Serigala Hak Angket Atas KPK
Oleh
: Fadil Abidin
Mungkin terlalu ekstrim
memberikan metafora bahwa kumpulan anggota parlemen seperti kawanan serigala.
Kawanan serigala mempunyai struktur sosial yang rumit
bak institusi masyarakat manusia. Ada status alpha, beta, gamma, sampai omega
sebagai struktur terendah dan terlemah. Sedangkan serigala soliter yang tak mau
ikut kawanan disebut rogue.
Pimpinan kawanan serigala disebut
alpha, alpha terdiri dari seekor jantan dan betina. Pasangan alpha adalah
pemegang hierarki tertinggi dalam kawanan. Merekalah yang terlebih dahulu
mencicipi hasil buruan. Saat serigala berpapasan dengan alpha, maka serigala lain
harus selalu merendahkan ekornya. Beta adalah hierarki berikutnya.
Kawanan
serigala juga memiliki rasa kesetikawanan yang sangat tinggi dengan sesama. Serigala
selalu bergerombol dalam mencari mangsa. Bila seekor serigala diganggu spesies
lainnya, maka secara solidaritas serigala lain akan ikut mengeroyok sang
penyerang.
Parlemen kita yaitu DPR juga
mempunyai institusi yang rumit. Ada pimpinan DPR, komisi, fraksi, badan, panitia,
dan sebagainya. Pimpinan DPR jika bandingkan dengan kawanan serigala bisa disebut
sebagai alpha yang kerap diperebutkan dengan pertumpahan darah. Solidaritas
mereka pun nyaris mirip kawanan serigala.
Ketika ada seekor “serigala”
yang tercokok suatu kasus, maka tak ayal “serigala-serigala” lain akan
beramai-ramai membela. Melolong,
menerkam, mencakar, menggigit, dan mencabik-cabik adalah hal yang biasa bagi
para serigala dalam mencari mangsa atau sekadar membela kawanannya. Apapun yang
mereka perbuat selalu dilakukan secara berjamaah.
Sangat sulit mencari individu
serigala yang berani hidup menyendiri dan tak ikut-ikutan perilaku kawanan.
Serigala ini kemudian akan distigmatisasi sebagai ‘rogue’ yang berarti
‘bajingan atau bangsat’. Bahkan yang benar sekalipun akan dinista seperti itu.
Hak Angket
Sekali lagi, mungkin terlalu
ekstrim memberikan metafora bahwa kumpulan anggota parlemen seperti kaw anan serigala. Sebagai kawanan, DPR
saat ini tengah menjadi sorotan karena ulah sang ‘alpha’ dan segelintir ‘beta’
yang disebut-sebut terlibat dalam skandal mega korupsi proyek KTP elektronik
(e-KTP).
Lolongan pun mulai terdengar.
Mereka seakan tidak diterima ketika sang alpha dicekal dan kawan mereka
dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK pun dianggap
sebagai musuh bersama yang harus beramai-ramai dikeroyok dan dicabik-cabik.
Jika dalam hukum rimba yang dipakai adalah taring dan cakar, maka dalam
konstelasi hukum dan politik ketatanegaraan digunakan instrumen yang bernama
hak angket.
Lewat ketok palu Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah,
paripurna DPR akhirnya menyetujui hak angket terhadap KPK. Beragam alasan yang tampaknya tak perlu
dipersoalkan, jadi dasar usulan hak angket dari Komisi III DPR. Berawal dari
alasan penolakan KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani, tersangka
korupsi kasus e-KTP. Hak angket juga diajukan karena ingin menyelidiki kinerja
KPK, urusan anggaran belanja, pencekalan Ketua DPR, hingga dugaan
ketidakcermatan dan ketidakhati-hatian dalam penyampaian keterangan dalam
proses hukum maupun komunikasi publik. Termasuk dugaan pembocoran informasi ke
media tertentu sehingga beredar nama yang kebenarannya belum dikonfirmasikan kepada
yang bersangkutan.
Banyak kalangan kemudian berpendapat bahwa hak angket yang
digulirkan oleh DPR atas KPK dinilai lebih merupakan manuver untuk menekan KPK
soal kasus korupsi e-KTP dan dikhawatirkan akan mengganggu pengungkapan kasus
tersebut. Ini sudah menjadi
modus, ketika KPK tengah mengungkap kasus besar yang melibatkan politisi, baik
di DPR maupun di parpol-parpol eksekutif-legislatif, biasanya ada serangan
balik seperti ini.
Hal ini mengindikasikan KPK begitu berbahaya bagi banyak orang yang
bermasalah sehingga kalau dia sudah mulai mengungkap kasus-kasus yang sifatnya
politis, biasanya ada serangan balik. Dan celakanya, KPK sering “kalah”.
Modusnya, jika mereka tak mampu melemahkan KPK secara institusi, karena tidak
akan populer di mata masyarakat. Maka mereka akan melemahkan KPK secara
personal, komisioner maupun personil KPK kemudian akan tersandung masalah.
