Sedekah dan Kemiskinan
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 22 September 2008
Tragis! Sebanyak 21 orang tewas akibat berdesakan dan terinjak-injak saat pembagian zakat yang dilaksanakan oleh seorang pengusaha sarang burung walet di Pasuruan,Jawa Timur pada pertengahan Ramadhan lalu.Kita pun patut bertanya,sudah sedemikian miskinkah kondisi rakyat sehingga demi mendapatkan uang Rp 30.000 harus kehilangan nyawa?
Dalam sebuah sinetron reliji di bulan Ramadhan “Para Pencari Tuhan 2” dikisahkan ten-tang seorang bernama Jalal.Pak Jalal,begitulah biasa dipanggil oleh orang di kampungnya.Ia se-orang yang sangat kaya.Memiliki harta yang berlimpah dan tahu bahwa banyak orang yang ber-harap pada bantuannya.Suatu ketika ia ingin bersedekah,tetapi tidak ditemukan orang yang mau mendapatkan sedekahnya.Orang-orang yang dulu ia beri sedekah kini telah hidup lumayan dan menolak untuk menerima sedekah lagi.Ia bertanya pada seorang nenek apakah ada kesulitan da-lam hidupnya,dikatakan tidak.Ia bertanya kepada orang lain,apakah anaknya memerlukan biaya, orang itu berkata tidak.Bahkan ketika ia bertanya kepada pengurus RT dan RW tentang siapa yang dikatakan miskin,pengurus mengatakan tidak ada.Bayangkan,untuk menyalurkan sedekah saja susah karena tidak ada yang bersedia menerimanya! Masyarakat miskin di kampung tersebut merasa malu kalau terus-terusan meminta melulu sehingga mereka berusaha agar kehidupannya lebih baik sehingga tidak perlu disedekahi orang lain.
Pak Jalal yang hartawan dan dermawan itu menjadi sedih.Ia seolah-olah tidak bermanfaat dan tidak mempunyai lapangan untuk melakukan ibadah karena kini orang-orang di kampungnya telah hidup sejahtera dan tidak membutuhkan sedekah darinya lagi.Dalam Islam memang dise-butkan,manusia yang terbaik itu adalah manusia yang mempunyai manfaat sebesar-besarnya bagi manusia lain.Sinetron ini adalah sebuah paradoks bagi kehidupan kita yang sarat dengan kemis-kinan (atau orang yang merasa miskin?).Orang-orang lebih senang menerima ketimbang mem-beri.Padahal tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah.Tapi mengapa masyarakat kita lebih senang menerima dan menengadah? Apakah mereka sudah tidak punya ‘harga diri’ lagi?
Kemiskinan ya, kemiskinan adalah satu kata yang bisa membuat siapa saja berbuat ne-kad,kehilangan akal sehat dan rela berbuat apa saja.Semakin hari semakin kita melihat kemiskinan di mana-mana,kemiskinan yang semakin menjadi.Dari yang hanya kesulitan,kekura-ngan,penuh keterbatasan hingga memang tak mempunyai apa-apa.
Pernahkan ke Jakarta naik kereta api? Cobalah sekali-kali naik kereta api kelas bisnis, mungkin ini hanya sedikit dari banyak hal yang menggambarkan betapa beratnya beban kehidup-an saat ini dan betapa kemiskinan itu menyelimuti.Di gerbong kereta api kita akan melihat begitu banyak pedagang asongan,yang dalam suhu panas,hilir mudik dalam kereta api yang begitu se-sak,membawa barang dagangannya.Ibu-ibu yang berjualan pecal,sate atau jajanan lainnya de-ngan cara membawa talam besar yang ditumpukan di atas kepala,di Medan kita juga sering men-jumpainya.
Pernah membayangkan berapakah keuntungan yang mereka dapatkan sepanjang hari da-lam sesak tersebut? Tidak banyak,yang pasti tidak lebih dari rata-rata uang saku seorang anak SMA saat ini.Belum lagi kalau tidak laku.Pilu.Apalagi ketika membayangkan bahwa mereka adalah tumpuan keluarga dalam mencari nafkah,apa yang akan keluarga mereka makan jikalau keuntungan hari itu begitu sedikit,apalagi sampai tidak ada.Suatu ketika saya pernah melihat seorang kakek yang Masya Allah,seharusnya pada usia dan kondisi tubuh yang lemah seperti itu berada di tengah ketenangan hidup bersama dengan cucu-cucunya,tapi apa yang dilakukan kakek itu? Ia justru berada di himpitan,bersesak-desakan dengan penumpang menjajakan dagangan. Lalu ke mana anak cucunya,tidak adakah yang menghidupinya di hari tua?
Belum lagi ketika hampir sampai di stasiun,di sepanjang pinggiran rel kereta kita akan melihat deretan gubuk-gubuk reot yang jaraknya begitu dekat dengan rel,begitu kumuh,rumah yang dibangun hanya dari papan-papan tipis,triplek,kardus dan seng yang sudang usang.Hati ini sampai bertanya,siapakah mereka yang sanggup untuk tinggal di dalam kekumuhan dan kebi-singan itu? Orang miskin! Itu adalah jawaban pasti, karena kemiskinan yang sanggup membuat tempat itu layak dikatakan sebagai rumah.
