Memaknai Imlek sebagai Wahana Integrasi Bangsa
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 23 Januari 2009
Imlek saat ini dimaknai bukan hanya sebagai ritual suatu agama tertentu saja,tetapi telah menjadi ungkapan syukur pergantian tahun yang universal sama dengan perayaan tahun baru Masehi.Karena itu beberapa tahun lalu,warga Tionghoa yang menganut agama Islam di Yogyakarta melaksanakan perayaan Imlek di masjid setelah mendapat dukungan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Yogyakarta yang memberikan izin kepada Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) untuk melakukan kegiatan Imlek di Masjid Syuhada,Kotabaru,Yogyakarta.
Penulis sendiri yang mempunyai isteri dari keturunan etnis Tionghoa juga sering meraya-kan Imlek dengan keluarga dari pihak isteri.Kalau dipikir mirip juga dengan Hari Raya Idul Fitri, menjelang Imlek juga ada semacam pemberian ‘zakat’.Yang penghidupannya sudah mapan ber-kesempatan untuk memberi santunan kepada mereka yang berkekurangan.Maka hari itu disebut juga sebagai Hari Persaudaraan (Ji Si Siang Ang).Saat Imlek juga ada acara silaturahmi,saling memberi hormat dan mendoakan semoga panjang umut,murah rejeki dan sehat sejahtera sambil memohon ampunan kepada orang tua dengan melakukan sungkem/hormat (Kui Ping Sien). Se-dangkan kepada saudara saling memaafkan lalu saling mengunjungi sanak keluarga,tetangga dan sehabat untuk menyampaikan hormat dan saling mendoakan diiringi saling maaf-memaaf-kan serta tak lupa pula bagi-bagi angpao.
Imlek yang merupakan saat pergantian tahun,sudah sepatutnya kita syukuri karena seiring dengan bergulirnya waktu,integrasi bangsa Indonesia meskipun telah mengalami berbagai coba-an yang silih berganti masih tetap eksis dan survive.Imlek sebagai salah satu budaya masyarakat Tionghoa yang diakui keberadaannya merupakan khazanah budaya bangsa yang perlu dilestari-kan dan diperingati dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Kita tidak perlu lagi memperdebatkan bahwa Imlek adalah perayaan agama Konghucu dan eksklusif hanya milik warga Tionghoa.
Dibutuhkan waktu dan perjuangan yang panjang sehingga Imlek diakui sebagai salah satu hari besar di Indonesia dan sebagai hari libur nasional seperti sekarang ini.Selama tiga puluh dua tahun era Orde Baru,etnis Tionghoa di Indonesia seakan terisolasi dari segala kegiatan sosial bu-daya dan politik.Setelah meletusnya G30S/PKI,pemerintahan Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Cina.Segala kegiatan keagamaan,kepercayaan dan adat istiadat Cina tidak boleh di-lakukan lagi.Hal ini dituangkan kedalam Inpres No. 14 Tahun1967.
Disamping itu,masyarakat etnis Tionghoa tetap dicurigai masih memiliki ikatan yang ku-at dengan tanah leluhurnya dan rasa nasionalismenya terhadap Negara Indonesia selalu diragu-kan.Akibatnya keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap masyarakat etnis Tiong-hoa baik dalam bidang politik maupun sosial budaya.Selain itu juga dikeluarkan Surat Edaran No. 06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama.Dalam surat itu disebutkan bahwa masyarakat etnis Tionghoa harus mengubah nama Cina-nya menjadi nama yang berbau Indone-sia.Sehingga tidaklah mengherankan jika kemudian bermunculan nama-nama baru yang secara akustik kedengarannya sangat aneh dan lucu.
Setelah era reformasi,Imlek ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari libur nasional.Arti-nya,kepercayaan dan kebudayaan yang bersangkut-paut dengan Imlek atau etnis Tionghoa telah diakui keberadaanya di Indonesia.Apa sebenarnya latar belakang dari keputusan tersebut? Apa-kah karena alasan politis atau karena aset ekonomi mereka cukup besar,maka perlu dilindungi? Ataukah memang untuk membina kebersamaan dalam rangka berbangsa dan bernegara? Keber-samaan kiranya akan jauh lebih penting dari hanya sekadar kepentingan politis ataupun ekono-mis.Karena itu hadirnya kesemarakan Imlek di tengah-tengah masyarakat tidak untuk meman-cing konflik atau kecemburuan sosial,tetapi harus didesain untuk menumbuhkan kebersamaan. Di dalam hukum dan pemerintahan tidak ada perbedaan antara suku Jawa,Batak,Melayu dengan orang Tionghoa.Kita semua adalah orang Indonesia.
Aspek Historis
Siapakah sebenarnya orang Tionghoa di Indonesia? Pertanyaan ini tidak mungkin bisa di-jawab secara gegabah.Yang jelas bisa dipastikan,mereka sudah sangat berbeda dengan orang Tionghoa yang ada di daratan China.Jauh sebelum abad XX,orang Tionghoa yang datang di bu-mi Nusantara telah mengasimilasikan diri dengan penduduk asli,bahkan pernah terjadi pada sua-tu periode mereka lebur dalam kehidupan penduduk asli,sehingga ciri-ciri mereka hilang sama sekali.Mereka larut menyatu dengan kebudayaan penduduk asli.Kala itu mereka yang datang ke-banyakan laki-laki,yang kemudian menikah dengan wanita pribumi dari kalangan muslim.Ke-turunan mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai Tionghoa peranakan,yang semestinya di-bedakan dari Tionghoa totok.Ciri-ciri kaum Peranakan ini dapat dengan mudah dibedakan dari bahasa yang mereka gunakan.Kaum Peranakan umumnya mengunakan bahasa daerah (Jawa, Sunda,Madura sebagainya) sebagai bahasa utama,sedangkan kaum totok menggunakan bahasa menurut sukunya,seperti Hokkian,Tio Ciu,Hakka,Kantan,Hinghua,Hainan dan sebagainya.
