Makna Mudik dalam Beragam Dimensi


Makna Mudik dalam Beragam Dimensi
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 18 September 2009

Tidak setiap momen kehidupan bisa dijelaskan secara rasional. Buktinya setiap menjelang Idul Fitri kita selalu disibukkan dengan momen ini, yaitu mudik. Istilah mudik menjadi populer setiap menjelang berakhirnya bulan Ramadan. Tradisi mudik menjadi penanda bahwa hubungan emosional masyarakat dengan tempat kelahiran masih sangat kuat, tidak pernah terkikis oleh perjalanan waktu. Mudik dilatarbelakangi oleh kecenderungan menengok ke belakang, memandang masa lampau dan menegaskan kejatian diri, ”apa, siapa dan dari mana ia berasal”.
Mudik berasal dari kata “udik” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sungai di sebelah atas (arah dekat sumber) atau daerah di hulu sungai. Kata itu mengandung makna positif, yaitu bagian atas sungai atau bagian kepala sungai yang dekat sumber mata air, sehingga jernih dan belum terkena polusi. Namun ada makna kedua, yaitu “udik” berarti desa, dusun, kampung. Konotasi yang berkembang cenderung negatif karena “orang udik” sering dikaitkan dengan kebodohan dan terbelakang.
Menurut sosiolog Dr. Munandar Sulaiman, banyak nilai yang terkandung dalam tradisi mudik. Misalnya, selain menjaga silaturahim dengan kerabat di kampung halaman atau lebih jauh kita akan tetap ingat kepada asal-muasal kita. Selain itu mudik juga bisa jadi momen unjuk diri. Ajang dimana bisa menunjukkan eksestensi dan keberhasilan seseorang selama di perantauan kepada masyarakat tempat dia berasal.
Makna mudik mulai mengalami pergeseran nilai dengan terkontaminasi oleh adanya kegiatan pamer kekayaan. Dan tanpa disadari masyarakat desa pun ikut terkontaminasi oleh budaya pamer tersebut. Mereka cenderung lebih menghargai mereka yang membawa kendaraan dan harta benda yang banyak ketimbang yang tidak punya apa-apa. Padahal seharusnya hikmah mudik yang terbesar dan harus dikedepankan adalah momentum kembali ke fitrah dengan melakukan sungkem dan memohon maaf pada orang tua. Mudik Lebaran juga merupakan momentum untuk dapat bersilaturahmi dengan keluarga dan masyarakat setelah sekian lama tidak bertemu. Sebuah tujuan yang sangat mulia dan memiliki nilai ukhuwah yang sangat tinggi.
Dimensi Sosial-Ekonomi
            Dipandang dari dimensi sosial menurut Hermawan Sulistyo (2004), fenomena mudik juga menjadi indikator ketergantungan desa pada kota. Status sosial menengah ke bawah di desa tidak mungkin dapat menaiki tangga sosial langsung ke lapisan elite lokal. Mengadu nasib ke kota merupakan salah satu jalan yang ditempuh agar mobilitas sosial dapat melalui “jalan tol” untuk naik tangga sosial. Para penjual bakso, soto atau rumah makan yang sukses misalnya, ketika pulang ke desa posisinya langsung masuk strata atas.
Ukuran kesuksesan hidup di kota ini pula yang sering menjadi beban sosial orang untuk mudik. Sudah lazimnya, kisah sukses harus dipamerkan ke komunitas asal. Mudik Lebaran adalah momentum paling tepat untuk maksud itu. Jadi merayakan kemenangan di hari Lebaran bukan hanya dalam arti religius, namun juga dalam segi material. Bagi yang belum sukses biasanya memilih untuk tidak mudik sampai ada identitas ekonomi atau status sosial yang bisa dipamerkan.
Menjadi migran kota dengan setumpuk cerita keberhasilan merupakan sebuah kebanggaan. Mudik menjadi salah satu media untuk mengomunikasikan cerita keberhasilan sekaligus menaikkan posisinya pada strata sosial yang lebih tinggi dari sebelumnya. Cerita sukses hidup di rantau biasanya diwujudkan dalam berbagai bentuk aksesoris dan gaya hidup para migran di tanah kelahiran. Tak pelak pada kondisi terakhir ini mudik juga menjadi media penyalur watak konsumeris dan hedonis yang berujung pada urbanisasi.
