Uang
Baru dan Redenominasi Rupiah
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian Analisa Medan, 27
Desember 2016
Presiden Joko
Widodo (Jokowi) resmi meluncurkan uang rupiah baru dengan
tahun emisi 2016 di Gedung Bank Indonesia. Presiden meminta kepada masyarakat
untuk lebih meningkatkan kecintaannya terhadap rupiah, dengan mencintai rupiah
maka menjadi wujud kecintaan masyarakat terhadap kedaulatan dan kemandirian
bangsa.
"Dan saya rasa penting, kalau kita
cinta rupiah, kita tidak menyebar gosip aneh-aneh dan kabar bohong tentang
rupiah. Karena menghina rupiah sama saja menghina Indoensia. Rupiah tidak akan
digantikan dan tidak akan tergantikan," kata Jokowi di Gedung Bank
Indonesia (19/12/2016).
Peluncuran uang baru ini sebenarnya telah
didahului dengan penandatangan oleh Presiden Jokowi pada 5 September 2016 lalu
lewat Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 31 Tahun 2016 mengenai penetapan
gambar pahlawan yang dicantumkan dalam mata uang rupiah yang baru.
Alasan mengapa uang rupiah baru ini dicetak dengan
menampilkan gambar pahlawan dari beberapa daerah, pemandangan beberapa wilayah
Indonesia, dan tari-tarian adat, yaitu sebagai bentuk karakterisitik sebuah
bangsa. Jika kita melihat, uang baru ini merepresentasikan NKRI, di sana ada
pahlawan dari Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Papua, NTT dan lainnya,
yang berlainan suku dan agama.
Uang rupiah kertas yang diterbitkan terdiri
dari nilai nominal Rp 100 ribu, Rp 50 ribu, Rp 20 ribu, Rp 10 ribu, Rp 5.000,
Rp 2.000, dan Rp 1.000. Sedang uang rupiah logam terdiri atas pecahan Rp 1.000,
Rp 500, Rp 200, dan Rp 100. Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan,
pengeluaran uang baru ini merupakan pertama kali dalam sejarah bagi Indonesia.
Lantaran baru kali ini BI mengeluarkan pecahan baru secara serentak, dan baru
pertama kali ini pula uang logam dicetak menampilkan wajah pahlawan nasional.
Nilai Rupiah
Pada awalnya penulis, mungin juga banyak
kalangan menduga, uang baru ini merupakan uang redenominasi rupiah yang telah
diwacanakan sejak tahun 2012 lalu, tapi ternyata tidak. Lalu kapan redenominasi
akan dilakukan?
Redenominasi adalah penyederhanaan jumlah
digit pada denominasi atau pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga
atau nilai tukar rupiah terhadap barang atau jasa. Wacananya adalah mengurangi
tiga nol di belakang uang rupiah. Contohnya, uang nominal Rp 50.000. Setelah
redenominasi menjadi Rp 50, tanpa mengurani nilai uang terhadap barang atau
jasa.
Sejumlah kalangan perbankan berpendapat, kebijakan
redenominasi atau penyederhanaan nilai nominal rupiah dinilai lebih baik
daripada mencetak uang baru. Kebijakan ini penting untuk meningkatkan
kepercayaan terhadap mata uang rupiah. Penyesuaian nilai (value) mata uang rupiah
itu lebih penting daripada sekadar mengganti motif atau gambar supaya rupiah
tidak dianggap terlalu murah oleh negara lain.
Jika dihitung terhadap dolar Amerika Serikat
(AS), hanya rupiah yang memiliki banyak angka nol di belakang. Itu sangat tidak
efisien. Kesannya mata uang kita murah sekali atau tidak punya nilai di pasar
internasional. Angka nominalnya sangat besar, tapi nilainya sangat rendah.
Sebagai contoh, sekarang ini 1 dolar setara dengan Rp 13.200. Jika kita
mempunyai uang 100.000 (dolar), kita bisa membangun rumah mewah. Tapi jika kita
punya uang 100.000 (rupiah), kita hanya bisa membeli satu keping seng
saja.
Banyaknya angka nol di uang rupiah
sebenarnya telah banyak dikeluhkan oleh para bankir dan pelaku dunia usaha,
terutama yang melakukan ekspor dan impor. Akuntansi atau pembukuan dengan
banyak nol ini juga dianggap tidak efisien. Dalam keseharian kita pun nilai
ribuan (000) juga dianggap sudah kecil. Harga Rp 50.000 misalnya, ditulis Rp 50
ribu, Rp 50 rb, atau 50k (kilo=ribu). Di pasar-pasar kota Medan, biasanya hanya
dibilang limpul (lima puluh).
