Ketika Air Bersih Semakin Langka

Ketika Air Bersih Semakin Langka
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 31 Oktober 2010

Renungkan fakta-fakta berikut,  hampir 98% air di planet bumi adalah air asin, tidak layak untuk dikonsumsi manusia. Hanya kurang dari 1% dari total air segar tersedia untuk kita, sebagian besar dari air segar itu tersimpan dalam bentuk salju dan es kutub. Dengan kata lain, dari setiap 100 liter air, kurang dari setengah sendok teh merupakan air segar yang dapat dijangkau dan dikonsumsi oleh manusia.
Konsumsi air global telah meningkat hampir 10 kali sejak tahun 1900. Penduduk dunia pada awal abad ke-21 lebih dari lima miliar, diramalkan bertambah sekitar 45% pada 30 tahun mendatang, sementara pemborosan air segar diperkirakan akan bertambah sekitar 10%. Perubahan iklim sebagai imbas dari global warming akan turut menyebabkan meningkatnya kelangkaan air global sekitar 20%. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kelangkaan tersebut adalah melorotnya sumber air di permukaan air bawah tanah, daerah rawa-rawa, sungai, danau dan teluk.
Menurut laporan UNDP 1998, 60% dari 4,4 miliar penduduk di negara-negara berkembang kurang mendapatkan akses kepada kesehatan dasar dan hampir 1/3 dari mereka tidak memiliki akses kepada air bersih. Dalam pertemuan Millennium Development Goals (MDGs) 2000, PBB sepakat untuk mengurangi hingga separuh (jadi 1,2 miliar) penduduk yang tidak memiliki akses kepada air yang layak dikonsumsi sampai sekitar tahun 2015.
Penggunaan air global adalah untuk pertanian 70%, industri 22% dan rumah tangga 8%. Lebih dari setengah sungai-sungai utama di dunia menipis dan tercemar secara serius, dan 25 juta orang mengungsi dari rumah mereka pada tahun 1998 karena tercemar dan hilangnya air sungai. Tapi di sisi lain ketika sebagian orang kekurangan air, justru ada yang menghamburkan air. FAO memperkirakan bahwa 100 orang turis kaya yang menginap di hotel atau resort wisata dalam waktu 55 hari menggunakan jumlah air yang sama dengan jumlah air yang dibutuhkan untuk menumbuhkan padi yang dapat menjadi makanan untuk 100 orang penduduk desa selama 15 tahun.
PBB mengisyaratkan bahwa dunia saat ini tengah mengalami krisis air. Krisis air menyangkut kekurangan air diakibatkan penduduk dunia yang semakin bertambah. Tapi bisa juga karena  distribusi yang tidak merata, pemborosan dan kurangnya penghormatan terhadap air di tengah masyarakat. Tapi ada juga dugaan bahwa krisis air berkenaan dengan privatisasi pelayanan pasokan air sehingga air menjadi komoditas ekonomi seperti layaknya barang konsumsi lainnya.
Kebutuhan Asasi
Setiap manusia sesungguhnya memiliki hak asasi atas air sebagaimana hak atas kesehatan dan pendidikan. Akses kepada air bersih bukan soal pilihan, melainkan soal hak asasi yang harus terpenuhi. Manusia tidak memiliki alternatif pengganti terhadap air, lain halnya dengan beras yang bisa digantikan dengan jagung atau gandum, misalnya. Karena itu, penyediaan air tidak dapat dibiarkan begitu saja kepada kekuatan-kekuatan pasar. Sehingga privatisasi pengelolaan air, penguasaan sumber-sumber air kepada perorangan dan kemudian  menjadikan air sebagai komoditas ekonomi harus ditentang semua pihak.
Air adalah unsur hakiki, bukan saja untuk tanaman dan hewan yang tengah bertumbuh kembang, melainkan juga untuk bertahannya hidup manusia. Namun kelangkaan air adalah gejala yang mendunia. Bukan hanya di perkotaan, di banyak wilayah pedesaan, permukaan air bawah tanah juga kian menurun, mata air dan sumber-sumber air lainnya tercemar dan persediaannya menurun secara drastis. Persaingan atas sumber daya air di antara para pemilik usaha, pemilik industri dan konsumen rumah tangga kota acap kali menguntungkan para pemodal, sehingga menelantarkan mereka yang kurang mampu dalam membeli air bersih sehingga mereka hanya bisa mengkonsumsi air sungai yang tercemar.
Menurut perkiraan, sekitar tahun 2025 dua pertiga dari penduduk dunia tidak akan memiliki akses kepada air minum dalam jumlah yang memadai. Banyak perusahaan multinasional melihat krisis air ini sebagai peluang ekonomi. Majalah Fortune, edisi Mai 2000 menegaskan bahwa pada abad ke-21 air tampaknya akan mengambil peran yang dimainkan minyak seperti pada abad ke-20 menjadi komoditas bernilai tinggi, karena tidak seperti minyak, air tidak memiliki subsitusi, sehingga setiap orang harus membelinya.
