21 November Hari Pohon Sedunia
Satu Pohon Berjuta Manfaat
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 21 November 2008
“Only when the last tree is cut,only when the last river is polluted,
only when the last fish is caught,only then they will realize that you cannot eat money”
Ketika pohon terakhir ditebang,sungai terakhir tercemar,dan ikan terakhir ditangkap,
Keadaan hutan di Indonesia saat ini sungguh memprihatinkan. Penebangan liar tak henti-hentinya beroperasi dan pembakaran hutan yang meluas masih terjadi saat ini.Telah terjadi konversi hutan secara besar-besaran di berbagai daerah.Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menca-tat,kini hanya 32 juta hektar (ha) hutan berada dalam kondisi baik dari total 109 juta ha kawasan hutan Indonesia. Sisanya,77 juta ha tengah dalam kondisi kritis. Hal ini akan mengancam kelestarian lingkungan, ketersediaan air dan menaikkan frekuensi bencana alam.
Indonesia adalah negara dengan tingkat kehilangan hutan cukup tinggi, diperkirakan mencapai 1.871 ha per tahun (2004-2005). Kawasan tangkapan air yang ada di Indonesia dipengaruhi dengan tingkat kehilangan hutan. Tingkat kehilangan air secara nasional adalah 32,18%. Ketersediaan air di Indonesia melingkupi 6% dari total stok air di dunia, sementara total stok air yang disumbangkan dari wilayah Asia Pasifik adalah 21% (KLH, 2003). Sementara isu langkanya air semakin meningkat di negeri ini. Menurut data Departemen Kehutanan, 39 Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia dalam keadaan kritis, dimana 42% berada di Jawa dan 25% di Sumatra. Lebih dari 70% penduduk Indonesia menggunakan air yang diambil dari sumber yang kemungkinan besar sudah tercemar.
Salah satu permasalahan global saat ini adalah semakin meningkatnya jumlah polusi yang dihasilkan dari pembakaran, gas buang kendaraan, gas industri dan lain sebagainya. Dalam rangka memperingati Hari Pohon Sedunia ini kita perlu mengetahui apa sesungguhnya manfaat pohon baik yang ada dalam hutan,perkotaan ataupun di sekitar lingkungan kita. Satu pohon ternyata mempunyai berjuta manfaat.
Potensi hutan yang luasnya 1 ha memiliki 350 pohon dengan rata-rata diameter 36 cm kemampuan dalam menyerap karbon (gas hasil pembakaran yang berbahaya bagi manusia) sebesar 147,84 ton/ha dengan persentase penyimpanan terbesar pada bagian batang (73,46%), kemu-dian cabang (16,14%), kulit (6,99%), daun (3,17%) dan bunga-buah (0,24%). Dari data tersebut dapat diketahui kemampuan satu pohon yaitu menyerap karbon dan polutan lainnya sekitar 27 kg /tahun. Sementara itu kemampuan dalam menyerap air dan menjadikannya sebagai cadangan, dari hasil penelitian diperoleh angka sebesar 1,82 liter/detik pada musim kemarau, pada musim penghujan 29,82 – 67,55 liter/detik. Dengan demikaian 1 ha hutan dapat memenuhi air bersih untuk 29 orang sekaligus mencegah banjir dan kekeringan (Suryatmojo, H., 2004).
Kekeliruan dalam cara pandang
Penyusutan hutan seperti data di atas sungguh merupakan sebuah kerugian yang teramat besar. Bayangkan, tanpa hutan dan pohon-pohon di sekitar kita setiap harinya kita menghirup udara beracun. Berapa devisa yang dapat dihasilkan dari kegiatan rekreasi dan materi-materi yang diproduksi oleh hutan seperti kayu, buah-buahan, getah, akar, tumbuhan obat, rotan,biji-bijian, jamur dan lain-lain. Belum lagi keuntungan ekologis berupa perlindungan dari erosi dan banjir, pengaturan air, penyuplai udara sehat bagi kehidupan,dan sumber ilmu pengetahuan dan penyumbang keanekaragaman hayati sebagai tempat hidup beberapa suku asli pedalaman dan berbagai jenis hewan dan tumbuhan.
