HPN dan Wajah Pers Kita


HPN dan Wajah Pers Kita
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 9 Februari 2009

            Penetapan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional (HPN) didasarkan pada Kepu-tusan Presiden No.5 Tahun 1985 tanggal 23 Januari 1985.Dalam konsideransnya disebutkan, bahwa pers nasional Indonesia mempunyai sejarah perjuangan dan peranan penting dalam me-laksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila.

Penetapan HPN tidak terlepas dari fakta sejarah perjuangan pers terutama para wartawan di masa lalu,yang memainkan peranan penting bersama komponen pejuang bangsa lainnya mela-wan kolonialisme Belanda dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan RI.Tanggal 9 Februari 1946 merupakan peristwa bersejarah bagi kehidupan pers nasional,karena pada waktu itu sejum-lah wartawan dari berbagai penjuru di Indonesia berkumpul dan bersepakat di Solo untuk men-dirikan organisasi wartawan Indonesia yang mereka namakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
PWI memang bukan wadah wartawan Indonesia pertama di Indonesia karena pada tahun 1924,sejumlah wartawan Indonesia dalam era penjajahan Belanda juga pernah mendirikan per-kumpulan Inlandsche Joernalisten Bond (IJB).Sementara pada tahun 1933 terbentuk pula Persa-toean Djoernalis Indonesia (PERDI) dengan tokoh-tokohnya antara lain Sutopo Wonoboyo, Sudarjo Tjokrosisworo, M Tabrani, Parada Harahap, Sjamsudin Sutan Makmur, dan lain-lain.

Pers di masa kini
Perkembangan pers dewasa ini memang sudah berbeda dengan masa lalu.Kita sudah melewati sepuluh tahun di era reformasi di mana kehidupan pers mengalami kebebasan,bahkan ada pula yang mengatakan “kebablasan” karena begitu besarnya kebebasan yang dinikmati pers. Fungsi pers juga mengalami perubahan,dari pers perjuangan di masa lalu menjadi pers industri di masa kini,yang lebih mengutamakan keuntungan finansial dan menomorduakan kepentingan ideal.
Secara normatif dalam UU No.40/1999 tentang Pers, menyebutkan bahwa fungsi pers adalah sebagai media informasi,pendidikan,hiburan dan kontrol sosial serta dapat pula berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Sementara peranannya antara lain adalah memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui,menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong supremasi hukum dan HAM,menghormati kebhinekaan, melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran-saran yang berkaitan dengan kepentingan umum,serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Demikian pula halnya dengan organisasi kewartawanan juga telah mengalami perubahan penataan.Jika pada era Orde Baru,hanya PWI yang diakui sebagai satu-satunya organisasi profesi kewartawanan,maka sejak era reformasi telah muncul puluhan organisasi wartawan seperti hal-nya pembentukan partai-partai politik yang tumbuh bagaikan “cendawan di musim hujan”. Demikian juga dengan industri pers, koran dan majalah baru banyak bermunculan.Profesi war-tawan pun juga menjamur,mendadak banyak orang yang mengaku-ngaku wartawan.Pers me-ngalami kebebasan dalam menulis apapun karena tidak dikenal SIT (Surat Izin Terbit) dan SIUP (Surat Izin Usaha Penerbitan). Hal itu tentu sah-sah saja sesuai dengan pasal 28 UUD 1945 yang menyangkut hak untuk berkumpul dan berserikat serta kebebasan mengeluarkan pendapat.
Pers kita memang sudah sangat berubah,sekarang ini pers tidak segan-segan lagi meng-kritik pemerintah,aparat dan pejabatnya.Kalau zaman Orba,kita seakan terbuai kalau negara kita tidak ada korupsi karena tidak ada pers yang berani memberitakannya.Tapi sekarang, pers-lah yang menjadi pihak pertama memberitahukan adanya dugaan korupsi oleh seorang pejabat. Me-nurut penulis,profesi wartawan hampir mirip dengan seorang ilmuwan dan polisi.Perbedaan dari mereka dapat dlihat tujuannya.Ilmuwan meneliti untuk kepentingan ilmu pengetahuan.Polisi meyelidiki untuk mencari kebenaran guna proses peradilan.Dan wartawan tujuannya adalah un-tuk mencari kebenaran dari suatu peristiwa dan menyebarkannya kepada khalayak umum.
