Indonesia Menuju Negara Gagal?
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 12 Februari 2011
Indonesia sebagai failed state (negara gagal) menjadi topik perbincangan paling hangat dalam dua tahun terakhir ini. Di Google, bila kita ketik “Indonesia negara gagal”, hanya dalam tempo 30 detik akan muncul lebih dari 1 juta topik. Memang banyak forum digelar, dan ratusan artikel ditulis para ahli, untuk mengupas nasib negeri kita yang terindikasi sebagai negara gagal.
Forum Lintas Agama dan Forum Rektor PTN dan PTS di kampus Universitas Negeri Jakarta, Rawamangun (4/2/2011), menyatakan ciri-ciri negara gagal antara lain, merosotnya pelayanan publik dan delegitimasi peran negara. Di Indonesia saat ini, 17 gubernur dan 157 bupati/walikota terindikasikan melakukan korupsi. Ironisnya, tersangka masih dilantik menjadi kepala daerah, lalu masih bisa melantik bawahannya di penjara. Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menambahkan, tingkat kehidupan bangsa Indonesia kini sudah mendekati taraf keterpurukan dan sedikit lagi masuk dalam kategori failed state (negara gagal).
Apa itu negara gagal? Sosiolog Noam Chomsky, dalam buku Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy, sebuah negara bisa dinyatakan gagal bila tidak punya kemampuan melindungi warganya dari berbagai tindak kekerasan dan ancaman kehancuran. Negara tidak bisa menjamin hak-hak rakyatnya, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Institusi-institusi demokrasi juga gagal dipertahankan. Sebuah negara bangsa dianggap gagal jika tidak bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan baik.
Menurut The Fund for Peace dan Foreign Policy Magazine yang dirilis tahun 2010, Indonesia menempati urutan ke-61 dari 177 Failed State Index 2010. Urutan pertama ditempati oleh Somalia dan terakhir oleh Norwegia. Mengutip Stoddard dalam Ethnonationalism and the Failed State: Sources of Civil State Fragmentation in the International Political Economy Emerge, ia menyebut ada empat kategori negara/bangsa. Urutan 1-37 dalam indeks disebut sebagai negara runtuh (collapsed state). Urutan 38-129 disebut negara gagal (failed state), dan Indonesia termasuk di dalamnya. Urutan 130-164 disebut sebagai negara lemah (weak state). Urutan 165-177 disebut sebagai negara kuat (strong state).
Rotberg dalam The Nature of Nation-State Failure menyebut negara gagal dengan indikasi antara lain berupa keamanan rakyat tidak bisa dijaga, konflik etnis dan agama tak kunjung usai, korupsi merajalela, legitimasi negara terus menipis, ketidakberdayaan pemerintah pusat dalam menghadapi masalah dalam negeri, dan kerawanan terhadap tekanan luar negeri.
Masalah Kemiskinan
Menurut studi yang dilakuan World Economic Forum dan Universitas
Harvard sekitar tahun 2002 tentang negara gagal. Karakteristik negara gagal, antara lain, adalah tingginya angka kriminalitas dan kekerasan, korupsi yang merajalela, miskinnya opini publik, serta suasana ketidakpastian yang tinggi. Negara gagal pada awalnya banyak karena kegagalan di bidang ekonomi, yaitu ketidakefisienan yang parah dalam mengatur modal dan tenaga kerja dan ketidakmampuan melakukan distribusi / pengadaan pelayanan dan barang dasar bagi penduduk ekonomi lemah. Akibat selanjutnya adalah kemiskinan dan
pengangguran yang berkepanjangan.
Harvard sekitar tahun 2002 tentang negara gagal. Karakteristik negara gagal, antara lain, adalah tingginya angka kriminalitas dan kekerasan, korupsi yang merajalela, miskinnya opini publik, serta suasana ketidakpastian yang tinggi. Negara gagal pada awalnya banyak karena kegagalan di bidang ekonomi, yaitu ketidakefisienan yang parah dalam mengatur modal dan tenaga kerja dan ketidakmampuan melakukan distribusi / pengadaan pelayanan dan barang dasar bagi penduduk ekonomi lemah. Akibat selanjutnya adalah kemiskinan dan
pengangguran yang berkepanjangan.
Sebuah studi kemiskinan Bank Dunia bertema Making The New Indonesia Work For The Poor menunjukkan bahwa di negara ini masih terdapat sekitar 39,1 juta orang atau sekitar 17,75% populasi masyarakat yang miskin. Artinya, angka kemiskinan di Indonesia selama satu dasawarsa terakhir belum membaik secara signifikan.
Tak pernah ada kabar gembira untuk rakyat kebanyakan. Dahaga rakyat akan kebijakan pro-mereka ibarat penantian panjang tak berujung. Alih-alih berupaya meringankan beban hidup rakyat, pemerintah malah sedang bersiap mengimplementasikan kebijakan pembatasan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Ironisnya, saat rakyat harus bersabar dalam nestapa, pemerintah beberapa kali menaikkan gaji pegawai negeri sipil (PNS) serta TNI/Polri. Aparat birokrat bahkan telah menerima remunerasi.