Pengurangan luas hutan Indonesia hingga 40% hanya dalam kurun waktu 1950-2000 membuktikan bahwa kegiatan-kegiatan yang mengancam kelestarian hutan kerap dilakukan manusia secara massif. Penebangan secara berlebihan,perburuan liar, dan kebakaran hutan yang dise-ngaja untuk pembukaan lahan perkebunan masih kerap terjadi. Diperkirakan pada tahun 2050, Indonesia akan menjadi negara tanpa hutan jika penebangan liar dan pembukaan hutan untuk lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman tidak bisa dikelola sejak sekarang.
Kekeliruan yang dilakukan oleh bangsa ini,selain berupa sebab ketidaktahuan, juga karena keserakahan. Manusia mengeksploitasi hutan tanpa mempedulikan dampak buruknya, bisa jadi karena ia memang tidak tahu tentang dampak buruk perbuatannya. Hal semacam ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Perhatikanlah, betapa banyak keluarga Indonesia (anak-anak dan orang dewasa) yang menghabiskan waktunya dengan aktifitas-aktifitas “tak berbobot". Konsumsi tontonan yang berlebihan (menonton tv hingga 15 jam perhari, memboroskan energi listrik, waktu dan uang), memilih buku bacaan yang tidak bermanfaat, dan kegiatan-kegiatan yang dipilih keluarga lebih dominan bersifat hiburan daripada edukatif.
Berdasrkan hasil survei dari Serikat Penerbitan Surat Kabar (SPS) pada tahun 1999, belanja tahunan masyarakat Indonesia adalah Rp 1,9 milyar untuk buku, Rp 47 milyar untuk rokok, dan Rp 145 milyar untuk obat-obatan terlarang! Di luar faktor keserakahan manusia, data di atas setidaknya dapat memberikan kesimpulan bahwa sangat memungkinkan ketidaktahuan disengajakan menjadi kondisi tidak mau tahu, termasuk ketidakpedulian terhadap kelestarian hutan.
Kata hutan terasa jauh bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan atau di daerah desa-kota (sub-urban). Anjuran-anjuran seperti,”Ayo lestarikan hutan kita! atau “Mari kita jaga paru-paru dunia!” ,bagi banyak orang dipertanyakan; kenapa harus kami? Kami kan hidup jauh dari hutan, kami tidak menebang pohon, tidak membuka lahan, bagaimana kami bisa merusak hutan?
Jika usaha-usaha membangun kepedulian masyarakat untuk ikut serta melestarikan hutan dilakukan dengan pendekatan kepentingan yang tidak menyentuh kebutuhan hidup keseharian, bukan tidak mungkin reaksi yang diperoleh adalah seperti digambarkan diatas. Apakah ada jalan lain untuk mendekatkan hutan pada kehidupan keseharian masyarakat yang notabene tidak ber-sentuhan langsung dengan hutan?
Pendekatan sosial-ekologi
Pendekatan sosial-ekologi (Gunderson & Holling, 2002) memandang bahwa sistem sosial dan sistem alam saling berinteraksi, saling mempengaruhi secara timbal balik secara acak. Cara pandang ini dapat digunakan untuk menggambarkan jejaring antara kegiatan keseharian masyarakat dan hubungannya dengan alam. Cara penggambaran ini dikenal dengan nama ecological footprint atau jejak ekologis (Wackernagel & Rees, 1995).Jejak ekologis adalah hitungan mengenai kebutuhan manusia atas sumber daya ekosistem bumi untuk melakukan aktivitas-aktivitas-nya. Biasanya jejak ekologis akibat suatu aktivitas seseorang dikonversikan dalam bentuk luasan lahan (dalam hektar) yang menggambarkan bahwa untuk pola aktivitasnya tersebut seseorang membutuhkan sumber daya sebanyak X hektar dari luas bumi ini.
Semakin tinggi jejak ekologis seseorang, berarti semakin banyak orang tersebut memakai sumber daya ekosistem bumi kita untuk memenuhi kebutuhannya, dengan kata lain pola hidup orang tersebut tidak terlalu ramah lingkungan dan boros dalam memanfaatkan sumber daya yang ada. Contohnya, jika kita bandingkan orang yang selalu mengendarai mobil dengan orang yang bersepeda, maka jejak ekologis pengendara mobil ini akan lebih tinggi daripada orang yang bersepeda. Seorang pengendara mobil,tiap tahunnya menghabiskan ratusan liter BBM, mengeluarkan puluhan kilo zat-zat polutan berbahaya dari asap knalpotnya.