Namun,kebebasan yang dimaksud sering kali disalahgunakan oleh para wartawan. Kebe-basan yang dimaksudkan disini adalah kebebasan dalam mencari berita tetapi juga harus tetap mementingkan kode etik yang berlaku.Harus diakui bahwa pers Indonesia masih dalam tahap si-tuasi pancaroba.Pers Indonesia belum menemukan format yang ideal.Di satu pihak,kita punya UU Pers yang menjamin kebebasan pers.Akan tetapi di pihak lain,UU itu belum diadopsi oleh sistem peradilan sehingga pers belum mendapat keadilan yang sebenar-benarnya.Wartawan dan penerbit pers masih sering dipidanakan dengan pasal-pasal dalam KUHP.
UU Pers seharusnya bisa membuat pers kita lebih dewasa menjalankan fungsi-fungsinya. Namun tekadang pers terpaku dengan kebebasan itu sehingga berbenturan dengan kepentingan individu.Masyarakat lantas mengatakan, pers over dosis dalam melaksanakan kebebasannya alias kebablasan.Sekarang ini apabila ada pers yang melanggar kode etik jurnalisme,kebanyakan ma-syarakat akan mengadu ke Dewan Pers.Tetapi sayangnya oleh Dewan Pers pada akhirnya dikem-balikan lagi kepada medianya masing-masing.
Tantangan ke depan
Banyak hal yang bisa direnungi dalam HPN.Point terpenting adalah profesionalisme war-tawan dan kesejahteraan wartawan itu sendiri.Bukan rahasia lagi,profesi wartawan ini dipuji se-kaligus dicaci.Dipuji,karena pers dibutuhkan sebagai sumber edukasi,informasi bahkan investi-gasi.Pers juga dianggap sebagai pilar keempat demokrasi setelah eksekutif,legislatif dan judikatif.
Tapi tidak sedikit oknum wartawan yang kerap dicaci.Sebagaimana halnya polisi,pers bisa menjadi anjing penjaga,tapi sekaligus menjilat dan menikmati penjagaan itu sendiri.Lewat tulisan dan pemberitaannya seorang wartawan bisa saja melakukan bargaining,negosiasi bahkan ancaman pemerasan materi. ’Amplop’ sebagai ‘tanda terima kasih’ atau ‘uang diam’ yang diberikan pejabat,kantor pemerintah atau pengusaha seakan menjadi barang lumrah diterima para wartawan,sehingga wartawan kerap disamakan dengan preman berkamera.Pemberitaan yang ti-dak berimbang dan komprehensif (cover both stories) juga seringkali menjadi keluhan banyak kalangan.Ulah ini membuat sebagian orang mencibir dan mencaci.Tapi,di sela cibiran dan ca-cian,mereka masih menanti berita terbaru di televisi,menunggu datangnya koran di pagi hari.Pers dicaci, tapi masih dinanti.
Di tengah tuntutan profesionalisme,ternyata dari kalangan internal industri pers itu sen-diri yang belum juga bisa profesional.Lagi-lagi bukan rahasia jika mayoritas wartawan dibayar dibawah standar profesional.Jika mau jujur, banyak wartawan yang dibayar jauh di bawah UMR. Sehingga tidaklah heran jika mereka mengandalkan uang “amplop” bahkan menjadi “tumin’ alias tukang minta-minta di kantor-kantor pemerintahan.
Di tengah persaingan media,wartawan dituntut memberitakan berita seaktual mungkin. Tidak jarang mereka harus memacu sepeda motor sekencang mungkin ke TKP demi sebuah be-rita yang baru saja terjadi.Namun,semua tuntutan ini tidak dibarengi fasilitas memadai, asuransi kesehatan misalnya.Mayoritas wartawan bekerja tanpa asuransi memadai.Jika terjadi kecelakaan, tak jarang perusahaan lepas tangan,hanya berucap "ikut berduka" dengan bantuan ala kadarnya.