            Dari sisi ekonomi, aliran modal bakal mengalir ke kampung ketika mudik terjadi. Tentu saja ini menjadi sumber pemasukan bagi daerah. Tradisi mudik juga menjadi pemicu kegairahan aspek perekonomian lainnya. Perusahaan transportasi bersaing menawarkan pelayanan, bank menyodorkan berbagai pelayanan kebutuhan uang, sementara perusahaan komunikasi berusaha memanjakan pemudik dengan berbagai fasilitas. Walhasil, perekonomian di berbagai daerah jadi bangkit dan bergairah berkat kehadiran para pemudik.
Dimensi Psikologis
            Pulang ke kampung halaman bagi para pemudik bukan hanya sebatas untuk merayakan Lebaran bersama keluarga, tetapi juga untuk menghilangkan kepenatan beban kerja. Kerasnya kehidupan kota, bisingnya kota dan berbagai tekanan kerja lainnya membuat para migran ini mengalami stres di tempat kerja, sementara keluarga yang menjadi tempat berbagi rasa jauh darinya. Tenangnya suasana kampung halaman, sejuknya alam pedesaan, ramahnya keluarga dan kerabat menjadi alasan yang tidak dapat ditolak untuk tidak mudik. Nostalgia kehidupan keluarga di kampung halaman juga menjadi salah satu obat mujarab untuk menghilangkan stres bagi masyarakat migran kota.
Karena itulah, para pemudik menjadi tidak peduli dengan banyaknya energi yang harus dikeluarkan, seperti harus antre berhari-hari untuk bisa mendapatkan tiket dan dalam perjalanan harus melewati medan yang berat serta tingginya risiko yang harus dihadapi, seperti kecelakaan dan kriminalitas. Mereka pun yakin bahwa dengan bersilaturahim di kampung halaman bersama anggota keluarga dan handai taulan, mereka akan menemukan kembali jati dirinya dan menimba kembali semangat dan kekuatan baru untuk menjadi penangkal dan senjata dalam menghadapi realitas kerasnya persaingan dalam kehidupan di kota nanti.
Dimensi Spiritual
            Menurut Umar Kayam (2002), mudik secara historis merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah dikenal sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit. Pada awalnya, kegiatan ini bertujuan untuk membersihkan pekuburan dan doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan untuk memohon keselamatan para leluhur. Sejak pengaruh Islam masuk, tradisi ini diganti dengan ziarah kubur dengan membaca doa-doa berdasarkan syariat Islam.
            Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, kehidupan duniawi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan nanti di alam keabadian. Begitu pula ikatan batin antara yang hidup dan yang mati tidak begitu saja lepas oleh hilangnya nyawa di jasad. Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa berziarah dan mendoakan leluhur adalah kewajiban. Karena itu muncullah tradisi berziarah dalam kurun waktu tertentu meskipun dipisahkan oleh kondisi geografis. Nilai spiritual yang tertanam dalam tradisi berziarah inilah yang kemudian berdialektika dengan kultur masyarakat yang kemudian melahirkan tradisi mudik.
Said Agiel Siradj (2006) menegaskan bahwa makna tradisi Lebaran sebenarnya menyemai semangat spiritual-vertikal. Dalam arti orang-orang yang merayakan harus kembali pada kefitrian (kesucian) jati diri kemanusiannya sebagai hamba Tuhan. Hal ini terkait dengan ibadah puasa yang dilakukan selama satu bulan penuh. Spiritual-vertikal manusia ditempuh dengan ibadah dan akan sempurna jika dilanjutkan pada kesalehan sosial-horizontal. Silaturahim menjadi wujud konkret dalam hal ini. Mudik seharusnya dimaknai dengan menyambung hubungan spiritual dengan para leluhur yang telah tiada dan menyambut tali silaturahim dengan keluarga, saudara, kerabat dan sahabat yang masih hidup di dunia. Karena, dalam seluruh prosesi hidup manusia kaum beriman, hidup tidak lebih daripada ziarah menapaki tangga menuju tingkat yang lebih tinggi-sempurna untuk memperoleh kesejatian diri hingga mendapatkan kesempurnaan bersama Sang Khalik.
