Bahan Bakar Nabati dan Ancaman Terhadap Kelestarian Hutan
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 7 November 2010
Indonesia memang kaya dengan sumber daya alam flora yang bisa dimanfaatkan untuk tujuan apa saja, termasuk untuk pengembangan bahan bakar nabati. Di media massa, telvisi maupun internet, kita sering menjumpai beberapa aktivitas dan kreativitas warga masyarakat yang membuat bahan bakar nabati dari tumbuhan di sekitar mereka walaupun dengan peralatan dan teknologi yang sangat sederhana.
Singkong atau ubi kayu dengan beberapa proses dan penyulingan yang sederhana bisa dijadikan bioetanol. Bioetanol ini mirip seperti spiritus dan bensin sehingga bisa digunakan sebagai alternatif minyak tanah dan gas untuk menghidupkan kompor, dan dengan campuran tertentu bisa dijadikan bahan bakar kendaraan bermotor.
Buah jarak pagar juga bisa diolah menjadi biodiesel yang dipergunakan untuk menjalankan kendaraan bermotor. Demikian juga kelapa sawit (CPO) yang diolah menjadi biodiesel. Usaha-usaha pengolahan bahan bakar yang berasal dari nabati (tumbuhan) sebenarnya telah dilakukan warga masyarakat secara mandiri tanpa peran bimbingan dari pemerintah.
Rakyat Indonesia yang sudah terbiasa hidup susah dan sulit mencari BBM maupun gas yang harganya selalu naik, membuat kreativitas dan inovasi mereka tumbuh dengan sendirinya. Bahkan dengan alat dan teknologi yang sangat sederhana misalnya, seorang warga desa yang hanya tamatan SD bisa membuat bioetanol dari singkong. Jika dibandingkan dengan harga etanol yang ada dipasaran, produk bioetanol tersebut justru lebih ekonomis karena harga singkong sangat murah. Coba bayangkan jika hal tersebut dikembangkan secara komersial dengan teknologi yang tinggi yang selalu menekankan efisiensi, pasti produk bioetanol yang dihasilkan akan lebih murah lagi.
Bahan bakar nabati (BBN), dalam bentuk bioetanol dan biodisel, menjadi secercah harapan baru bagi pemerintah untuk meningkatkan devisa, menciptakan lapangan kerja baru serta membantu mengurangi angka kemiskinan. Pemanfaatan BBN juga diharapkan mengurangi pencemaran udara serta menciptakan kemandirian energi dengan mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak bumi. Harapan ini tentu beralasan mengingat sumberdaya alam Indonesia sangat potensial untuk pengembangan BBN.
Potensi Bencana
Permintaan pasar internasional terhadap BBN selama beberapa tahun terakhir meningkat tajam. Berdasarkan laporan yang dirilis analis pasar Emerging Market, produksi biodisel dunia meningkat dari 1000 juta liter pada tahun 2001 menjadi 3500 juta liter pada tahun 2005, artinya terjadi pertumbuhan produksi lebih dari 35 persen per tahun. Pertumbuhan ini diperkirakan akan terus berlanjut. Uni Eropa telah mencanangkan target peningkatan porsi BBN hingga 10 persen untuk sektor transportasi pada tahun 2020. Trend peningkatan kebutuhan BBN juga ditandai dengan rencana pemerintah Amerika Serikat untuk meningkatkan produksi bioetanol hingga 5 kali lipat pada tahun 2017.
Namun, program pengembangan BBN ternyata menyimpan sejumlah potensi bencana yang serius, yaitu kerusakan hutan dan kelangkaan pangan. Dua alternatif sumber biodisel yang paling prospesktif untuk Indonesia saat ini adalah minyak kelapa sawit dan jarak pagar.
Biodisel dari minyak kelapa sawit, atau yang lebih dikenal dengan CPO (crude palm oil), diperkirakan akan lebih diminati para investor. Alasannya, industri di Indonesia telah memiliki pengalaman dalam bidang ini. Minyak kelapa sawit juga dianggap lebih ekonomis. Setiap hektar kebun kelapa sawit mampu menghasilkan 5 ton minyak nabati per tahun, atau setara dengan tiga kali jumlah produksi minyak dari tanaman jarak pagar untuk luas lahan dan jangka waktu yang sama. Di sisi lain, produksi biodisel dari minyak jarak pagar membutuhkan waktu yang lebih lama untuk penyiapan teknologi serta standarisasi produk dan pengolahan sebelum bisa masuk ke pasaran.
Yang mengkhawatirkan adalah bahwa pemanfaatan CPO untuk biodisel ini akan menyebabkan kerusakan hutan akibat konversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Sejumlah aktifis lingkungan memperkirakan industri biodisel di Indonesia akan mengulangi kesalahan seperti yang telah dilakukan oleh industri pulp dan kertas selama ini dalam memberikan andil terhadap kerusakan hutan. Laporan Friend of Earth tahun 2008 menyebutkan antara tahun 1985 hingga 2000, 4 juta hektar hutan telah diubah menjadi lahan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan, sementara 16,5 juta hektar yang lain akan segera menyusul hingga 2000-2015.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa konversi hutan tropis menjadi lahan perkebunan, industri kayu dan pembangunan infrastruktur menyumbang 10-30 persen dari emisi gas rumah kaca dunia (Majalah Nature, 2005). Konversi hutan menjadi perkebunan monokultur juga mengancam keanekaragaman hayati. Dengan demikian, alih-alih menurunkan emisi karbon, program BBN dengan pembukaan hutan justru memperparah permasalahan yang telah ada.
Pangan vs Energi
Program BBN juga diperkirakan akan menyebakan naiknya harga komoditi pertanian tertentu, yang akhirnya berdampak pada meningkatnya harga produk pangan yang berbahan baku komoditi tersebut. Sebagai contoh, program etanol di Amerika Serikat diyakini sebagai penyebab meroketnya harga komoditi jagung di negara tersebut hingga dua kali lipat dalam satu tahun terakhir. Dengan demikian sangat beralasan jika pemanfaatan biodisel dari minyak kelapa sawit dan bioetanol dari tebu dikhawatirkan juga akan berpengaruh langsung terhadap harga dua bahan kebutuhan pokok, yaitu minyak goreng dan gula.
Persoalan akan bertambah serius jika program BBN juga menyebabkan konversi besar-besaran tanaman pangan menjadi tanaman penghasil BBN. Hal ini jelas mengancam ketahanan pangan nasional. Apalagi hingga kini target peningkatan produksi pangan, khususnya beras, masih belum tercapai sepenuhnya. Jika ini menjadi kenyataan maka yang diperkirakan menjadi korban paling menderita adalah masyarakat miskin, khususnya yang tinggal di perkotaan. Kondisi seperti ini tentu kontradiktif dengan harapan pemerintah agar program BBN bisa mengurangi angka kemiskinan.
Maka untuk menghindari potensi bencana tersebut dibutuhkan kebijakan yang jelas dan tepat dari pemerintah terkait dengan penggunaan lahan untuk industri BBN. Program BBN seharusnya diletakkan dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan serta berorientasi pada kemandirian bangsa dan kelestarian lingkungan, bukan didasari oleh keutungan ekonomi jangka pendek. ***