Dibandingkan dengan negeri-negeri lain,khususnya di Asia Tenggara,apa yang dialami orang-orang Tionghoa di Indonesia tergolong paling luar biasa.Perlakuan diskriminatif dilaku-kan oleh pemerintah sejak masa kolonial.Di masa kolonial ada UU Agraria (1870) yang mela-rang orang-orang Asing (termasuk Tionghoa) bergerak di bidang pertanian.Puncak tragedi terjadi dengan pembantaian orang Tionghoa oleh tentara VOC tahun 1740 di Batavia,yang meluas men-jadi Geger Pacinan atau Perang China di Jawa.Perubahan situasi di China Daratan terbukti juga berpengaruh terhadap sikap dan orientasi orang Tionghoa di Indonesia.Kebangkitan Nasional di Daratan China awal Abad XX,mendorong munculnya perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) pada 17 Maret 1900,disusul berdirinya SD Tionghoa dengan sistem modern,berbahasa pengantar bahasa Mandarin.Lembaga ini ternyata begitu efektif untuk "menionghoakan kembali" orang-orang yang disebut Tionghoa Peranakan.
Akibat terjadinya "geger pacinan" oleh pemerintah Kolonial Belanda,terbentuk China Town,dan upaya stratifikasi sosial versi kolonial yang membagi masyarakat menjadi tiga kelas, yakni kelas satu untuk orang Eropa,kelas dua untuk Orang-orang Timur Asing (termasuk Tiong-hoa) dan pribumi sebagai kelas terendah.Masalah inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab munculnya disintegrasi dan konflik sosial di masa-masa kemudian.Setelah Indonesia merdeka, sikap diskriminatif masih terus berjalan.Misalnya ada persetujuan antara Menlu RRC Chou En Lai dan Menlu RI Soenaryo mengenai penghapusan dwi kewarganegaraan,PP No 10/1959 ten-tang larangan orang Tionghoa asing berusaha di luar ibukota kabupaten.Juga kebijakan pemerin-tah di bidang pendidikan yang "asimilasionis" yang tujuan utamanya adalah berkurangnya peng-gunaan bahasa Tionghoa.
Contoh lain ialah adanya peraturan KASAD bulan April 1958 yang menutup semua surat kabar yang terbit dengan huruf selain Latin dan Arab.Juga pembatasan penggunaan bahasa Tionghoa di tempat terbuka dan mendesak orang WNI Keturunan tidak lagi menggunakan baha-sa asli.Di masa Orde Baru,bahkan keluar Inpres No 14/1967 yang intinya bahwa agama dan adat istiadat Tionghoa hanya diizinkan dipraktikkan di lingkungan keluarga.
Dikotomi pri dan non-pribumi telah menjadi komoditas yang sangat baik bagi isu-isu SARA di masa pemerintahan Orde Baru.Walaupun banyak upaya telah dilakukan,baik oleh to-koh pribumi ataupun sebaliknya dari kalangan non pri untuk membuktikan kesungguhan akan keindonesiaannya,namun belum membuahkan hasil yang diharapkan.Kondisi tersebut diperparah dengan kebijakan pemerintah Orde Baru,yang dalam praktiknya menerapkan standar ganda ter-hadap orang-orang Tionghoa.Di satu sisi khususnya sektor ekonomi,mereka diberi peluang,pada sisi lain secara politik dan kultural ditekan.Dampak kebijakan itu adalah adanya perbedaan sosial ekonomi yang begitu mencolok antara pri dan non pri,yang akhirnya bermuara pada munculnya kecemburuan sosial dan isu SARA dan berpuncak pada tragedi bulan Mei 1998.
Di era sekarang,pemerintah sedang berupaya keras agar Republik ini menjadi negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum,berkeadilan,demokratis,tidak diskriminiatif,peduli akan HAM dan menyikapi perbedaan sebagai rakhmat Tuhan Yang Maha Esa.Terbitnya Keppres No. 6/2000 merupakan angin segar bagi etnis Tionghoa yang selama era Orde Baru secara fisik maupun psikis dibelenggu,karena dijauhkan dari segala anasir yang berhulu pada budaya leluhur mereka.Apalagi kini juga telah terbit UU No 12/ 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia,yang sangat memudahkan mereka untuk memperoleh status WNI.
Dengan demikian era reformasi ini sesungguhnya telah memberi peluang kepada semua pihak,tidak terkecuali etnis Tionghoa,untuk membuktikan diri sebagai pewaris sah Republik In-donesia tercinta ini.Akan tetapi peluang baik ini tidak mustahil justru bisa menjadi hambatan proses integrasi,terutama jika kiprah mereka salah langkah sehingga tumbuh kesan bahwa orang Tionghoa Indonesia justru semakin eksklusif.
Maka peringatan Imlek sesungguhnya menjadi sangat strategis untuk mendorong keber-samaan,baik dalam intra maupun inter komunitas etnis Tionghoa dan menjadi wahana integrasi bangsa.Sekarang ini masyarakat dari berbagai kalangan etnis sudah dapat berbaur tanpa sungkan lagi menikmati suguhan yang bernuansa budaya etnis Tionghoa,seperti baronsai atau liong. Bahkan makanan seperti kue bakul atau kue keranjang telah menjadi makanan favorit dan turut juga dinikmati oleh masyarakat non Tionghoa di Hari Raya Imlek.***