Tapak Tilas Kehidupan
Mudik telah lama dijadikan masyarakat yang merantau sebagai wahana silaturahim antar sesama kerabat. Para pemudik yang sangat merindukan nilai-nilai kebersamaan itu berkumpul bersama keluarga di hari yang fitri setelah sekian lama tidak bersua karena kesibukan untuk saling meminta maaf. Melalui Idul Fitri, seluruh umat Muslim dituntut untuk mampu melakukan pemaknaan kembali terhadap fitrah kemanusiannya. Maka dengan Idul Fitri kebermaknaan manusia diukur dari seberapa dalam kemampuan dirinya melakukan olah rohani untuk berhubungan dengan Tuhannya secara vertikal, serta kemampuannya merajut jalinan kasih dengan sesama manusia secara horizontal.
Mudik merupakan ritual tahunan, bermacam-macam cara ditempuh orang untuk menyiapkan kepulangannya. Pulang ke kampung halaman di dunia ini, atau ke kampung halamannya di akhirat kelak. Dua tujuan tersebut, meski sama-sama memiliki perspektif yang berbeda, tetapi sesungguhnya sama-sama membutuhkan persiapan, minimal bekal untuk dibawa pulang. Bekal untuk keperluan diri sendiri, atau bekal yang akan dipersembahkan kepada sanak saudara serta para keluarga yang tinggal di kampung.
Mudik ke kampung halaman menjelang Idul Fitri sesungguhnya ajang latihan nyata menjelang kepulangan ke akhirat, sebagai tempat yang abadi untuk kembali kepangkuan Ilahi untuk selama-selamanya. Tanpa disadari, selama kurun waktu sebelas bulan, berbagai persiapan dilakukan dengan mengumpulkan sebanyak mungkin bekal yang akan dibawa pulang. Tradisi mudik menyiratkan makna terdalam dari proses penciptaan manusia oleh Sang Khaliq, bahwa Allah sudah menetapkan dalam kitab-Nya beberapa hal terpenting yang akan mengiringi kehidupan seorang anak Adam. Beberapa di antaranya adalah persoalan rezeki, jodoh, serta kematian.
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam bukunya ”Sedang Tuhan pun Cemburu” (1994) menulis, orang beramai-ramai mudik sebenarnya sedang setia kepada tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya. Cak Nun menambahkan secara akar runtutan historis, setiap orang berusaha berikrar bahwa ia berasal dari suatu akar kehidupan, komunitas etnik, keluarga, sanak famili, bapak dan ibu, alam semesta yang berpangkal atau berujung dari Allah. Kesadaran ini diwujudkan para pemudik dengan bersusah payah bisa berada di tengah-tengah keluarga dan sanak kerabat tatkala Idul Fitri tiba, dalam sebuah perhelatan silaturahim dengan saling memaafkan serta menunaikan kewajiban membayar zakat.
Tradisi mudik di Hari Raya merupakan ajaran tentang silaturahim atau menyambung cinta-kasih dan ajaran untuk saling meminta maaf bagi seseorang saat menyadari telah berbuat salah pada orang lain. Ajaran silaturahim dan meminta maaf jika berbuat salah memang tidak dikhususkan hanya pada Idul Fitri, yang berlangsung hanya sekali dalam setahun. Begitupun soal ajaran berbakti atau memohon maaf pada orangtua, atau kepada orang yang dituakan bukan pula dilakukan hanya pada Hari Raya saja, tapi di setiap saat dan waktu.
Mudik Lebaran merupakan prosesi ritual yang mengandung banyak makna. Puluhan juta manusia bergerak serentak di hari-hari terakhir Ramadan dengan menyingkirkan segala hambatan, kendala dan tantangan dengan melalui sarana darat, laut dan udara, seolah sedang melakukan tapak tilas kehidupan atas jejak asal-muasal kehadirannya di dunia ini. Melalui mudik, sejarah hendak didaur ulang, disegarkan kembali dan dicerahkan guna memberi napas baru bagi perjalanan kehidupan satu tahun ke depan. ***