Jika pemakaian listrik di tiap-tiap keluarga tinggi, tidak melakukan penghematan energi, pengeluaran rumah tangga juga akan meningkat. PLN sebagai penyedia listrik, juga harus memenuhi kebutuhan tersebut dalam jumlah yang semakin besar. Untuk memenuhinya, PLN membutuhkan jumlah batubara dan diesel (sumber utama pembangkit listrik di Indonesia) yang semakin banyak agar dapat membangkitkan listrik dalam jumlah yang mencukupi. Tentu saja, lahan baru kemudian diperlukan sebagai area penambangan batubara dan minyak bumi.Area yang tadinya hutan akan dibuka untuk keperluan penambangan tersebut, akibatnya luasan hutan menurun.
Ketika luasan hutan menurun, tidak ada lagi pohon-pohon yang berfungsi menyerap CO2 (karbon dioksida), terjadilah peningkatan kadar CO2 di udara yang mengakibatkan pemanasan dan perubahan iklim yang tidak biasa, hal ini bisa menyebabkan gagalnya panen dan penyebaran penyakit. Gagal panen menyebabkan terjadinya kenaikan harga pangan dan penyebaran penyakit mengakibatkan orang menjadi lebih sering berobat. Pada akhirnya, jumlah pengeluaran rumah tangga menjadi berlipat ganda.
Kondisinya akan berbeda jika setiap rumah tangga melakukan penghematan pemakain listrik. Cukup dengan melakukan penghematan pemakaian listrik di rumah, maka sebenarnya setiap kita sudah berpartisipasi melestarikan hutan. Tidak perlu hidup dekat hutan untuk melestarikannya, cukup dengan mengubah cara hidup kita sehari-hari yaitu dengan cara yang sederhana dan nyata yaitu berhemat energi.
Jika pemakaian listrik di tiap-tiap keluarga rendah, hemat energi, pengeluaran rumah tangga akan menurun. PLN sebagai penyedia listrik, tidak perlu meningkatkan kapasitas produksi listrik untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Dampaknya, tidak perlu adanya tambahan jumlah batubara dan diesel, dan tidak terjadi pembukaan lahan hutan. Luasan lahan hutan kita tetap terjaga menjadi penyangga iklim kita. Ketika hutan berfungsi sebagaimana mestinya menyerap CO2 dari udara, pemanasan udara tidak akan terjadi. Iklim yang stabil mendorong berhasilnya panen para petani kita dan menghambat penyebaran penyakit. Masyarakat hidup dengan tenang karena harga pangan stabil dan keluarga sehat. Dampaknya akhirnya, jumlah pengeluaran rumah tangga pun akan menurun.
Penghematan listrik dapat dilakukan dengan cara mengganti bola lampu dengan yang le-bih hemat energi, mematikan lampu yang tidak diperlukan, membatasi jam nonton tv anak-anak dengan lebih banyak belajar dan membaca buku, membeli barang-barang elektronik yang diperlukan saja, atau sekedar membuka jendela agar sinar matahari bisa masuk sehingga tidak perlu menghidupkan lampu. Lakukan mulai sekarang.
Penggambaran jejak ekologis ini jika dikemas dalam media yang menarik dan mudah dimengerti, dapat menjadi sarana sosialisasi kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutan ka-rena dari gambaran ini akan terlihat bagaimana fungsi dan posisi hutan dalam kehidupan keseharian masyarakat di manapun mereka berada. Hutan menjadi dekat secara tidak langsung ke kehidupan keseharian,masyarakat tidak harus bersentuhan langsung dengan hutan untuk ikut serta melestarikannya.
Selain kampanye hemat energi, juga perlu digalakkan daur ulang. Degradasi lingkungan hidup semakin meningkat tahun demi tahun,khususnya permasalahan sampah. Dengan volume sampah yang terus bertambah dalam deret ukur,sementara penanganannya masih belum maksimal. Partisipasi masyarakat dituntut untuk lebih terlibat dalam penanganann sampah, salah satu-nya dengan mempopulerkan kegiatan recycle atau daur ulang. Dengan mendaur ulang kertas sebanyak satu ton saja, kita dapat mengemat 17 batang pohon,14.000 liter minyak bumi,3 meter kubik lahan pembuangan dan 26.000 liter air. Dan kita memang harus segera memasyarakatkan gerakan menanam pohon,minimal satu orang harus menanam satu pohon. Karena dengan bantuan satu batang pohon saja, kita sudah terlindung dari 27 kilogram polutan yang mencemari udara setiap tahunnya.***