Wabah Ulat Bulu dan Rusaknya Ekosistem
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian ANALISA Medan, 3 Juli 2011
Wabah ulat bulu seakan tidak pandang bulu. Dimulai dari Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, kini wabah ulat bulu meluas ke Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta, Yogyakarta bahkan menyeberang ke Pulau Bali. Banyak pihak yang berspekulasi bahwa meningkatnya populasi ulat bulu akibat rusaknya ekosistem, baik karena bencana alam maupun karena ulah manusia.
Di Probolinggo tempat wabah pertama kali terjadi sekitar akhir Maret 2011, diduga sebagai akibat letusan Gunung Bromo. Sebelum letusan, di sekitar lereng Gunung Bromo terdapat pohon-pohon besar tempat berkembang biak ulat dan burung sebagai predatornya. Sejak Gunung Bromo meletus dengan semburan abu yang dahsyat, maka ekosistem tempat di mana ulat bulu dan burung itu hidup menjadi rusak. Ulat-ulat bulu pun kemudian bermigrasi untuk mencari tempat yang cocok untuk perkembangbiakan, termasuk ke pohon-pohon di sekitar rumah penduduk. Sementara burung bermigrasi ke tempat yang jauh dari pemukiman manusia.
Ulat bulu yang berkembang pesat berubah menjadi wabah. Ulat bulu memang tidak membahayakan manusia, kemungkinan besar jika terkena kulit hanya menyebabkan gatal atau alergi. Tapi jika ulat bulu dalam jumlah banyak menyerang rumah-rumah warga, menempel di dinding, lantai hingga plafon rumah, tentu meresahkan juga. Di beberapa daerah ulat bulu menyerang pohon mangga dan jambu sehingga daun-daunnya habis. Petani mangga dan jambu pun mengalami gagal panen.
Ulat bulu yang menjadi wabah seperti sekarang ini juga diduga akibat hilangnya musuh alami ulat bulu yaitu burung, parasitoid dan beberapa predator lain. Selain curah hujan yang tinggi, penggunaan pestisida yang berlebihan untuk membasmi hama juga menyebabkan musuh alami ulat bulu seperti braconid dan apanteles (semacam serangga kecil) tidak mampu bertahan hidup. Tidak ada kontrol populasi sehingga jumlah ulat bulu semakin banyak dan berkembang biak dengan cepat. Semestinya, musuh alami ulat bulu itu memberikan parasit pada telur ulat, menyebabkan dari ribuan telur ulat hanya beberapa telur saja yang berhasil jadi ulat. Ketika musuh alami itu hilang maka jumlah telur yang menetas semakin banyak.
Ekosistem Rusak
Sekarang yang jadi pertanyaan, mengapa musuh alami ulat bulu bisa sampai hilang. Jika kita mau runut lagi ke belakang, maka pada akhirnya kitalah yang menjadi ’tersangka utama’ dan faktor terbesar hilangnya musuh alami ulat bulu ini.
Saat ini sangat langka menemukan burung-burung hinggap di pohon-pohon dekat rumah atau di sekitar lingkungan kita. Baik karena pohonnya tidak ada atau semakin sedikit, atau juga karena burung-burung tersebut musnah diburu manusia. Lahan kosong yang dulunya tempat pohon-pohon tumbuh kini pohon itu ditebang, diganti dengan tembok-tembok batu. Padahal pohon-pohon itu menjadi rumah bagi beberapa hewan, akibatnya sedikit demi sedikit burung dan binatang lain terusir dan tidak memiliki rumah lagi.
Sedikit demi sedikit pula tanah yang tadinya hijau tertutup rumput maupun semak berubah menjadi hamparan semen untuk kepentingan lahan parkir kendaraan. Atau hanya karena kita tidak mau kotor karena terkena tanah becek ketika hujan, juga dengan alasan kepraktisan agar tidak perlu merawat tananam atau alasan lain. Kita pun seringkali lupa dengan akibat perbuatan kita, tanah yang tertutup semen mengakibatkan air tidak meresap ke tanah, akhirnya kita akan kekurangan air jika musim kemarau tiba dan banjir di musim hujan.
