Antara Aku, Repetan Emak dan Komputer


Antara Aku, Repetan Emak dan Komputer
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 6 September 2009
“Setiap hari kau pelototi layar komputer itu,siang malam tiada hentinya. Untuk apa? Apa matamu tidak capek. Kamu kira komputer itu dapat kau makan? Kau katakan kau bisa mencari uang dengan konputermu? Mana! Yang  Emak lihat masih nasi yang Emak tanak juga yang kau makan!"

Begitulah Emak merepet setiap melihat aku memencet-mencet keyboard komputer. Aku tidak marah, tidak sekali pun. Meski terkadang Emak merepet juga ketika aku sedang menghadap piring nasi. Padahal Ayah pernah melarang, jangan memarahi anak ketika dia sedang makan. Tapi Emak tetap melakukannya padaku. Bahkan pernah lebih pedas lagi kepadaku. Emak pernah mengancam akan mengusirku jika masih saja menulis dari pada mencari kerja.
"Lebih baik kau cari kerja dan menabung agar kau bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Di namamu harus ada titel  agar kau gampang cari kerja dan bisa jadi PNS, hidupmu pasti terjamin di hari tua. Daripada terus-menerus memencet tombol komputer dan membuat tagihan listrik naik, lebih baik kau tulis surat lamaran kerja. Kalau kau masih juga menulis yang tiada gunanya,lebih baik kau pergi saja dari rumah ini karena kau tidak lagi mendengar kata-kata Emak, untuk apa kau kuberi makan!"
"Emak, kelak jika aku jadi penulis besar, aku akan dapat uang banyak…" kilahku.
 "Kelak! Kelak! Kelak! Kapan!? Sampai kelak kau menyusul ayahmu ke liang kubur?! Terus kau akan membungkus jenazahmu sendiri dengan karya tulismu sebagai kain kafan?! Apa itu yang kau harapkan dari tulisanmu?!"
“Emak,aku memang tidak bisa berjanji, tapi aku akan berusaha. Dan aku percaya kelak akan berhasil."
"Berhasil?" Suara Emak mengejekku.
"Iya, Emak."
"Hei, kau bermimpi menjadi penulis. Orang sepertimu mau jadi penulis? Sekolah saja kau cuma tamatan SMA,” Emak menyindirku. "Tunggu saja sampai tumbuh tanduk di kepala kucing betina. Kau kira ada yang membaca tulisan jelekmu itu?! Pantas saja sudah beribu koran yang terbit, semua tertera namamu."
"Emak, jangan mengejeklah. Aku memang selalu mengirimkan tulisanku ke media massa, tak perduli mereka memuatnya atau tidak. Tetapi aku yakin mereka pasti membacanya, hanya saja mungkin belum layak muat atau menunggu giliran untuk dimuat. Bagiku,mereka sudah membaca tulisanku, itu sudah cukup.”
“Dan ketika aku dapat menulis sesuatu, aku puas. Karena hanya dengan menulis kita dapat merekam apa yang telah terjadi. Andaikan hari ini aku menulis tentang Emak ketika merepet, kelak jika Emak tak merepet lagi, aku pasti sangat merindukannya. Jika aku menulis bagaimana Emak merepeti aku, muka Emak, kata-kata Emak, tangan Emak, langkah kaki Emak, mata Emak, bibir Emak, suara Emak semuanya tentang Emak ketika merepet, maka akan ada yang aku ingat. Jika aku rindu dengan Emak, maka aku tinggal melihat tulisanku tentang Emak yang sedang merepet. Bukankah menulis itu sesuatu yang mengasyikkan, Emak?"
"Tak usah kau mengajari Emakmu."
"Aku tidak mengajari Emak. Aku hanya katakan yang sebenarnya. Nah, coba Emak ingat nggak, tentang kenangan Emak bersama Ayah semasa pacaran dulu. Sukar 'kan? Coba kalau dulu Emak atau Ayah menulis semua kenangan indah itu dalam buku harian pasti mudah mengingat kenangan yang telah berlalu. Jika Emak ingat ayah, Emak tinggal membuka buku hariannya, paling tidak rasa rindu Emak pasti berkurang," ujarku manja seraya memeluk Emak.
Saat itulah Emak diam.Kulihat mata Emak bening. Tapi Emak masih geram, karena kegemaran Emak memang merepetiku. Apalagi setelah ayah meninggal, kegemaran Emak merepet padaku semakin bertambah. Tapi aku tak membalas repetan itu, soalnya berdosa besar jika kita melawan ibu kandung kita sendiri. Surga di bawah telapak kaki ibu. Malahan aku akan berkata manja sambil menyebut-nyebut nama Ayah. Dan aku tahu, repetan Emak sebenarnya hanya karena ingin mendengar aku menyebut masa-masa dulu ketika Emak bersama Ayah. Setiap selesai aku mengungkit kenangan Emak dengan Ayah, Emak biasanya langsung diam.
Sebenarnya karya tulisku telah sering dimuat di beberapa surat kabar setahun ini. Tapi aku merahasiakannya dari Emak. Aku bermaksud mengumpulkan honorariumnya untuk kutabung. Komputer bekas yang aku punyai ini juga berasal dari honorarium tulisan. Sekarang semuanya serba elektronik, tulisan harus memakai komputer dan dikirim melaui e-mail pula. Jadi mau tidak mau,aku harus punya komputer. Aku juga harus bisa berhemat dan rajin menabung untuk melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi. Benar kata Emak, zaman sekarang kalau cuma tamatan SMA susah cari kerja.
Akibat terlalu berhemat dan sering mengaku tidak punya uang, Emak menganggap menulis itu pekerjaan yang tiada gunanya. Semua honorarium dari menulis memang kusimpan utuh, tak aku ambil sedikitpun. Aku bertekad tahun depan harus masuk kuliah dengan biaya dari hasil menulis. Persoalan makan dan uang listrik biarlah Emak yang menanggungnya. Penghasilan Emak yang cuma berjualan sayur di pasar, berapalah hasilnya. Jadi wajar saja kalau Emak terus merepet dan menganggap aku sebagai benalu karena menumpang hidup terus. Tapi biarlah Emak atau para tetangga menganggapku sebagai pengangguran setamat SMA.
Tapi sebenarnya aku memang sengaja agar Emak rajin merepet. Soalnya repetan itu bisa memacuku dalam menulis. Setiap Emak mulai merepet, aku menganggap diriku sebagai penulis pemula yang karyanya belum pernah dimuat di surat kabar. Suara repetan Emak sering memberi-ku ide untuk membuat karya tulis, cerpen atau puisi. Pernah Emak merepet soal kenaikan harga BBM yang diiringi naiknya harga sembako. Repetan Emak ternyata mampu memberi inspirasi untuk membuat artikel, cerpen bahkan puisi soal kenaikan harga BBM dan sembako. Repetan dari Emak itu memang hebat! Jadi tidak heran bila sekarang hari-hariku di antara repetan Emak dan komputer.***

Untuk Emak tercinta,Selamat Hari Ibu
Medan, Akhir 2008