Ketika tepuk tangan bergema di ruang parlemen saat Presiden mengumumkan kenaikan gaji PNS, rakyat kecil hanya bisa meratap karena tak ada yang peduli pada nasib mereka. Ironisnya lagi, kenaikan gaji PNS maupun remunerasi tidak otomatis membuat kinerja pemerintah bertambah baik. Kualitas pelayanan birokrasi terhadap rakyat tetap saja buruk. Kejahatan oknum birokrat terhadap negaranya sendiri tetap marak. Hingga pekan ini harga bahan pangan masih melambung tinggi.
Tidak adanya kemajuan dalam program kemiskinan tersebut, menurut ekonom Institut for Develompment of Economic And Finance (INDEF), Iman Sugema, setidaknya bisa dilihat dari tiga sisi: income, beban hidup, dan ada tidaknya program antikemiskinan yang dibuat pemerintah. Kemudian tentang kemiskinan, pemerintah menggunakan patokan daya konsumsi atau purchasing power parity (PPA) per kapita USD1 per hari sebagai patokan kemiskinan, sementara PBB menggunakan patokan PPA USD2 per kapita per hari.
Tidak terlalu penting lagi mana yang lebih manusiawi, tetapi kedua angka patokan itu rasanya tidak relevan lagi dengan perkembangan atau laju kenaikan harga barang dan jasa di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini. Harga bahan pangan di Indonesia bahkan terus melonjak sepanjang 2010 hingga kini. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana dengan kualitas papan (perumahan) dan kualitas sanitasi yang memengaruhi langsung aspek kesehatan penduduk. Itulah sebabnya kualitas kesejahteraan menjadi jauh lebih penting untuk dikedepankan daripada sekadar statistik tentang jumlah warga miskin.
Negara Gagal?
Hari-hari ini, berita di radio, televisi, koran dan media online selalu dihiasi dengan pemberitaan korupsi dan mafia pajak yang dilakukan Gayus Tambunan cs. Selain Gayus, ada seorang pejabat kantor pajak bernama Bahasyim yang punya kekayaan Rp 932 miliar yang diduga hasil korupsi. Dan ironisnya hanya Rp 67 miliar saja yang disita oleh negara.
Selain berita soal korupsi yang dilakukan para pejabat dan kepala daerah, ada pula berita seputar rencana kenaikan gaji presiden dan para pejabat negara yang berjumlah sekitar 8.000 orang. Anggota dewan juga tidak ketinggalan meminta kenaikan gaji pula.
Ketika sebagain orang bergelimang harta dan berhasil mengumpulkan harta dengan segala macam cara, termasuk dengan korupsi. Negeri ini juga selalu dihiasi kisah penderitaan anak-anak kurang gizi dan kelaparan. Nasi aking menjadi salah satu menu rakyat. Tiwul dan gaplek yang terbuat dari ubi kayu menjadi pengganti nasi yang harganya melambung tinggi. Bangkai ayam menjadi buruan para orang miskin di kota. Di televisi, kita pernah menyaksikan bagaimana beberapa warga kota yang menjadikan tikus got sebagai lauk pengganti ikan. Di banyak daerah, kasus bunuh diri semakin meningkat sebagai akibat kemiskinan, terlalu banyak hutang dan penyakit yang tidak kunjung sembuh.
Artinya, kini kemiskinan telah merebak. Pantaslah Indonesia dikategorikan negara gagal. PBB memperhitungkan hampir separuh penduduk Indonesia hidup di bawah dua dollar perhari. Bagaimana orang bisa hidup dengan uang Rp 20.000 sehari di tengah harga pangan melambung tak terkendali?
Apakah Indonesia sudah menjadi negara gagal? Belum. Tapi setidak-tidaknya, Indonesia menuju dengan cepat ke arah itu. Banyak ukuran dalam membuat indeks negara gagal tersebut. Tapi secara umum disebutkan antara lain, pemerintah pusat sangat lemah dan tak efektif, pelayanan umum jelek, kemiskinan, pengangguran, korupsi dan kriminalitas menyebar, dan ekonomi merosot.
Negara nomor satu paling gagal adalah Somalia, disusul Chad, Sudan dan Zimbabwe di Afrika. Tapi coba bayangkan jika Indonesia masuk satu jajaran dengan negeri itu, bersama sejumlah negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin, semacam Timor Leste, Myanmar, Konggo, Haiti, Ethiopia, dan Uganda.
Sebagai catatan akhir, kegagalan negara bukanlah semata kegagalan pemerintah yang berkuasa, melainkan semua pihak yang terlibat dalam distorsi kebijakan publik yang dibutuhkan untuk menyejahterakan masyarakat. Merekalah yang sebenarnya memberikan kemiskinan kepada rakyat.***