Cuci Otak, Mengapa Bisa terjadi?

Cuci Otak, Mengapa Bisa terjadi?
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 12 Mei 2011

Mungkin ngeri juga merinding jika mendengar perihal ‘cuci otak’. Bagaimana tidak, otak adalah organ yang paling penting bagi manusia. Otak dengan segala kapasitas dan kapabilitasnya adalah organ yang membedakan manusia dengan hewan. Otak berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan ingatan atau memori, sesuatu yang paling penting dalam kehidupan manusia. Kita berfikir, belajar, berjalan, berbicara, beraktivitas, dan mengontrol pergerakan motorik tubuh, semua itu dikendalikan oleh otak. Coba bayangkan jika otak tersebut kemudian dicuci untuk kepentingan tertentu.
Cuci otak atau lebih dikenal sebagai brainwash sudah dikenal sejak lama, bahkan sebelum Perang Dunia II. Cara ini digunakan oleh tentara Nazi Jerman untuk membangun semangat para prajurit sejak dari remaja, membentuk mental prajurit yang tahan banting, loyal, dan sejiwa dengan haluan partai Nazi saat itu. Ketika Adolf Hitler berkuasa, para prajurit khusus yang telah dicuci otaknya, telah direnggut rasa kemanusiaannya, bertindak sebagai orang kepercayaan dan memiliki hak istimewa. Mereka lebih kejam dari serdadu biasa dan lebih biadab dari binatang buas.   
Kathleen Taylor (2011) dalam bukunya “Brainwashing” mengutip pendapat para ahli tentang cuci otak yaitu : (1) Penghilangan secara sistematis dan seringkali dipaksakan ide-ide yang telah ada dari pikiran seseorang, khususnya ide-ide politik sehingga bisa digantikan oleh seperangkat ide lainnya. Proses ini dipraktekkan umumnya oleh negara totalitarian pada saat terjadi pertentangan politik. (2) Mengubah sebuah pikiran secara radikal sehingga pemilik pikiran tersebut menjadi boneka hidup, sebuah robot manusia, dan kejahatan tersebut dilakukan tanpa terlihat dari luar. Tujuannya adalah menciptakan sebuah mekanisme dalam daging dan darah dengan keyakinan baru dan proses berpikir baru yang diselipkan ke dalam tubuh para individu. (3) Indoktrinasi yang dipaksakan dan persuasi untuk membujuk seseorang agar melepaskan keyakinan dan sikap religius, sosial dan politik dasarnya serta menerima ide yang bertentangan.
Cuci otak dicirikan dalam istilah-istilah yang selalu bersifat negatif, berbahaya sebagai bentuk pemerkosaan mental, pengendalian pikiran dan tindakan, mengancam kebebasan dan indentitas seseorang yang dimaksudkan untuk menghancurkan nilai dan keyakinan korban pada kepercayaan sebelumnya, mencuci sampai sebersih-bersihnya sehingga kepercayaan baru dapat diadopsi.
Konsep Cuci Otak
Cuci otak adalah suatu proses pendoktrinan secara intensif yang memaksa seseorang untuk meninggalkan keyakinan lamanya untuk suatu keyakinan lain yang baru. Terdapat empat aspek penting dari konsep cuci otak, yakni (1) mempunyai tujuan, artinya tindakan yang disengaja dan direncanakan untuk tujuan mencuci otak, (2) perbedaan kognitif, artinya terdapat keanehan keyakinan baru dibandingkan dengan keyakinan lama, (3) rentang waktu, yakni terjadi perubahan keyakinan, artinya semakin singkat waktu transisi antara keyakinan lama dan keyakinan baru, maka semakin besar kemungkinan telah diterjadi beberapa bentuk pencucian otak; dan (4) penggunaan cuci otak sebagai konsep usaha terakhir.
Pada dasarnya cuci otak adalah sebuah proses sosial yang membutuhkan setidaknya terdapat dua orang yang terlibat di dalamnya. Berbagai strategi cuci otak dilakukan, ada yang dilakukan melalui agen koersif atau paksaan yang dimaksudkan menimbulkan rasa takut korban, dan ada pula yang dilakukan secara tidak langsung berbentuk persuasif melalui modifikasi lingkungan fisik dan sosial. Strategi persuasif umumnya dan diyakini lebih efektif, yakni melalui iklan, media, pendidikan, ceramah dan pelatihan yang efektif.
Robert Caldini dalam bukunya “Influence” mengemukakan beberapa strategi persuasif cuci otak, yakni melalui jebakan komitmen konsistensi, menggunakan resiproksitas, mengandalkan pemilik otoritas, dan daya tarik pembujuk.  Selain dua strategi di atas, strategi cuci otak lainnya, seperti hipnosis, testimoni, penghargaan dan hukuman juga sering digunakan.
