Simalakama
Siaran Langsung Persidangan Kasus Ahok
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian Analisa Medan, 16
Desember 2016
Simalakama
dapat diartikan suatu situasi kondisi yang serba salah, mau ke kiri salah, ke
kanan salah, maju salah, mundur salah, diam salah, bergerak pun salah. Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok memang selalu menjadi magnet berita, mulai dari
prestasi, kontroversi, pujian, caci maki, hingga berhasil “menggerakkan” jutaan
orang melakukan demo untuk menghujat dirinya.
Bersalahkah
Ahok dalam kasus penistaan agama? Menurut fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia),
Ahok dinyatakan telah melakukan penistaan terhadap agama Islam terkait secuil
perkataannya, “jangan mau dibohongi pake... bla..bla, dst.” Secara fatwa,
Ahok distigmatisasi telah bersalah sebagai penista agama.
Dalam dunia
pendidikan pada pelajaran Sejarah, soal ujian semester untuk SMP di Jawa Tengah
ada pertanyaan,”Siapa nama
calon gubernur Jakarta yang melecehkan Alquran saat ini? Nama Ahok ada dalam
pilihan jawaban. Ahok ternyata telah menjadi tokoh sejarah dan namanya tercatat
sebagai penista agama yang patut diketahui anak-anak sekolah.
Tapi secara
hukum positif yang berlaku di negara ini, Ahok belum dianggap bersalah. Hukum
di NKRI ini memakai azas universal yang berlaku di hampir seluruh negara di
muka bumi, yaitu azas praduga tak bersalah. Praduga tak bersalah adalah asas di mana seseorang dianggap
tidak bersalah hingga putusan
pengadilan menyatakan bersalah.
Kemarin hingga sekarang, Ahok belum
bersalah, dan untuk menyatakan bersalah atau tidak bersalah maka harus
dilaksanakan suatu proses pengadilan. Nah, dalam proses pengadilan inilah ada
pendapat pro-kontra soal perlukah persidangan kasus penistaan agama ini disiarkan
secara langsung?
Perlu diketahui, di
Amerika Serikat, negara yang paling bebas dan liberal sekalipun, sidang
pengadilan tidak pernah disiarkan secara langsung (live) oleh televisi. Jangankan siaran langsung, mengambil gambar
atau memfoto suasana persidangan pun dilarang. Para wartawan atau pengunjung yang
ikut menyaksikan dalam ruang sidang, tidak diperkenankan membawa kamera dan
alat perekam dalam bentuk apa pun. Sehingga untuk menggambarkan suasana
persidangan, mereka biasanya membuat sketsa hasil karya tangan mereka sendiri.
Dalam sistem hukum di Amerika, hakim
adalah wakil dari personifikasi Tuhan, jaksa mewakili negara/pemerintah, para
juri mewakili rakyat, dan pengacara mewakili tersangka. Para pengunjung di
ruang sidang harus tertib, jika berbuat keributan akan diusir paksa bahkan bisa
ditahan terkena pasal contemp of court.
Serba tertutupnya ruang sidang di
Amerika sebenarnya untuk menjaga kesakralan, ketenangan, konsentrasi, objektivitas,
dan juga perlindungan bagi hakim, jaksa, juri, tersangka, atau saksi-saksi dari
opini publik atau pers yang bisa saja mengarah kepada trial by the press.
Terbuka dan Langsung
Sementara sistem di
Indonesia semuanya serba bebas dan melebihi negara paling liberal sekalipun.
Ketika sidang pertama (13/12/2016), begitu Ahok masuk ruangan sidang, puluhan
kamera dari smartphone pengunjung sidang merekam secara bebas. Sidang terbuka
untuk umum dan disiarkan secara langsung oleh televisi. Ini hanya terjadi di
Indoensia.
Siaran langsung sebuah
persidangan sebenarnya mempunyai banyak risiko dan kerugian bagi sistem
peradilan. Kerahasiaan, harga diri, objektivitas, bahkan keselamatan diri para
saksi bisa menjadi taruhannya.
Sebagai contoh, seorang
saksi bisa menjadi sasaran kebencian setelah sidang karena telah dianggap
memihak tersangka misalnya. Ia akan di-bully
di media sosial, diteror di kehidupan nyata. Ada semacam proses
stigmatisasi atau tuduhan bahwa saksi tersebut sebagai saksi bayaran, atau
dianggap telah “murtad” karena telah memihak “orang kafir”, dan sebutan lain sebagainya.
Akibatnya, pada
sidang-sidang berikutnya para saksi yang lain pun menjadi takut untuk bersaksi
atau dimintai keterangan secara objektif karena takut akan ancaman-ancaman
tersebut. Saksi-saksi ahli juga
dikhawatirkan akan mengalami hal yang sama. Seharusnya mereka bisa memaparkan
kesaksiannya secara objektif, lugas, dan berani sesuai dengan keahliannya. Tapi
karena desakan dari massa yang begitu massif atau ada ancaman yang tidak kentara
ini, bisa membuat nyali ciut.
Siaran langsung dalam
persidangan justru lebih banyak dampak negatifnya, terutama kepada saksi-saksi.
Baik saksi biasa, saksi ahli, maupun saksi yang meringankan atau yang
memberatkan. Harga diri dan keselamatan jiwa mereka menjadi taruhannya.