Kemiskinan yang mampu membuat sebuah kandang layak dijadikan tempat tinggal.
Kemiskinan yang mampu membuat anak secerdas Lintang dalam Laskar Pelangi berhenti sekolah.Kemiskinanlah yang mampu menjadikan nasi basi atau nasi aking layak untuk dijadikan santapan.Kemiskinan yang membuat orang mengolah dan membeli daging sampah karena sepan-jang hidupnya tidak pernah merasakan lezatnya daging sehat yang layak konsumsi.Kemiskinan-lah yang mampu membuat orang-orang rela berdesak-desakkan bahkan mengorbankan jiwanya demi zakat yang cuma Rp 30.000.Kemiskinan pula yang membuat mereka ikhlas walaupun telah kehilangan nyawa Ibu tercinta tapi mereka tidak mau menuntut ganti rugi. Nrimo ing pandum!
Tapi kemiskinan pula yang membuat manusia menjadi terdorong untuk tega berbuat keja-hatan.Kefakiran bisa membuat orang jadi kafir.Kemiskinan bisa membuat orang jadi jahat dan mempunyai pandangan bahwa kehidupan ini tidak adil.Sementara sebagian manusia lainnya hidup dalam gemerlap kekayaan.Para pejabat sibuk berposta pora korupsi dan kenyang makan uang suap.Sementara yang lainnya merintih kelaparan.Ketika orang miskin mencuri ayam atau jemuran pakaian,kita pun tanpa ampun tega menghajarnya sampai sekarat.Tapi mengapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama kepada para koruptor? Padahal para koruptor itu jelas lebih jahat dari maling ayam.
A.M. Saefudin mantan Menteri Pertanian pernah membagi kemiskinan sebagai kemiskin-an alamiah (natural poverty) dan kemiskinan struktural (stuctural poverty).Yang pertama,terjadi karena misalnya cacat mental atau fisik,lahir dari keadaan keluarga miskin dan tak punya aset atau modal untuk mengangkat dirinya dari kemiskinan serta faktor lain yang tak terduga (ben-cana alam, kebangkrutan dan lain-lain).Sedangkan kemiskinan struktural diciptakan oleh sistem, nilai,ketidakadilan dan perilaku bejat manusia.
Sistem kapitalis dan sosialis dengan asas manfaat bebas nilai,telah melahirkan elit politik dan konglomerat yang menghalalkan segala cara.Bergelimang dalam kemewahan dengan meng-orbankan sebagian besar masyarakat.Kita semua sadar dan tahu bahwa kemiskinan akan selalu ada dalam masyarakat apapun.Hanya saja masalahnya adalah, bagaimana upaya untuk menang-gulangi dan memecahkan problem kemiskinan tersebut.Bila bicara tentang pengaturan dan pe-mecahan problem kemiskinan,maka hal ini jelas berkaitan erat dengan sistem yang diterapkan oleh negara yang bersangkutan.Tak mustahil,kemiskinan yang sifatnya sudah sunatullah akan tetap langgeng karena negara membantu memperparah kemiskinan tersebut dengan sistem yang diterapkannya.
Dalam sistem kapitalis yang mulai diterapkan di Indonesia,para pedagang dengan leluasa bisa mengendalikan sistem perekonomian.Menjelang Idul Fitri misalnya,harga-harga mendadak melonjak tinggi.Penimbun misalnya,mereka bisa dengan bebas mengumpulkan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat,kemudian menunggu waktu yang pas untuk dilempar ke konsumen dengan harga yang melambung.Praktik ini dari tahun ke tahun tidak pernah hilang.Jelas ini akan membuat masyarakat menderita karena harus merogoh kocek lebih dalam lagi.Akhirnya, kemiskinan alamiah berpadu dengan kemiskinan struktural yang membuat masyarakat semakin terpuruk.
Sehingga kita barangkali harus maklum,mengapa orang-orang miskin rela berdesakan dan antri berjam-jam untuk mendapatkan sekadar zakat atau sedekah yang jumlahnya sangat mi-nim.Keterdesakan ekonomi menjelang Lebaran di mana harga-harga melambung tinggi adalah jawaban mengapa mereka tidak merasa jera.
Lalu apa manfaat pemerintah mendirikan Badan Zakat,Infaq dan Sedekah atau Bazis agar penyaluran zakat,infaq dan sedekah lebih terkoordinir? Mentalitas korup para pengelolanya yang menyebabkan para pemberi zakat,infaq dan sedekah tidak percaya pada lembaga-lembaga sema-cam ini.Bayangkan untuk urusan agama dan ibadah saja,mentalitas korup tetap merajalela. Tujuan zakat,infaq dan sedekah untuk menaikkan kehidupan orang miskin tidak tercapai.Dan pada gilirannya rakyatlah yang akan tetap menjadi korban.Sungguh ironis!***