. Tapi di sisi lain, masyarkat makin gandrung akan layanan ini. Negara-negara di berbagai dunia menyikapi dan mencari solusi secara berbeda-beda.
Filipina melegalkan Uber dan GrabCar dengan berbagai syarat sejak Agustus 2015. Otoritas Transportasi Filipina menentukan kedua aplikasi itu beroperasi di bawah aplikasi yang diatur pemerintah. Taksi online tak boleh mengambil penumpang di pinggir jalan, namun harus dipesan melalui aplikasi. Usia kendaraan tak lebih dari 5 tahun, wajib mengansuransikan penumpang dan tentunya membayar pajak. Sedangkan Malaysia sama dengan Indonesia masih mempertimbangkan taksi online ini.
Sedangkan Australia, kebijakan soal Ridesharing Uber diserahkan kepada kebijakan pemerintah negara bagian masing-masing, ada yang melegalkan dan ada yang melarang. Sementara di Inggris, Uber Taksi secara resmi telah dilegalkan sejak Oktober 2015. Pengadilan Inggris telah memutuskan, teknologi aplikasi tidak melanggar hukum.
Prancis menyatakan Uber sebagai ilegal sejak 2015. Pejabat Uber diadili, diancam bui dan denda dituntut dengan tuduhan menjalankan bisnis taksi ilegal, kebohongan komersial dan pelanggaran hukum privasi Prancis karena secara ilegal mengumpulkan, memproses dan menyimpan informasi pribadi para pelanggannya.
Di Belanda, Uber dilarang sejak 2014. Uber diselidiki dengan dugaan melanggar regulasi tentang keselamatan dan persaingan usaha. Menanggapi upaya hukum ini, Uber mengatakan bahwa mereka hanya menyediakan layanan berbagi kendaraan tapi kejaksaan Belanda menolak argumentasi itu karena Uber menerima komisi dari layanan tersebut.
Sedangkan Amerika Serikat, di kota New York, Uber diizinkan beroperasi dengan syarat. Mobil Uber harus memakai plat khusus yang sama dengan yellow cab atau taksi kuning yang sehari-hari 'menguasai' jalanan New York. Pengemudi Uber hanya boleh membawa penumpang yang memesan lewat aplikasi. Ada SIM khusus bagi para pengemudi Uber, serta yang terpenting pembayaran harus lewat kartu kredit. 
Hanya di China, perusahaan global seperti Uber kalah bersaing dengan perusahaan taksi online lokal. Uber mengalami kerugian Rp 13,5 triliun dalam setahun di China. Hal ini tak lepas dari nasionalisme rakyatnya yang lebih memilih perusahaan lokal.
Kita tahu bahwa Uber maupun Grab adalah perusahaan asing yang membuka cabang di Indonesia. Sementara transportasi online untuk roda empat buatan lokal belum ada. Sementara untuk transportasi roda dua (sepeda motot) berbasis aplikasi buatan orang Indonesia adalah Go-Jek yang dikembangkan oleh Nadiem Makarim. Tapi Go-Jek kini juga tengah bersaing sengit dengan GrabBike, “anak perusahaan” Grab dari Malaysia yang bermodal lebih banyak. 
Melarang taksi online tidaklah menyelesaikan masalah, banyak masyarakat yang akan membelanya. Memblokir aplikasi ini di dunia maya juga bukan langkah bijak. Solusinya sebenarnya sangat mudah, kita bisa meniru solusi dari negara-negara lain.
Jika dilegalkan, perlakukan taksi-taksi online ini seperti taksi konvensional lainnya. Mereka harus mempunyai izin usaha, bayar pajak, ikut asuransi, ikut uji KIR, dan jika perlu mobil mereka diberi stiker khusus agar mereka diperlakukan sama dengan taksi konvensional ketika di bandara misalnya.

Kita tidak bisa menghentikan inovasi dan teknologi yang semakin berkembang. Tapi yang diperlukan adalah tindakan cepat dari pemerintah untuk segera mengeluarkan regulasi. Kepada pemilik usaha transportasi konvensional segeralah berbenah, tingkatkan kualitas armada, kenyamanan, keselamatan, bersaing dengan harga kompetitif, atau ciptakan juga aplikasi online yang baru. Di era sekarang, tidak ada satu pun bisnis yang akan terus bertahan jika tidak mampu beradaptasi terhadap perkembangan teknologi.***