Imlek Memperkaya Kebhinekaan dan Mempererat Persatuan


Imlek Memperkaya Kebhinekaan dan Mempererat Persatuan
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 1 Februari 2011

            Sebenarnya tidak perlu lagi dipertentangkan, apakah Imlek itu perayaan budaya atau keagamaan. Pada tahun baru Imlek, orang Tionghoa ada yang pergi ke Vihara atau Kelenteng. Yang beragama Kristen pergi ke gereja. Sementara yang Muslim ada yang mengadakan doa bersama di Masjid. Imlek tidak berbeda dengan perayaan tahun baru Masehi. Bukankah kita memakai kalender Masehi yang merupakan penanggalan dari tradisi Kristen di Eropa? Bahkan pencipta kalender Masehi adalah Paus Gregorian, pemimpin agama Katholik di Vatikan, Roma, yang tujuan awalnya memang untuk ritual keagamaan.
Kalendar Imlek (lunar) dibuat berdasarkan siklus bulan mengelilingi bumi, formatnya berbeda dari kalendar Gregorian (Masehi) yang berpatokan pada siklus bumi mengelilingi matahari (solar). Dalam kalendar Tionghoa, awal tahun dimulai antara akhir Januari dan awal Februari, itulah mengapa perayaan tahun baru Imlek selalu berbeda setiap tahun. Metode siklus tahun baru Imlek adalah 12 tanda hewan, atau  yang kita kenal sebagai shio.
Shio menandakan fungsi sosial yang berguna untuk mencari tahu umur seseorang. Daripada menanyakan secara langsung berapa umur seseorang (di beberapa kebudayaan dianggap tidak sopan), seringkali orang hanya bertanya apa shio dari orang tersebut. Ini akan menaruh orang tersebut dalam siklus 12 tahun, dengan sedikit akal sehat menggunakan logika matematika sederhana, kita bisa menghitung umur orang tersebut.
Tahun baru Imlek atau Sin Cia lebih dari sekadar urusan ang pau atau mengangkat dupa di Kelenteng. Sin Cia adalah perayaan bagi petani di negeri Tiongkok dalam menyambut musim semi. Dalam perjalanan waktu, bangsa Jepang, Korea, Vietnam dan lainnya ikut merayakan. Musim semi dirasakan sebagai sesuatu yang membawa kegembiraan, simbol tumbuhnya sesuatu yang baru dan memberikan harapan baru dalam hidup. Itulah mengapa Sin Cia disebut juga sebagai Spring Festival (Perayaan menyambut musim semi). Perayaan Sin Cia dimulai pada hari pertama bulan kesatu berdasar penanggalan tradisional Tionghoa, dan berakhir pada hari ke lima belas, lebih dikenal sebagai Lantern Festival atau cap go meh.
Merah adalah warna dominan pada perayaan Sin Cia. Merah identik dengan kebahagiaan, merah juga simbol dari kebaikan hati, kebenaran dan ketulusan hati. Selain itu bunyi karakter “merah” atau “hung” identik dengan karakter “makmur.” Itulah mengapa warna merah menjadi warna kesukaan masyarakat Tionghoa, apalagi pada masa perayaan Sin Cia.

Melebur Menjadi Satu
            Sejak pencabutan larangan perayaan Imlek oleh  almarhum mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), semarak dan gaung perayaan tersebut bisa dirasakan dan dijumpai di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semakin tegas lagi, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Hari Tahun Baru  Imlek sebagai hari libur nasional pada tahun 2003.  Perayaan imlek semakin meriah dan mewarnai suasana kehidupan NKRI. Pengakuan pemerintah atas Hari Raya Imlek sebagai Hari Nasional (Keppres No.19 Tahun 2002) memperteguh amanat konstitusi yang menekankan Bhinneka Tunggal Ika.
            Sebuah kenyataan yang harus kita terima bahwa inilah Indonesia. Di sinilah tempat berkumpul berbagai macam suku, keturunan, agama dan kepercayaan. Kini semua itu melebur menjadi satu yaitu bangsa Indonesia.  Memang penyadaran bahwa kita merupakan satu kesatuan, meski berasal dari latar belakang yang berbeda, membutuhkan proses yang panjang. Sepanjang proses itu berlangsung, bukan tidak mungkin sering terjadi saling curiga, iri, kesalahpahaman, gesekan bahkan konflik berdarah. Namun semua itu tidak perlu membuat kita berkecil hati dan menyurutkan upaya untuk membangun saling pengertian.
