Remisi, Langkah Mundur Pemberantasan Korupsi

Remisi, Langkah Mundur Pemberantasan Korupsi
Oleh : Fadil Abidin

            Bergembiralah para koruptor di Indonesia! Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2006, sedikitnya ada 4 jalan untuk mengurangi masa hukuman di penjara terhadap para narapidana termasuk koruptor, yaitu pemberian remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat.

            Remisi atau pengurangan masa hukuman diberikan jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) berkelakuan baik; dan (b) telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana (Pasal 34). Pemberian Asimilasi jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) berkelakuan baik; (b) dapat mengikuti program pembinaan dengan baik; dan (c) telah menjalani 2/3 (dua per tiga) masa pidana (Pasal 36).
Narapidana juga diberikan Cuti Menjelang Bebas oleh Menkumham apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan; (b) berkelakuan baik selama menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung dari tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana; (c) lamanya Cuti Menjelang Bebas sebesar Remisi terakhir, paling lama 3 (tiga) bulan; dan (d) telah mendapat pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Pasal 42A).
Selain itu narapidana juga diberikan Pembebasan Bersyarat oleh Menteri apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) telah menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga), dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan; (b) berkelakuan baik selama menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana; dan (c) telah mendapat pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Pasal 43).
Selain pemberian remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat bagi koruptor, ada jalan lain yaitu pemberian grasi. Grasi adalah pengampunan atau pengurangan hukuman yang diberikan langsung oleh pemerintah (presiden). Presiden SBY pernah memberikan grasi kepada terpidana korupsi, Syaukani HR, mantan Bupati Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur sehingga langsung bebas dari penjara. Syaukani divonis penjara 6 tahun karena korupsi sebesar Rp 93,204 miliar. Ia mendapat grasi dan bebas dari hukuman demi alasan kemanusiaan karena menderita stroke.
 Dengan banyaknya jalan untuk memperoleh pengurangan masa hukuman, maka tidaklah heran jika korupsi terus merajalela di Indonesia. Hukuman yang ada tidak menimbulkan efek jera. Koruptor yang divonis 5 tahun penjara, paling efektif menghuni Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) hanya 1 tahun. Itu pun termasuk keluar-masuk Lapas dengan menyogok petugas. Dan sudah bukan rahasia lagi, jika ada uang, narapidana bahkan bisa mengubah sel penjara layaknya kamar hotel.
Para koruptor sadar betul akan haknya tentang remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat karena mereka mempunyai pengacara yang siap mengajukan permohonan itu setiap saat. Tapi bagi orang awam yang miskin, menjadi terpidana harus dijalani secara penuh tanpa pengurangan hukuman. Karena konon untuk mengurus itu semua diperlukan “fulus” agar urusan mulus.
Kemenangan Para Koruptor
            Remisi adalah pengurangan masa hukuman yang biasanya diberikan saat hari-hari besar keagamaan dan hari kemerdekaan. Bulan Agustus-September tahun ini merupakan bulan kemenangan para koruptor di Indonesia. Karena apa? Tanggal 17 Agustus mereka mendapat remisi dan menjelang Idul Fitri kemarin mereka mendapat remisi kembali.
            Tercatat, menjelang Idul Fitri kemarin remisi diberikan kepada 235 narapidana kasus korupsi dari Lapas di seluruh Indonesia, delapan narapidana di antaranya langsung bebas. Sementara saat HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus lalu, pemerintah juga memberikan remisi kepada 419 narapidana korupsi. Tercatat 21 narapidana kasus korupsi dipastikan langsung bebas.
Dari aspek legal formal memang tak ada yang salah dari kebijakan ini. Hanya saja seharusnya ada pertimbangan lain yang membuat kebijakan ini perlu dikaji ulang. Pemberian remisi untuk koruptor betul-betul menyinggung rasa keadilan masyarakat. Kita sudah sepakat bahwa korupsi itu merupakan extra ordinary crime, maka hukumannya juga harus ekstra.
Pemerintah terkesan tidak konsisten dalam pemberian remisi. Dapat kita amati dari pernyataan Menteri Hukum dan HAM. Menurut Patrialis Akbar, untuk tahun ini napi kasus korupsi tak memperoleh remisi (Kompas, 12/8/2011). Namun, kemudian mengendur dengan memberikan remisi kepada terpidana korupsi dengan alasan semua orang yang memenuhi kategori kualifikasi haknya harus diberikan negara (Kompas.com, 17/8/2011).
