Kemiskinan dan Berkah yang Tersembunyi


Kemiskinan dan Berkah yang Tersembunyi
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 17 November 2008

Banyak kalangan menganggap kemiskinan sebagai masalah klasik dan pembahasan me-ngenai kemiskinan dianggap membosankan karena hanya akan berputar-putar dalam suatu siklus yang tidak berujung pangkal.Padahal masalah kemiskinan adalah masalah kita bersama,masalah nyata yang kita hadapi sehari-hari di sekitar kita.

Kemiskinan merupakan ketidakmampuan seseorang,suatu keluarga atau sekelompok ma-syarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya,baik pangan maupun non-pangan,khususnya pen-didikan dasar,kesehatan dasar,perumahan dan kebutuhan transportasi.Ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar inilah yang biasa disebut dengan kemiskinan absolut.Jika kita meng-gunakan ukuran US$ 2-PPP (purchasing power parity ) /kapita/hari yakni ukuran yang diguna-kan Bank Dunia,pada 2007 angka kemiskinan mencapai 105,3 juta jiwa (45,2%) atau lebih ren-dah dari angka pada 2006 yang mencapai 113,8 juta jiwa (49,6%).
Ada satu film yang menggambarkan betapa dahsyatnya kemiskinan serta akibat-akibat yang ditimbulkannya.Film itu berjudul "City of Joy" yang dibintangi Patrick Swayze yang populer bersama Demi Moore dalam film “Ghost” .Film City of Joy menggambarkan secara nyata keparahan kehidupan sosial ekonomi yang diakibatkan oleh lingkaran kemiskinan.Film ini mengisahkan keluarga-keluarga miskin yang sungguh merana hidupnya di salah satu kota terpadat di dunia,yaitu Calcutta,India.Di sana digambarkan bagaimana orang-orang tua yang ringkih dan berpenyakit tuberculosis harus menarik riksaw,bagaikan kuda beban untuk sekedar menyambung hidup.Dan bagaimana perlakukuan buruk dari para pemilik riksaw yang tidak me-ngenal belas kasihan terhadap kaum papa ini.Dan kaum dhuafa ini harus menyerah karena tidak ada pilihan lain untuk sekedar menyambung hidupnya.Dalam film ini digambarkan pula tempat-tempat yang sangat kumuh dan tempat-tempat yang dipadati pekerja seks,wanita-wanita yang terpaksa menjual harga dirinya karena dicekik oleh kemiskinan.
Keadaan kemiskinan di Indonesia memang tidak separah di India walaupun dalam berba-gai kasus ada kemiripan.Dalam waktu 10 tahun terakhir ini,berkat perekonominya yang semakin terbuka,India menunjukkan hasil yang lumayan untuk mengurangi kemiskinan.Ada satu survei lapangan yang dikerjakan oleh Tim Pemantau Kemiskinan Departemen Keuangan belum lama ini.Lokasi yang diambil adalah di Desa Tempel,Kecamatan Lelea,Kabupaten Indramayu. Masyarakat miskin di desa itu menggantungkan sumber hidupnya sebagai buruh tani.Pada saat panen,mereka bekerja sebagai buruh tani untuk memanen padi pada orang yang mempunyai sawah.Apabila kerja memanen telah usai mereka akan melakukan apa yang dikenal dengan "ngoreh dami".Ngoreh dami, mengorek-korek jerami bekas lalu dibanting-banting untuk mencari sisa gabah.Lebih dari itu,mereka juga melakukan apa yang dikenal dengan "remi", membanting ulang jerami yang sudah dibanting orang lain dengan harapan masih mendapatkan butiran gabah yang mungkin masih tersisa.
Ini baru satu gambaran nyata, di kota-kota besar sering kita jumpai anak-anak atau orang tua yang memungut beras yang terserak di toko-toko beras,kilang atau depot-depot penyimpanan beras.Beras yang tercecer sewaktu proses pengangkutan mereka kumpulkan.Beras yang telah bercampur dengan tanah,pasir atau kerikil mereka kumpulkan lalu dicuci dan dimasak.Pernah dengar istilah nasi aking? Nasi aking adalah nasi basi yang dijemur sampai kering lalu ditanak  untuk disantap kembali.Kalau di Medan para pengumpul nasi basi di pesta-pesta,restoran atau dari rumah ke rumah biasanya adalah peternak ayam,bebek atau babi.Bayangkan nasi basi yang sesungguhnya hanya layak untuk hewan ternak di beberapa daerah justru jadi makanan manusia.