Semua bangsa-bangsa di dunia juga melalui proses yang panjang seperti ini. Hanya saja ada yang kemudian mampu bertahan menjadi satu kesatuan bangsa yang kuat seperti bangsa Amerika, tetapi ada pula yang kemudian terpecah seperti bangsa Yugoslavia atau Uni Sovyet.
Kita tentunya berharap bahwa kita akan mampu terus tumbuh bersama seperti bangsa Amerika dengan semboyan E Pluribus Unum, yang secara harfiah mempunyai kesamaan makna dengan Bhinneka Tunggal Ika. Untuk itu toleransi di antara kita harus terus dikembangkan agar kita menjadi bangsa yang kuat. Dengan itu diharapkan kesadaran dari setiap warganegara, darimana pun mereka berasal, untuk ikut serta membangun negara ini agar terus tumbuh dn maju.
Bukan hanya sekadar kemeriahan Imlek yang pantas disyukuri dari terobosan besar yang dilakukan Gus Dur, tetapi masyarakat Tionghoa harus mampu menjadi bagian yang integral dari bangsa ini. Mereka bukan lagi warganegara kelas satu atau kelas dua, tetapi seperti juga warganegara yang lain, mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama. Maka kita berharap masyarakat Tionghoa melepaskan sikap rendah diri, atau menjadi tinggi hati karena pencapaian ekonomi yang lebih baik. Mereka harus merasakan bahwa inilah rumah mereka juga. Untuk itu maka menjadi kewajiban mereka juga untuk ikut membangun rumah besar ini.
Masyarakat Tionghoa diharapkan bisa menularkan kultur mereka yang ulet, hemat, tekun dan selalu bekerja keras kepada bangsa ini. Kekuatan mereka dalam membangun jejaring, perdagangan, ekonomi dan mengembangkan bisnis juga sangat dibutuhkan untuk membuat bangsa dan negara ini menjadi kekuatan yang disegani di dunia. Dengan potensi sumber daya alam yang kita miliki, kehadiran masyarakat keturunan Tionghoa akan bisa membuat semua kekayaan di bumi Indonesia ini menjadi lebih bernilai. Mereka bisa ikut mengubahkan semua kekayaan itu menjadi kegiatan usaha yang membuat seluruh rakyat ikut menjadi bagian yang bukan hanya berperan serta tetapi juga menikmati hasilnya.

Menyatukan Kekuatan
Bangsa ini akan tumbuh menjadi bangsa yang kuat apabila mampu menyatukan kekuatan yang ada. Kebhinekaan yang dimiliki dioptimalkan sebagai sebuah kekuatan, bukan sesuatu yang malah melemahkan. Untuk itu, kita harus membuang jauh-jauh segala prasangka dan kepura-puraan. Apabila masih ada ganjalan, sampaikan persoalan yang dirasakan itu agar bersama-sama kita pecahkan. Jangan biarkan semua perasaan yang mengganggu itu terpendam, sehingga kita tidak tahu bahwa masih ada masalah yang belum kita pecahkan.
Meski kita sepakat untuk menghapuskan berbagai diskriminasi, namun kenyataannya sikap itu terkadang masih muncul. Termasuk perlakuan diskriminatif terhadap warga Tionghoa masih sering dikeluhkan. Sekali lagi kita tidak perlu berkecil hati. Kita melihat keberagaman terus berkembang. Kita sudah melihat seorang Tionghoa menjadi seorang Laksamana dan bahkan dipercaya menjadi Kepala Staf Angkatan Laut.
Laksamana Bernard Kent Sondakh yang menjadi KSAL di zaman Presiden Megawati menjadi contoh bahwa tidak ada batasan lagi bagi siapa pun untuk mencapai jabatan tertinggi. Sepanjang mereka memiliki kemampuan dan bersedia untuk mengabdi kepada Ibu Pertiwi, maka siapa pun harus diberi kesempatan yang sama. Siapa pun bisa menjadi anggota Polri atau TNI. Sekarang ini tidak ada lagi diskriminasi untuk menduduki jabatan politik, bahkan menjadi Presiden pun bisa asal sejak kelahirannya adalah warga negara Indonesia.