Bagi banyak orang, air tidak dapat dipikirkan sebagai sebuah komoditas yang harus dibeli dan dijual. Air selalu dilihat sebagai suatu modal publik karena air sangat hakiki, bukan saja untuk kehidupan manusia, melainkan juga untuk hewan dan tanaman seperti juga untuk kehidupan planet bumi itu sendiri. Penyediaan air karena itu merupakan tanggung jawab publik dan terlebih lagi menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakannya.
Tapi dalam prinsip ekonomi liberal yang berlaku hampir di semua negara dunia, di mana segala sesuatu yang dibutuhkan manusia bisa diberi harga dan dijual, air bahkan udara sekalipun bisa menjadi komoditas ekonomi sehingga untuk mengusahakannya diberlakukan juga prinsip-prinsip ekonomi. Dalam WTO pengelolaan air telah diatur oleh sejumlah peraturan. Aturan-aturan tersebut memberi kemungkinan bagi perusahaan-perusahaan multinasional untuk “membeli dan menjual” air dalam suatu negara menurut pilihan mereka.
Privatisasi Pengelolaan Air 
Air dalam perkembangan selanjutnya telah menjadi komoditas ekonomi dan menjadi item komoditi yang diperjual-belikan dalam pasar bebas dunia seperti layaknya sepatu atau mobil. Konflik menyangkut air pernah terjadi di Bolivia. Bank Dunia menolak untuk memperbarui pinjaman 25 juta dollar jika pengelolaan air minum yang selama ini dikelola pemerintah tidak diprivatisasi. Setelah pengelolaan air minum publik di kota Cochabamba dijual ke Bechtel, sebuah perusahaan besar AS, sewa air segera melonjak. Penduduk Cochabamba melakukan protes dalam demonstrasi besar-besaran yang akhirnya berujung pada mogok umum sehingga mematikan ekonomi kota, dan Bechtel dipaksa untuk meninggalkan negara tersebut. Bechtel kemudian mengadukan pemerintah Bolivia ke WTO dan Bank Dunia.
Dalam banyak hal, Bank Dunia dan IMF (rezim penganut dan penyebar paham ekonomi liberal), memang memberlakukan persyaratan baru bagi pinjaman yakni privatisasi penyediaan air dan banyak pelayanan lain. Indonesia pernah merasakannya ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1998 ketika hampir semua bidang harus diprivatisasi termasuk perusahaan air minum. Sebuah kajian secara acak atas pinjaman IMF di 40 negara selama tahun 2000 mengungkapkan bahwa 12 negara memiliki persyaratan pinjaman yang memaksakan privatisasi penyediaan air. Umumnya negara-negara Afrika dan negara-negara miskin yang paling berlilit utang yang tertimpa persyaratan ini.
Saat ini perusahaan-perusahaan air minum Eropa dan Amerika berminat dalam penyediaan pasokan air minum publik di negara-negara berkembang dengan dalih pasar bebas sesuai dengan aturan WTO. Pemerintah negara-negara tersebut harus melepaskan pengawasan mereka atas penyediaan air minum dalam negeri. Sebagai imbalannya mereka akan mendapat keringanan utang, janji untuk mendapat akses pasar dan akses bagi bantuan asing.
Manakala lembaga-lembaga ini (WTO,IMF,Bank Dunia) semakin mengambil alih fungsi pengambilan keputusan untuk kebijakan ekonomi dan sosial dari suatu negara, pertanyaan harus dilontarkan, di mana masyarakat dapat menarik batas antara barang dan jasa yang harus dilindungi karena barang dan jasa tersebut dianggap sangat mendasar bagi kehidupan manusia, dan di pihak lain keharusan setiap bisnis untuk memaksimalkan keuntungan? Amanat konstitusi jelas menyatakan bahwa bumi, air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Air adalah suatu realitas primordial, dan mempunyai peran penting. Sebagai bahan dasar  utama pembentuk segala materi organis, air mutlak perlu bagi eksistensi semua makhluk yang hidup, manusia, hewan dan tanaman. Kehadirannya menjamin kehidupan dan pertumbuhan, ketiadaannya menjadi pertanda bagi kematian dan kehancuran.
Air memiliki siklus yang berada di luar jangkauan kendali kita. Hujan yang turun untuk semua orang, baik kaya maupun miskin, yang berkuasa mupun yang lemah, mengingatkan kita bahwa penciptaannya adalah sebentuk karunia yang dipercayakan kepada kita untuk dijaga. Air bukan milik orang perorangan namun suatu hadiah gratis demi kebaikan semua orang. Ketika politik atau ekonomi berusaha menghambat akses umum kepada hak universal ini, maka tatanan kodrati dijungkirbalikkan. Kesulitan air dewasa ini bukanlah satu bentuk kelangkaan mutlak, melainkan soal keserakahan manusia tentang pembagian dan penguasaan  sumber daya. Ketika air menjadi komoditas ekonomi maka air menjadi langka dan mahal, sehingga hanya orang-orang yang mempunyai uanglah yang dapat menikmatinya. ***