Itulah yang terjadi dengan Antasari Azhar, Bibit Samad Rianto, Chandra Hamzah, Bambang
Widjojanto, Abraham Samad, dan terakhir penyidik KPK Novel Baswedan yang
dilukai secara fisik.
Usulan atas hak angket terhadap KPK bermula ketika dalam rapat kerja
Komisi III dengan KPK, yang menolak permintaan untuk memutar rekaman BAP
tersangka pemberi keterangan palsu e-KTP, Miryam S. Haryani. Miryam mengatakan
dia mencabut BAP karena ada tekanan dari DPR dan menyebut enam anggota Komisi
III menekannya saat dia bersaksi di sidang kasus korupsi e-KTP.
Penggunaan hak angket dalam upaya mencari kebenaran atas pernyataan
tersebut sebagai langkah yang tidak tepat. Prosesnya sudah memasuki ranah hukum
bahkan sudah masuk ke proses pengadilan. Hal ini justru bisa mengganggu proses
penyidikan. Bayangkan saja BAP atau rekaman, keluar duluan (dibanding di
pengadilan). Maka tersangka bisa kabur, atau saksi yang bisa jadi tersangka
kabur, orang yang akan menjadi tersangka bisa mengancam saksi bahkan membunuh
untuk menghilangkan bukti. Ini bisa mengakibatkan kekacauan dalam proses hukum.
Gerombolan Serigala
Pengamat Hukum Tata Negara, Refli
Harun, menyatakan keheranannya atas sikap para anggota DPR yang menggulirkan
hak angket atas KPK. Seharusnya, hak angket ditujukan kepada pemerintah, bukan
lembaga penegak hukum seperti KPK. Menurut Pasal 79 ayat 3 UU No. 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPD, DPR, dan DPRD, hak angket merupakan langkah penyelidikan
terhadap kebijakan pemerintah yang berdampak luas terhadap masyarakat. Hak
angket ini terkesan dipaksakan untuk melindungi anggota Dewan yang disebut
terlibat kasus e-kTP (Liputan6.com, 28/04/20170).
Sebagai wakil rakyat, DPR
seharusnya turut mengawal dan mendukung proses hukum kasus yang merugikan
negara sebesar Rp 2,3 triliun ini. Bila ada anggota Dewan yang keberatan dalam
kasus itu secara personal, lebih baik melakukan upaya hukum ketimbang mengajak
kawan-kawannya menggulirkan hak angket.
Tapi yang dipertontonkan anggota dewan yang terhormat adalah perasaan
yang begitu sangat marah ketika ada kawannya diusik. Secara kasat mata, hak
angket kepada KPK hanya bertujuan untuk
membela rekan sejawat yang tersangkut kasus korupsi e-KTP.
Seperti gerombolan serigala yang mengamuk ketika kawannya diusik atau
ditangkap. Apalagi jika hal tersebut mengancam keselamatan pimpinan ‘sang
alpha’, maka wajib bagi seluruh anggota kawanan untuk membela dan bertarung.
Solidaritas mereka seperti semboyan The Three Musketeer, “satu untuk semua dan
semua untuk satu”. Solidaritas ini tertanam secara genetik karena mereka selalu
melakukan apa saja secara bersama dan berjamaah.
Bagi mereka KPK adalah musuh bersama. Mereka akan menekan KPK supaya
rekan-rekannya tidak diproses. Karena yang terkait kasus itu adalah orang-orang
penting DPR. DPR berlindung di balik topeng kemunafikan atas nama rakyat.
Padahal yang dibela adalah kepentingan pribadi, kolega, dan partainya. DPR tidak
berani secara terbuka menerangkan argumen dan motivasinya mengenai pengajuan
hak angket.
Jika hanya terkait pemeriksaan seorang Miryam S. Haryani, ditambah
embel-embel masalah lainnya yang dibuat-buat, pengguliran hak angket menjadi
tanda tanya besar. Hak angket seharusnya diajukan kepada pemerintah untuk
membela hajat hidup orang banyak.
Patut kita khawatir jika KPK kalah dan menyerah dalam pergulatan. Hak
angket ini hanya akan berujung pada permainan dan transaksi politik yang tentu
akan menghambat proses penegakan hukum dan merugikan rakyat.
Hak angket telah disetujui, ini akan menjadi ujian komitmen bagi KPK agar
terus mengusut kasus mega-korupsi yang diduga melibatkan banyak anggota DPR.
Hak angket ini lebih dahsyat ketimbang ‘cicak versus buaya’. Ini pertarungan
‘kancil vs serigala’.
Di alam liar, buaya pun enggan berurusan dengan serigala. Gerombolan
serigala adalah kawanan yang sulit ditaklukan karena solidaritas mereka yang
sangat kuat. Satu diusik maka semuanya akan ikut menyerang. Bahkan ketika sang
alpha binasa, maka struktur yang ada di bawahnya yaitu para serigala beta, siap
menggantikannya. Mampukah KPK menghadapi keganasan hak angket ini? Semoga KPK
seperti kancil, hewan cerdik dalam legenda.***