Semua metode yang digunakan untuk melakukan brainwash, biasanya memerlukan waktu yang cukup panjang, untuk menanamkan sebuah program atau ide tertentu dalam pikiran seseorang. Metode utama yang digunakan adalah dengan memasukkan informasi, nilai, dogma, ideologi, ajaran maupun faham secara audio dan visual secara berkala, berulang, panjang, dan bersifat terfokus sehingga mampu menggiring persepsi dan pola pikir maupun perasaan seseorang sedikit demi sedikit. Inilah yang kita sebut sebagai memasukkan nilai di alam bawah sadar seseorang.
Ketika sebuah nilai telah tertanam cukup kuat di alam bawah sadar seseorang, maka nilai itu lama kelamaan semakin kuat, berakar, dan permanen. Inilah yang kemudian disebut sebagai hasil dari brainwash itu, dan merupakan tujuan utama dilakukan hal tersebut.
Tergantung Individu
Semua teknologi berpotensi menjadi sesuatu yang berbahaya (nuklir, dinamit, senjata, dll), sedangkan efek dari brainwash tidak selamanya mengerikan. Mengerikan jika teknologi dan tujuan brainwash ini disalahgunakan, misalnya untuk kegiatan terorisme dan kriminal.
Apakah semua orang bisa dibrainwash? Jawabannya bisa dan tergantung kepada invidunya. Hal ini bisa terjadi kalau nilai dasar yang telah ada pada individu yang akan di brainwash, tidak bertentangan dengan nilai yang akan dimasukkan dengan metode brainwash ini. Misalnya, sebagai warga negara kita ditanamkan nilai nasionalisme dan patriotisme untuk mempertahankan bangsa dan negara sampai titik darah penghabisan. Hal ini juga dianggap sebagai brainwash ’dalam skala kecil’, karena dalam penanaman nilai ini kita sadar secara sukarela maka disebut sebagi ‘pembelajaran citizenship’.  
Tapi jika nilai baru yang hendak ditanamkan melalui brainwash berbeda bahkan bertolak belakang dengan nilai-nilai yang sudah ada pada individu, maka yang terjadi adalah ”pertarungan” di dalam pikiran individu tersebut. Lalu siapa yang akan menang?
Nilai dasar yang sudah ada merupakan memori yang telah terbentuk selama bertahun tahun, merupakan sebuah sistem yang sangat kuat. Ketika nilai baru mencoba menginfiltrasi pikiran, maka perlawanan yang diberikan oleh sistem nilai lama sangatlah kuat. Tentu nilai-nilai baru bisa saja (seolah-olah) menguasai pikiran di permukaan, menjadi nilai dan sistem yang baru. Tetapi, ketika program yang berusaha ditanamkan tersebut hendak dijalankan secara ekstrim, misalkan untuk meledakkan diri di keramaian, maka program itu pasti terganggu dengan nilai dan sistem lama yang ada.
Maka program baru tersebut gagal untuk bekerja. Sistem nilai yang sudah ada sebelumnya di pikiran bawah sadar kita lebih kuat daripada sistem nilai baru, yang secara instan diprogram ke dalam pikiran kita. Jadi, brainwash pada seseorang bisa berhasil, tapi pada individu lainnya bisa gagal. Karena pada dasarnya brainwash hanya mempertajam nilai yang telah ada sebelumnya, serta membangun keberanian dan kekuatan untuk melakukan sebuah aksi atau tindakan atas nilai atau kepercayaan yang telah ada sebelumnya.
Jadi brainwash bisa ditangkal jika tiap individu memperkuat nilai-nilai dan kepercayaan yang ada dalam dirinya, misalnya nilai-nilai keagamaan yang benar. Otak seperti halnya otot perlu dilatih dan diasah agar tidak tumpul dan lemah. Sehingga brainwash biasanya gagal menjangkau orang-orang yang berpendirian teguh, taat beragama, orang yang cerdas, dan orang yang otaknya selalu sibuk berpikir untuk belajar maupun berkreativitas.  
Saat ini memang praktik-praktik hipnotis maupun brainwash mengalami perkembangan pesat dengan berbagai perpaduan ilmu. Bahkan ada paradigma baru dalam hal hipnotis dan pencucian otak, bahwa siapa saja bisa dihipnotis dan dicuci otaknya.  Mereka percaya bahwa keyakinan, pikiran, dan perilaku manusia dapat dibentuk dan dapat direkayasa sebagaimana yang mereka inginkan.
Tetapi mereka lupa, bahwa keyakinan seseorang tidaklah mudah dirampok, karena keyakinan itu adalah milik Allah SWT. Al Ghazali pernah berkata, ”Otak dengan pikiran  yang sibuk penuh dengan ilmu, tidak akan mudah dimasuki dengan ‘sampah’. Viktor E. Frankl dalam bukunya “Optimisme” menambahkan, “Apapun bisa dirampas dari manusia, kecuali satu: kebebasan terakhir manusia, yakni kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan, kebebasan untuk memilih jalannya sendiri.” ***