Redenominasi Rupiah
Jika disosialisasikan secara benar, massif,
dan berulang kepada masyarakat sebenarnya redenominasi tidaklah terlalu
menakutkan. Jika dahulu rencana ini ditunda karena adanya gejolak ekonomi
global dan krisis ekonomi Asia, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan
kepanikan. Kondisi ekonomi sekarang lebih relatif stabil sehingga wacana
redenominasi patut dilanjutkan kembali.
Dengan redenominasi, diperkirakan
volatilitas kurs rupiah tidak akan separah sekarang. Gejolak kurs rupiah
terhadap dolar terkadang dipengaruhi efek psikologis. Penurunan rupiah sebesar
Rp 25 saja, oleh orang asing dianggap sebagai nilai yang besar, sehingga mereka
tidak percaya pada rupiah dan enggan menyimpan lama-lama. Padahal Rp 25 itu
tidak ada nilainya, beli permen saja tidak cukup.
Inilah pentingnya redenominasi. Bank Indonesia
dan pemerintah masih berencana melanjutkan redenominasi rupiah, tapi sampai ini
belum ada rencana konkritnya. Apa kabar redenominasi rupiah?
Rancangan Undang-undang (RUU) redenominasi
rupiah sebenarnya telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017.
Tapi hingga kini, belum terdengar rencana selanjutnya. Bahkan pembahasan RUU ini
terancam molor hingga 2020. DPR tengah disibukkan dan lebih fokus dengan RUU
Ketentuan Umum Perpajakan, dan seabrek RUU Politik, seperti RUU Pemilu, RUU
MD3, hingga RUU Pilpres.
Pembenahan rupiah sebagai mata uang nasional
ternyata belum dianggap penting dan mendesak oleh DPR, sehingga wacana redenominasi
pun tidak perlu dibicarakan dalam waktu dekat ini. Jargon rupiah sebagai wujud kebanggaan,
kemandirian dan kedaulatan negara pun ternyata hanya slogan belaka.
Padahal, jika RUU Redenominasi Rupiah
dibahas dan kemudian disahkan pun, belum tentu bisa langsung diterapkan. Apabila
UU ini telah disahkan, biasanya terdapat masa transisi selama 5 tahun. Waktu 5
tahun ini akan dilakukan sosialisasi, pengenalan mata uang baru dan
konversinya. Bahkan untuk menarik secara keseluruhan mata uang lama dan
menggantikannya dengan mata uang redenominasi perlu waktu 5-10 tahun. Sehingga,
jika RUU ini baru dibahas tahun 2020, kapan pula sosialisasi dan penerapannya?
Nominal Besar
Dolar Amerika dan Ringgit Malaysia, nilai
nominal terbesar untuk uang kertasnya 100. Saat ini, rupiah adalah mata uang
dengan nilai terendah di dunia tapi dengan angka nominal terbanyak. Saat ini
hanya 5 negara yang masih menggunakan nominal di atas 6 digit untuk mata uang
terbesarnya. Uang kertas Indonesia yang terbesar adalah Rp 100.000, sedangkan
mata Zimbabwe yang paling besar hingga 1 triliun di mata uang kertasnya.
Iran uang kertas nominal terbesarnya adalah
100.000 IRR, Vietnam memiliki mata uang Vietnam Dong (VND), uang kertas dengan
nominal terbesar 500.000 VND. Sao Tome, Nama negara ini memang tidak begitu
popular di telinga kita. Lokasinya di Afrika dan di sebelah utara negara Gabon.
Mata uang Sao Tome adalah Dobra (STD), mempunyai nilai nominal tertinggi
100.000 STD. Jadi, Indonesia nomor 3 dalam daftar negara dengan mata uang
terendah tapi punya nominal terbanyak di uang kertasnya saat ini di dunia.
Sebenarnya kita harus “malu” dengan kondisi
ini. Kebijakan
redenominasi sesungguhnya dapat meningkatkan martabat bangsa dengan meringkas
digit uang tanpa mengurangi nilai mata uang. Di dunia internasional pun, uang
kita pun dianggap “aneh” dan diduga sebagai negara yang “bermasalah” karena
terlalu banyak angka nol-nya.
Padahal di era digital yang serba cepat ini,
diperlukan pemikiran dan tindakan yang cepat pula. Pemerintah harus belajar
dari negara-negara yang telah melaksanakan redenominasi mata uangnya, dan
mayoritas berhasil menstabilkan ekonomi dan mata uangnya.
Di
negara-negara konflik dan mengalami hiperinflasi, redenominasi memang gagal.
Tapi negara kita tidak mengalami hiperinflasi, tidak mengalami konflik (baik
politik atau bersenjata), fundamental ekonomi cukup kuat, perbankan sehat,
kegiatan dunia usaha berjalan, dan indikator baik lainnya.
Jadi mengapa
harus ditunda? Redenominasi yang akan dilakukan Indonesia tidak dikarenakan
hiperinflasi atau faktor-faktor buruk lainnya, namun semata-mata untuk
menyederhanakan penyebutan saja. ***