Di Jakarta kita menemukan kasus terbaru lagi,yaitu “daging sampah”.Potongan daging, sosis atau bakso sisa pembuangan dari hotel atau restoran dikumpulkan,lalu diberi pewarna dan digoreng kembali untuk dikonsumsi atau dijual.Usaha daging sampah ini laris manis karena har-ganya sangat murah.Ini sangat dimaklumi,bagi orang miskin menikmati daging segar yang layak konsumsi adalah sebuah kemewahan yang nyaris tak pernah mereka rasakan.Tapi sesungguhnya mengkonsumsi daging sampah ini sangat berbahaya karena daging tersebut sudah basi kemudian diolah dengan pemberian zat pewarna tekstil dan diberi zat pengawet borax.
Di beberapa daerah akibat kemiskinan dan paceklik,masyarakatnya juga memulai hidup dengan “diversifikasi” makanan.Beras telah menjadi barang langka dan sebagai gantinya mereka memakan talas,jagung,dan singkong yang diolah menjadi gaplek atau tiwul sebagai makanan pokok.Untuk lauknya mereka memakan tikus,rayap,laron,jangkrik,belalang,ulat pohon,cicak, tokek,kadal dan sebagainya.Keterpaksaan dan keterdesakan yang membuat mereka menjadi pe-makan segala-galanya.Kita terkadang merasa mual dan mau muntah ketika mereka menyantap itu semua di layar televisi.
Kemiskinan membuat rakyat Indonesia terkenal dengan daya survive-nya dan tahan banting menghadapi segala kondisi yang kurang menguntungkan.Apakah kemiskinan itu suatu kerugian? Bukan tidak mungkin kemiskinan itu sendiri merupakan berkah yang tersembunyi bagi bangsa Indonesia,demikian cerminan dari artikel dalam jurnal “Environmental Science and Technology”, berjudul: “Ecological Knowledge is Lost in Wealthier Communities and Countries” yang dipublikasikan WWF.Indonesia dikenal sebagai penduduk dengan pengetahuan ekologi alam yang tinggi.
Pengetahuan ekologi alam adalah pengetahuan yang dikumpulkan manusia dari berbagai interaksi dengan alam sekitar, terutama diperlukan untuk mengatur dan mengkonservasi alam. Berbekal pengetahuan ini,masyarakat (atau dalam skala lebih besar lagi: negara) dapat memaju-kan kesejahteraan penduduknya sambil terus memastikan bahwa sumber daya alamnya tidak akan terbengkalai.
Menurut penelitian WWF,bangsa Indonesia termasuk bangsa yang sangat adaptable da-lam menghadapi perubahan alam sekitarnya.Masyarakat Indonesia terutama di desa dan peda-laman mempunyai kemampuan mengenali jenis tumbuhan/hewan liar di lingkungan sekitar dan kemampuan memaparkan fungsi/kegunaan tumbuhan/hewan tersebut.Bangsa Indonesia termasuk bangsa “ecologist” yang mempunyai banyak pengetahuan suatu flora dan fauna yang berada di sekitarnya.
Ada dua kemungkinan dalam menyikapi hasil riset WWF tersebut.Bagi yang memilih bersikap skeptis,maka mungkin akan terpikir bahwa penduduk Indonesia ternyata masih hidup di alam zaman batu dan akan terus menjadi miskin selama mereka tergantung dengan pengetahuan ekologi alam sekitarnya.Namun,bagi mereka yang cenderung berpikir positif,bisa jadi justru ter-bersit bahwa kemiskinan penduduk Indonesia saat ini hanyalah cara tak terduga yang me-nyibakkan berkah nan tersembunyi,berupa pengetahuan ekologi alam yang kaya.
Melihat kasus di beberapa negara maju,ketika penduduknya bertambah kaya,maka pe-ngetahuan ekologi hanya tersisa pada segelintir orang yang memang sengaja mencari dan meme-liharanya (misalnya mereka yang memang mengambil jalur pendidikan yang mempelajari me-ngenai ilmu lingkungan).Mereka sangat rentan terhadap perubahan lingkungan di sekitar.Penge-tahuan mereka tentang flora dan fauna sangat minim,tidak bisa membedakan mana yang bisa dikonsumsi mana yang tidak.Maka tingkat survival bangsa Indonesia sebenarnya lebih tinggi ketika tersesat di hutan atau ketika mengalami resesi ekonomi.Bangsa kita adalah bangsa yang “tahan banting” karena masyarakatnya terbiasa hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan.
Hal ini sebenarnya peluang bagi pemerintah Indonesia agar bagaimana caranya tingkat kesejahteraan penduduk bisa meningkat,sementara di saat bersamaan juga menjaga kumpulan pengetahuan ekologi yang dimiliki masyarakat agar selalu eksis dan bisa bertambah manfaatnya untuk lingkup nasional.Tapi harus diingatkan pula bahwa kemampuan sebagian masyarakat da-lam memakan tikus,cicak,ulat atau katak dan sebagainya bukanlah sebuah prestasi yang mem-banggakan dalam pengetahuan ekologi tapi semua itu adalah keterpaksaan akibat kemiskinan.**