Perkembangan masyarakat Tionghoa dalam ikut serta dalam kegiatan politik dewasa ini cukup menggembirakan. Jabatan menteri, duta besar, walikota, bupati, anggota DPR/DPRD dan sebagainya sudah tidak asing dipegang oleh orang Tionghoa. Bahkan di antara mereka ada yang berprestasi dan patut menjadi teladan, seperti Basuki Tjahya Purnama, Bupati di Belitung. Walaupun masyarakatnya mayoritas suku Melayu dan beragama Islam, tapi ia terpilih menjadi Bupati. Ia terpilih karena ia terkenal jujur dan anti-korupsi, bahkan ia tidak keluar satu sen pun untuk meraih jabatan tersebut.    
Hari Kamis, masyarakat Tionghoa akan merayakan tahun baru mereka. Kemeriahan Imlek telah dirasakan oleh kita semua. Semoga ini menjadi penyemangat bagi kita semua untuk mewujudkan Indonesia yang semakin kuat. Bukan zamannya lagi, kita mengkotak-kotakkan diri menurut suku, agama dan keturunan. Bukan zamannya lagi kita memasang tembok tinggi, yang menghalangi kita berbaur dengan tetangga di lingkungan sekitar. Keamanan dan kenyamanan justru kita dapat jika mampu membaur dengan masyarakat secara ikhlas, bahwa kita adalah mereka dan mereka adalah kita.  
Harapan Baru
Kurang lebih sepuluh tahun terakhir, masyarakat Tionghoa benar-benar diberi kebebasan mengekspresikan identitas mereka melalui bidang kesenian dan kebudayaan. Sebagai bagian dari warga negara Idonesia, etnis Tionghoa dan bersama semua kelompok suku bangsa lain di Indonesia memiliki tanggung jawab dan komitmen untuk pembangunan bangsa dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan. Semua etnis di Indonesia semestinya memberikan kontribusi dalam mewujudkan kehidupan bangsa Indonesia yang lebih maju, makmur, sejahtera, adil, demokratis dan bermartabat.
Segala praktek curang seperti korupsi, kolusi dan nepotisme dalam bisnis dan kehidupan bernegara, paham hidup eksklusivisme harus dibuang jauh dalam kehidupan bersama. Kesetaraan dan kesamaan hak adalah prinsip kebersamaan. Semangat solidaritas dan setia kawan perlu dibangun atas dasar saling percaya dan menghormati perbedaan yang ada.
Orang-orang Tionghoa tidak perlu lagi merasa dipaksa melakukan asimilasi dan melakukan pembauran dengan etnis lainnya. Biarkan proses ini berjalan secara alami. Mereka tetap boleh memelihara budaya dan identitas etnik, tetapi diharapkan tetap berintegrasi dalam masyarakat Indonesia yang lebih besar. Iklim yang lebih maju ini akan berlanjut menjadi dorongan bagi etnis Tionghoa untuk bekerja bagi Indonesia yang lebih baik.
Tidak perlu Imlek menjadi ajang eksklusivisme baru dengan mengkhususkan ketionghoaan di atas budaya lokal lain. Ini berarti bahwa perayaan Imlek dengan segala atraksi budayanya seperti barongsai, liong, penyalaan lampion, hio, pembagian ang pao dan penyajian aneka penganan harus dimaknai sebagai sesuatu yang biasa seperti kita menonton tari kecak sambil menyantap sate madura misalnya. Di beberapa daerah perayaan Imlek diselenggarakan dengan mengkolaborasikan dengan atraksi budaya lokal lainnya. Bukankah lebih indah jika kebhinekaan ini terus kita perkaya?
Lebih dari itu, perayaan Imlek dapat dijadikan sebagai perekat persaudaraan antar anak bangsa. Imlek secara kultural, filosofis maupun historis adalah momentum persatuan antarketurunan warga China yang notabene begitu majemuk dalam berbagai dimensi, baik ditinjau dari marga, klan mupun suku. Dari sisi religi saja misalnya, keturunan China penganut Taoisme, Buddhisme dan Konfusianisme. Penganut ketiga agama ini bukanlah bebas konflik pada masa lalunya. Mereka bisa bersatu dan membaur tanpa sekat saat merayakan Imlek. Imlek menjadi sarana mempererat persatuan di antara mereka. Inilah hikmah yang harus kita ambil dari Imlek sebagai anak bangsa yang berlainan suku dan agama. Itu pulalah sebabnya, pada kenyataannya kini, perayaan Tahun Baru Imlek terus berkembang sebagai sebuah perayaan tradisi. Bukan sekadar perayaan hari besar agama semata. ***