Apalagi setelah sidang,
biasanya ada acara “sidang lanjutan” melalui talkshow di sebuah stasiun tv,
yang “mengadili” para saksi, jaksa, atau pengacara. Kemudian mereka berkomentar
secara nyinyir soal ini dan itu, kemudian berkomentar soal saksi, jaksa,
pengacara, bahkan hakim. Pokoknya mereka merasa benar sendiri.
Jika stasiun tv itu tidak
netral atau tidak berimbang, maka habislah dikritik tajam sepuas-puasnya para
pihak yang tidak “pro” kepada media tersebut. Masyarakat kemudian justru ikut
terpengaruh dan beropini yang sama, lalu timbul kesimpulan,”pengadilan tidak
berjalan adil, keputusan tidak sah dan harus dilawan!” Bahkan ada ancaman
menggerakan revolusi jika Ahok dinyatakan tidak bersalah.
Tapi ada juga
simalakamanya, jika tidak disiarkan secara langsung, pasti banyak tuduhan bahwa
proses pengadilan tidak berjalan secara adil, tidak fair, dan sebagainya.
Selalu saja timbul kecurigaan terhadap institusi negara dan lembaga peradilan.
Apalagi ada semacam penggiringan opini publik bahwa pemerintah dalam hal ini
Presiden Jokowi dituduh selalu melindungi Ahok. Ide siaran
langsung dilatari sebagai jawaban atas kesangsian bahwa persidangan ini bisa
berjalan adil seperti yang dikhawatirkan para pihak pelapor.
Kepentingan Lebih
Besar
AJI (Aliansi Jurnalis
Indonesia) dalam rilisnya (12/12/2016) sebenarnya telah meminta kepada media
untuk bijak dalam menyiarkan sidang kasus bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan
antar-golongan) mengingat dampak kasus ini sangat besar. Media memang memiliki
kewajiban menyiarkan berita untuk memenuhi kebutuhan informasi publik.
Menyiarkan proses persidangan juga merupakan bagian dari kebebasan pers. Namun,
pers juga memiliki tanggung jawab lain, yakni menjaga kepentingan yang lebih
besar.
Media seharusnya tidak mengejar rating
atau jumlah penonton, kepentingan bisnis, atau untuk memenuhi keinginan kepentingan
politik yang berperkara. Media juga perlu mempertimbangkan efek yang akan
muncul akibat pemberitaan. Penting bagi media untuk mempertimbangkan dampak
positif atau negatifnya.
Kasus Ahok ini tergolong sensitif dan
bisa membahayakan kebhinekaan bangsa jika tidak dikelola dengan tepat. Peran
media cukup besar dalam soal ini dan siaran media yang proporsional dan sesuai kode
etik jurnalistik diyakini akan mampu memenuhi kebutuhan publik akan informasi
atas kasus itu tanpa mengorbankan kebhinekaan bangsa ini.
Media seharusnya bisa berkaca pada
siaran live sidang kasus Jessica
Kemala Wongso, yang diadili karena diduga menjadi pembunuh Mirna Salihin dengan
racun sianida. Siaran dalam kasus itu tak semata berisi siaran jalannya sidang,
tapi juga ditambahi dengan pandangan atau komentar dari pengamat dan pihak
luar. Bahkan acara talkshow di tv melebihi kehebohan di ruang sidang yang
sebenarnya.
Hal itu secara tidak langsung membuat
adanya “persidangan” di luar pengadilan yang berpengaruh sangat besar ke
publik. Pemberitaan soal itu bahkan membuat media dinilai berat sebelah dan
malah ada yang menudingnya sebagai trial by the press.
Sementara Dewam Pers dan KPI dalam
rilisnya (10/12/2016) lalu, menganggap siaran langsung itu berisiko mengganggu
independensi persidangan, sehingga mereka menghimbau siaran langsung itu tidak
dilakukan. Siaran langsung atas
persidangan berpotensi membuat kegaduhan di masyarakat. Hal itu juga akan
membuat para saksi tidak nyaman, merasa terganggu atau terintimidasi ketika
memberikan keterangan.
Solusinya, kita mendukung sidang digelar
terbuka untuk umum agar bisa diliput awak media untuk disampaikan kepada
masyarakat. Namun tidak semua sesi persidangan harus disiarkan secara langsung.
Bisa saja menyiarkan secara langsung ketika pembacaan dakwaan dan vonis.
Sementara untuk pemeriksaan para saksi diharapkan tidak disiarkan secara
langsung.
Semua pihak harus mendorong, agar tak
ada intervensi terhadap kebebasan dan kemerdekaan hakim dalam mengambil
keputusan. Wewenang untuk membuka atau tidak membuka berada pada ketua majelis
hakim. Harus diakui, lembaga pengadilan saat ini mengalami desakralisasi karena
semua bersifat terbuka.
Kebebasan pers memang sudah tidak dapat
dibendung. Namun, dunia pers mempunyai tanggung jawab melindungi publik dari
informasi yang tidak benar. Hampir semua sektor kehilangan otoritas termasuk
pengadilan. Fenomena media distrust
sudah sangat tinggi, akibat pemberitaan yang tidak seimbang dan berpihak. ***