Benarkah Korupsi Sudah Membudaya?


Benarkah Korupsi Sudah Membudaya?
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian analisa Medan, 15 Oktober 2008 

Bung Hatta,seorang dari dua proklamator kemerdekaan dan Wakil Presiden pertama RI, pernah menyatakan bahwa korupsi sudah membudaya. Bung Hatta benar ketika kita melihat secara empirik bahwa korupsi memang sudah begitu merasuk dan merajalela dalam berbagai lapisan masyarakat dari atas sampai ke bawah. Pertanyaan tersebut sesungguhnya perlu ditelaah lebih lanjut,benarkah korupsi sudah membudaya?

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Sosiolog Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah cultural-determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang dilestarikan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya,yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religiusitas, dan lain-lain termasuk segala aktivitas, kreativitas, pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sesuatu itu dikatakan telah menjadi budaya apabila: 1) Berkaitan dengan akal budi manusia, 2) sesuatu yang dilestarikan secara turun temurun, dan 3) menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Mari kita kaitkan korelasi korupsi dengan pengertian budaya tersebut. Pertama, korupsi di Indonesia memang muncul dari “kecerdasan akal” pejabat dan birokrat di Indonesia. Saking cerdasnya, tanpa lulus SMA pun (atau ijazah SMA-nya tidak jelas, yang penting bisa menduduki kursi empuk) bisa berkomplot merekayasa suatu kejadian untuk berkorupsi. Namun jika dikaitkan dengan budi, tentu korupsi tidak berbudi. Budi berkaitan dengan perbuatan baik, sementara korupsi dilakukan untuk tujuan jahat.
Kedua, korupsi di Indonesia pertama kali dikatakan membudaya oleh pendiri bangsa ini sekitar tahun 50-an. Hal itu wajar sekali terjadi pada negara baru. Belum ada alat kontrol yang jelas.Infrastruktur politik belum menganut asas trias politica yang jelas dan system check and balances belum diterapkan secara benar. Para pejabat masih bebas memanfaatkan celah hukum, karena hukum saat itu masih banyak yang belum jelas. Kalau kita hitung sampai sekarang hanya berjarak 60 tahun kurang. Jika masyarakat Indonesia rata-rata menikah pada umur 25 tahun, usia segitu hanya mampu menghasilkan dua keturunan saja. Benarkah korupsi sudah dilakukan secara turun temurun? Ternyata belum cukup umur, korupsi di Indonesia sehingga tidak tepat dikatakan telah membudaya.
Memang ada pandangan secara historis bahwa korupsi sudah ada sejak zaman kompeni (baca: compagnie atau VOC) lebih dari 350 tahun lalu. Kompeni adalah perusahaan dagang, jadi yang menjajah Nusantara (Indonesia belum ada) waktu itu adalah perusahaan dagang, bukan pe-merintah Belanda! Di zaman penjajahan kompeni inilah praktik korupsi konon telah “dipelajari” oleh orang-orang pribumi. Kompeni menjelang akhir abad 18 akhirnya bangkrut karena praktik korupsi. Ketika pemerintah kolonial Belanda mengambil alih penjajahan di Nusantara, praktik korupsi yang selama ini diklakukan oleh kompeni ternyata tidak hilang bahkan semakin parah. Dan ketika Indonesia merdeka, praktik korupsi inipun tidak serta merta hilang bahkan semakin lama semakin merajalela. Jadi berdasarkan fakta historis korupsi bukanlah budaya bangsa Indonesia tapi lebih merupakan “limbah budaya” dari penjajah.
Ketiga, benarkah ciri khas masyarakat Indonesia adalah korupsi? Betapa kecewanya para pendiri bangsa Indonesia terdahulu bila hasil karya mereka yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia telah diambil alih oleh satu kosa kata: korupsi. Indonesia masih lebih identik dengan bangsa yang arif, ramah, cerdas dan pekerja keras. Terbukti dengan segala bentuk karya yang tercipta sejak dulu kala. Ibarat pepatah, akibat nila setitik rusak susu sebelanga. Korupsi sesungguhnya hanya dilakukan segelintir pejabat/birokrat yang melakukan korupsi demi kepentingan pribadi yang mencoba berlindung di balik dalih bahwa korupsi itu sudah biasa dan telah membudaya.
Kita semua pasti sangat benci dengan korupsi, tapi bukan berarti ketika ada yang  mengatakan korupsi belum membudaya berarti pula orang tersebut menghalalkan praktik korupsi. Kita harus mau mengungkapkan bahwa sebenarnya kita mampu menghentikan pemakaian istlah itu demi terciptanya bangsa yang bersih dan jujur. Kita harus meyakini bahwa korupsi di Indonesia pada hakikatnya belumlah membudaya dan separah yang kita duga. Yang terjadi selama ini ada-lah ada segolongan pihak yang mencoba membudayakan korupsi ini. Ada pihak yang dengan sengaja mempromosikan bahwa korupsi itu adalah hal yang biasa. Promosi ini jelas dilakukan oleh orang-orang yang berkenan dengan perilaku korupsi. Jadi ketika mereka tersangkut perkara korupsi, mereka merasa tak perlu lagi menanggung malu atas sanksi sosial karena toh korupsi adalah perbuatan biasa tidak seperti maling ayam misalnya yang dianggap lebih nista.
Korupsi yang membudaya hanya suatu pernyataan hiperbola dan frustasi yang digulirkan oleh sekelompok orang yang tidak memiliki visi untuk memberantas para koruptor. Termasuk proklamator kita yang angkat tangan melihat ketidakberdayaannya melihat betapa kesempatan, celah hukum dan kesenjangan birokrasi yang ada dipakai sebagai alat untuk melakukan korupsi. Slogan bahwa korupsi telah menjadi budaya bangsa Indonesia tidak perlu dipromosikan lebih lanjut.
Kita harus punya komitmen bersama,jangan biarkan korupsi menjadi sesuatu yang dilestarikan secara turun temurun.Korupsi bukan sesuatu hal yang biasa tapi harus dipandang sebagai kejahatan yang luar biasa kejam, nisata dan merugikan. Jangan sampai anak dan cucu kita masih mewarisi kebebasan berkorupsi, hutang yang menumpuk dan miskin SDM yang bermoral dan berintegritas. Indonesia membutuhkan seorang pemimpin seperti mantan Perdana Menteri China Zhu Rongji yang dengan berani mengatakan, ”Berikan 100 peti mati kepadaku, maka 99 diantara-nya akan kuberikan pada para koruptor, dan 1 lagi persiapkan untukku jika akupun melakukan korupsi.”
China mampu memberantas korupsi,meskipun jumlah penduduk dan luas wilayahnya jauh lebih besar dari kita. Di sana para pejabat akan berpikir sejuta kali ketika akan melakukan korupsi, hukuman mati, penyitaan seluruh harta kekayaan dan sanksi sosial yang diberikan masyarakat kepada keluarga koruptor begitu efektif membuat efek jera. Maka kita juga harus yakin kalau Indonesia mampu melakukannya. Yang kita butuhkan adalah seorang pemimpin yang berani dengan lantang mengatakan,”Berikan 100 hektar lahan kosong, maka tempat itu akan kupenuhi untuk mengubur massal orang yang melakukan korupsi di Indonesia, termasuk aku dan keluargaku bila kamipun mencicipinya.” Adakah  calon presiden di tahun 2009 nanti yang berani melakukan kontrak politik seperti ini? Rasanya tidak ada!***