Sangat disayangkan, dalam pemberian remisi Menteri Hukum dan HAM tidak melihat dampak yang akan ditimbulkan. Dampak yang akan ditimbulkan adalah tidak adanya efek jera kepada para koruptor dan justru menimbulkan antipati di masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Korupsi akan terus merajalela jika tidak diberikan hukuman yang menyebabkan efek  jera. Sementara pro- kontra akan terus bergulir ketika pemerintah tidak segera merevisi PP No. 28/2006 yang mengatur tentang pemberian remisi untuk terpidana kasus korupsi.
Sikap tegas agar tercipta rasa jera perlu diberikan pemerintah kepada koruptor, hal ini karena kasus korupsi terus meningkat. Lihat saja rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) semester I/2010, tercatat sebanyak 176 kasus. Terdiri dari 144 yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dengan kerugian negara Rp 2,1 triliun. Angka ini jauh meningkat dari indeks pada tahun sebelumnya, tahun 2009, yaitu 86 kasus, 217 tersangka dengan kerugian negara hanya Rp 1,17 triliun. Kerugian negara semester I/2010 meningkat hampir 100 persen dari tahun 2009.
Salah satu cara memberikan efek jera adalah dengan tidak memberikan remisi kepada koruptor. Sebenarnya pemberian remisi kepada koruptor sempat mendapat perhatian serius dari ICW tahun 2009. Hal ini terkait remisi yang diberikan kepada 46 koruptor yang masih menjalani masa hukuman di LP Kelas I Cipinang. ICW menolak pemberian remisi kepada tahanan korupsi dan mengimbau pemerintah untuk merevisi peraturan pemberian remisi PP No 28/2006. Tahun ini permasalahan ternyata masih sama.
Tidak Jera
Akan terjadi masalah hukum yang baru jika terus dilakukan pemberian remisi kepada para koruptor. Hal ini disebabkan kebijakan tersebut dapat memberi peluang bagi para koruptor untuk melakukan transaksi dengan menyuap para penegak hukum agar masa tahanannya dapat dikurangi. Remisi saat ini diduga telah dijadikan suatu jalan bagi penguasa untuk menyelamatkan "mesin ATM" nya yang mendekam di sel penjara.
Kenyataannya, remisi yang dikeluarkan pemerintah terhadap para koruptor bukanlah murni persoalan hukum semata. Namun telah terkooptasi oleh kepentingan politik sehingga terjadi transaksi politik, karena kepentingan parpol begitu besar dibandingkan dengan kepentingan rakyat Indonesia.
Pro dan kontra mengenai remisi bagi para koruptor, jangan hanya mempersoalkan penting atau tidaknya remisi bagi para koruptor. Akan tetapi harus dapat memberikan solusi alternatif dan berimbang. Korupsi adalah budaya yang sudah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi sangat aneh, jika pemerintah terus-menerus memberikan simpati kepada para pelaku korupsi, hanya karena mereka kolega dan teman satu partai.
Remisi atau pengurangan hukuman merupakan hak seorang napi, namun tidak selayaknya semua napi mendapatkan remisi. Korupsi telah kita sepakati sebagai musuh bersama dan sebagai kejahatan yang luar biasa jahat (extra ordinary crime), sehingga pemberian remisi kepada para koruptor justru mementahkan kesepakatan bersama tersebut. Pemberian remisi jelas tidak akan menimbulkan efek jera, kalau ini diterapkan maka program pemberantasan korupsi tidak akan sesuai target bahkan mengalami langkah kemunduran.
Oleh karena itu sistem hukum di Indonesia harus dibenahi. Aturan-aturan yang tidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi harus segera direvisi. Selama ini kita semangat memberikan dukungan kepada KPK atau penegak hukum lainnya untuk memberikan hukuman maksimal kepada para koruptor. Tapi faktanya putusan di pengadilan tak sesuai harapan, mereka hanya dihukum penjara rata-rata 3-5 tahun. Dan ironisnya ketika menjalani hukuman masih ada remisi, asimilasi, cuti dan pembebasan bersyarat yang mengurangi masa hukuman mereka.
Rendahnya moralitas aparat juga yang membuat penjara tak membawa efek jera. Telah menjadi rahasia umum, bahkan di dalam penjara, para terpidana korupsi masih bisa mendapatkan segala kemudahan. Mulai dari bisa minta izin keluar penjara dengan alasan berobat, meminta kamar khusus, pesawat televisi, permintaan adanya AC, pengawalan, bahkan (maaf) perempuan, bila memang ada dana untuk menutup hati nurani aparat. Dengan sisa-sisa kekuasaan, kolega dan uang yang masih banyak dimilikinya, para terpidana korupsi itu masih bisa menjadi raja-raja kecil sel atau blok-blok penjara. ***