Wabah ulat bulu akibat ekosistem yang rusak sehingga predator alaminya hilang. Menurut para ahli wabah ini tidak akan berakhir di sini saja, terlebih jika kita tidak sabar dengan kondisi ini dan mengambil jalan pintas untuk menyelesaikannya. Di tayangan televisi kita melihat, demi keamanan banyak warga masyarakat yang menebang pohon agar tidak terjadi wabah ulat bulu. Bayangkan jika semua orang berpikiran sama, menebang pohon agar tidak terkena wabah. Jika demikian berapa banyak pohon yang akan habis ditebang.
Jika pohon banyak yang hilang, maka rumah beberapa hewan yang mungkin saja menjadi predator alami ulat bulu juga akan musnah. Akibatnya bisa timbul bahaya yang lain lagi dan mungkin saja lebih besar. Pada akhirnya semua akan berputar kembali menjadi seperti lingkaran setan.
Jadi alangkah bijaksananya jika kita mulai dari saat ini menjaga alam tempat kita tinggal agar ekosistem tetap terjaga, mulai saja dari halaman rumah kita. Banyak menanam pohon langsung di tanah agar hasilnya bisa optimal, bukan hanya sekadar penghijauan tetapi juga sebagai resapan air dan tempat hidup hewan-hewan yang berguna bagi kita, seperti burung dan sebagainya.
Predator Alami
Secara umum ulat merupakan makhluk hidup yang mengalami metamorfosis (perubahan bentuk dalam siklus hidupnya). Dimulai dari telur, menetas menjadi larva (ulat), kepompong dan kupu-kupu. Pada fase menjadi larva inilah mereka akan makan daun sebanyak-banyaknya sebelum berhenti makan ketika menjadi kepompong.
Walaupun mengalami metamorfosis, ulat bulu yang menjadi wabah tersebut bukan termasuk kupu-kupu, tetapi sebangsa ngengat. Diduga ngengat ulat bulu itu yang meletakkan telur pada celah kulit pohon atau di bawah daun. Kemampuan produksi telur ulat betina mencapai 100-300 butir per ulat. Karena tidak ada musuh atau predator alaminya, maka seluruh telur itu menetas secara bersamaan.
Terdapat dua spesies ulat bulu yang menyerang daun mangga di Probolinggo, yakni Arctornis sp dan Lymantria atemeles Collenette. Ulat bulu itu bersifat nokturnal, yakni ulat yang aktif pada malam, sehingga termasuk ke dalam kategori ngengat. Sehingga tidak mengherankan jika pada malam hari di daerah yang terserang wabah ulat bulu, sering terdengar seperti suara hujan, padahal saat itu sesungguhnya ulat bulu sedang memakan daun-daun mangga.
Chairman ProFauna Indonesia, Rosek Nursahid menyatakan, populasi predator pemakan ulat seperti burung Prenjak, Jalak dan Cinenen berkurang cukup signifikan hingga mencapai 80 persen dari populasi sebelumnya. Perburuan liar yang dilakukan secara besar-besaran sebagai komoditas perdagangan menjadikan populasi burung liar pemakan ulat ini menurun drastis, sehingga ulat-ulat tersebut bisa berkembangbiak dengan leluasa karena musuh utamanya sudah tidak ada, tegasnya.
Di wilayah Malang misalnya, sendiri populasi predator berupa burung liar pemakan ulat (serangga) tersebut juga sudah hampir hampir punah. Jika proses perburuan burung pemakan serangga ini dilakukan secara besar-besaran dan terus-menerus akan memicu terjadinya bencana ekologi. Akibatnya, akan terjadi ledakan populasi ngengat, kupu-kupu dan ulat di luar kendali.
Oleh karena itu, jika kita tidak ingin terjadi wabah ulat bulu di daerah masing-masing, maka masyarakat harus menghentikan berburu burung pemakan serangga tersebut. Biarkan burung-burung tersebut hidup di alam bebas agar rantai ekosistem tetap berjalan normal. Biarkan lingkungan sekitar tetap hijau dengan pepohonan. Jangan pula karena ada wabah ulat bulu, pohon-pohon malah ditebang. Langkah tersebut tidak akan menyelesaikan masalah, justru akan menimbulkan potensi yang lebih besar lagi di kemudian hari. ***