Validitas Survei di Tengah Abnormalitas

Validitas Survei di Tengah Abnormalitas
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di kolom OPINI Harian Analisa Medan, 22 Februari 2017

            Sebuah survei bisa jadi menjadi benar atau valid, dan bisa saja menyimpang. Dalam survei politik, tensi politik yang tinggi bisa mengakibatkan validitas survei patut dipertanyakan.

            Kisruh perbedaan hasil survei pada Pilpres 2014 lalu seharusnya memberi pembelajaran bagi seluruh lembaga survei. Lembaga survei harus lebih bekerja keras lagi untuk menyuguhkan hasil survei yang valid.
Pilkada DKI Jakarta merupakan salah satu contoh pilkada dengan tensi politik yang sangat tinggi sehingga menyebabkan anomali bahkan abnormalitas di kehidupan sosial-politik masyarakat. Selain munculnya perang program serta isu yang dilemparkan antar calon pada saat kampanye, lembaga survei juga turut memanaskan situasi yang ada.
Lembaga survei saling menggiring opini publik kepada salah satu calon, sehingga calon tertentu terlihat lebih unggul dari calon lainnya. Kendati demikian, hasil survei tidaklah bisa menjadi referensi mutlak bagi kemenangan salah satu calon.
            Kesalahan suatu lembaga survei dalam memprediksi kemenangan bukan berarti lembaga survei tersebut sengaja berbohong atau memanipulasi hasil survei. Ada banyak faktor yang memungkinkan lembaga survei gagal memprediksi kemenangan pemilihan.
            Hasil survei bisa menjadi bias, keliru, salah, menyimpang, tidak akurat, bahkan tidak valid jika ada ketegangan politik yang sangat tinggi, tingginya swing voters atau undecided voters (pemilih yang belum menentukan pilihan). Munculnya kandidat yang kontroversial, tidak adanya calon atau isu yang menonjol, terjadinya perubahan yang drastis dalam ekonomi dan politik, serta kondisi psikologis masyarakat yang cenderung “berbohong” atau menyembunyikan pilihan, tidak mau mengungkapkan pilihan, serta alasan lainnya. 
Responden
            Secanggih apapun metode, sebanyak apapun data, dan sebanyak apapun responden atau orang yang disurvei, yang menentukan adalah tingkat kejujuran dari responden. Saat ini sedang tren “kebohongan” responden terhadap survei. Ketika disurvei pilihannya A, tapi ketika di bilik suara, pilihan sebenarnya adalah B.
            Referendum Britain Exit (Brexit) yaitu referendum untuk menentukan Inggris tetap bertahan atau keluar dari Uni Eropa adalah bukti responden bisa saja berbohong terhadap survei. Nyaris semua lembaga survei di Inggris menunjukkan suara anti-Brexit agar Inggris tetap bertahan di Uni Eropa lebih unggul ketimbang suara pro-Brexit. Tapi hasil referendum 23 Juni 2016 lalu membuktikan bahwa survei-survei tersebut tidaklah benar. Pro-Brexit justru memenangkan suara 52 persen.
            Mengapa hasil survei berbeda dengan hasil referendum? Ternyata orang-orang yang disurvei “berbohong”, atau tidak menunjukkan pilihan yang sebenarnya. Hal ini diakibatkan jika memilih pro-Brexit dianggap tidak populer, dianggap rasis, anti-imigran, anti-globalisasi, dan tuduhan macam-macam lainnya. Akibatnya ketika disurvei mereka berbohong.   
            Pilpres Amerika Serikat Nopember 2016 lalu juga bernasib sama. Mayoritas lembaga survei di Amerika yang sudah punya nama, kredibel, dan selalu tepat dalam hasil survei, juga terkecoh oleh para respondennya. Mayoritas lembaga survei di Amerika menyatakan capres Donald Trump akan kalah telak melawan Hillary Clinton.
            Tapi apa yang terjadi? Donald Trump menjungkalkan semua hasil lembaga survei tersebut. Donald Trump memenangi pilpres Amerika. Bagaimana lembaga-lembaga survei di Amerika yang besar, sebagai pelopor lembaga survei di dunia, terpercaya, kredibel, dan didukung dana yang besar bisa melakukan kekeliruan yang sangat memalukan?
            Dalam kasus kemenangan Trump, banyak responden yang “berbohong”. Di survei mereka memilih Hillary, tapi ketika di bilik suara memilih Trump. Para responden memilih berbohong terhadap dukungannya akibat takut dituduh sebagai pendukung calon presiden yang rasis, anti-imigran, anti-Islam, kasar, dan beberapa tuduhan miring lainnya.
Hasil Survei
Kasus Brexit dan pilpres Amerika sebenarnya bisa menjadi pelajaran bagi lembaga-lembaga survei agar lebih cermat mengamati fenomena deviasi survei ini. Kasus dugaan penistaan agama yang menjerat petahana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memang telah membuat elektabilitasnya menurun drastis. Tetapi jika berkaca pada kasus Trump, kasus penistaan agama tersebut membuat para pemilih Ahok menjadi “pemilih diam” atau silent voters yang enggan mengungkapkan dukungannya.
Hal ini disebabkan para pemilih tersebut takut akan dicap sebagai pendukung calon yang menjadi tersangka atau pun orang yang dianggap telah menistakan agama. Pemilih muslim takut distigmatisasi sebagai “murtad” karena memilih orang “kafir”, dan tuduhan macam-macam lainnya. Akibatnya mereka berbohong terhadap survei.
Kegaduhan politik, tensi sosial, sentimen suku, agama, ras, dan antar golongan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hasil survei. Elektabilitas para kandidat calon gubernur DKI Jakarta bisa dipengaruhi hal-hal tersebut.
Apapun hasil survei, janganlah sampai dianggap benar secara mutlak. Sebab, lembaga survei memang berupaya untuk menampilkan realita yang ada. Tetapi akibat dipengaruhi oleh beberapa faktor, hasil survei bisa berbeda dari realita. Hasil survei yang ditampilkan ke publik adalah fenomena sesaat yang sedang tren terjadi di tengah masyarakat.
Kekeliruan lainnya lembaga survei adalah kerap melakukan survei tanpa memperhatikan waktu, sistuasi, dan kondisi psikologis responden. Akurasi dan validitas hasil survei patut dipertanyakan ketika kondisi masyarakat tengah berada dalam situasi abnormal. Abnormalitas ini terjadi ketika masyarakat tengah terancam, terpecah, terfragmentasi, dan tengah bingung di situasi sosial politik yang tengah terjadi.

Dalam situasi “abnormal” seperti Pilkada DKI, maka rilis data dari lembaga survei sebenarnya cenderung tidak valid walaupun mereka mengklaim margin error survei tersebut sangat kecil. Kejutan akan tetap terjadi. ***