Pers dan wartawan tidak dapat dipisahkan dengan media massa.Ibarat sebuah warung, wartawan adalah para koki, sedangkan redaktur adalah penyaji menunya sedangkan media,baik surat kabar,tabloid atau majalah adalah warungnya.Ibarat sebuah warung yang menghidangkan makanan siap saji,selain harus cepat memenuhi permintaan pelanggan tentu saja mutu kelezatan-nya juga tak boleh berkurang.Sebab jika sedikit saja lambat menghidangkan atau bahkan rasanya lain akibat kurang bumbu atau faktor lainnya, sudah pasti pelanggan sebuah warung berlahan-lahan akan berpindah mencari yang lebih cepat,lengkap atau lezat lagi.
Begitu pula yang dialami dunia pers dewasa ini selain dituntut lebih cepat dalam menya-jikan serta mengedarkan informasi, sudah barang tentu harus pula dibarengi dengan peningkatan kualitas informasi yang disajikannya.Apalagi jika diingat bahwa persaingan antar media massa kini sudah semakin ketat, tidak saja antara media yang sejenis seperti koran harian satu dengan koran harian lainnya,tapi sebaliknya justru harus berhadapan dengan kenyataan bahwa media elektronik baik televisi,radio atau internet yang pasti lebih cepat dalam menyajikan dan menyam-paikan informasi.
Untuk mempertahankan keberlangsungannya,banyak media massa kini malah lebih me-nampilkan sederet iklan dan hiburan yang mengarah kepada kemesuman.Lembaran kertas itu tak pernah sepi dari iklan-iklan sepele yang mempromosikan obat kuat,jimat pengasihan,praktik paranormal,ramalan dan kadang-kadang juga rumus-rumus angka yang entah untuk apa.Nomor-nomor telepon dan SMS premium untuk berbuat mesum dengan gambar wanita dan kata-kata yang merangsang juga kerap ditampilkan.Tata bahasa yang digunakan oleh media massa tersebut juga sangat memprihatinkan.Semoga saja tidak dibaca oleh anak-anak kita yang masih SD.
Apakah memang demikian wajah dunia pers kita yang justru telah mendapatkan kebe-basannya? Nah, kalau sudah terlanjur begini lalu kini menjadi kewenangan dan tanggung jawab siapa? Terutama untuk menata kembali carut-marutnya dunia pers kita.Terkait dengan kebebas-an pers,tokoh pers nasional,Atmakusumah Astraatmadja (Kompas,9/2/08),mengakui dalam era kebebasan pers ini ada insan pers yang menyalahgunakan kebebasan pers itu.Mereka adalah insan pers yang tidak memahami kode etik jurnalistik dan pengelola media itu belum berpenga-laman dan masih memerlukan perbaikan mutu.
Pada Hari Pers Nasional barangkali sangat tepat dijadikan momentum untuk mengevalua-si dan memperbaiki dunia pers kita di masa mendatang.Pers yang dikelola secara profesional seharusnya tidak lagi tergantung kepada siapapun,pemuatan beritanya mestinya juga tak lagi tendensius tapi benar-benar mengedepankan profesionalisme.Sehingga eksistensi sebuah media akan terus mendapat kepercayaan masyarakat dan akan terus tetap terjaga keberlangsungannya. Pers seharusnya juga dapat menjadi sarana pendorong generasi muda meningkatkan minat baca dan sebagai sarana edukasi disamping sebagai sarana hiburan. 
Harapan kita ke depan adalah agar pers nasional mampu berkembang lebih maju sesuai keinginan semua pihak.Tidak ada lagi sosok pers yang dituduh sebagai ‘preman berkamera’ atau dituduh sebagai penyebab keruwetan permasalahan bangsa.Tapi pers harus menjadi tonggak dan solusi atas masalah yang dihadapi bangsa dan negara.Masih panjang perjalanan pers nasional untuk mencapai kata ideal.Tapi semuanya bukan mustahil untuk dicapai.***