Menggalang Revolusi Lewat Jejaring Sosial
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 1 Maret 2011
Revolusi Melati (Jasmine Revolution), itulah nama revolusi yang menggulingkan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali dari tampuk kekuasaannya setelah bercokol selama 23 tahun. Nama “melati” diambil dari lambang negara tersebut. Melati sebagai lambang kesucian mempunyai aroma yang wangi. Demonstran yang gugur dianggap sebagai para syuhada, yang darahnya harum, seharum melati.
Revolusi Melati yang terjadi di Tunisia dengan gerakan Reformasi 1998 di Indonesia, sesungguhnya mempunyai benang merah yang sama. Kondisi sosial, ekonomi dan politik antara Indonesia dengan Tunisia, juga nyaris sama.
Pada tahun 1987, saat Ben Ali yang merupakan mantan perwira di dinas rahasia, menjadi penguasa di Tunisia. Ben Ali mempertahankan kekuasaannya dengan legitimasi ala pseudo-demokrasi (demokrasi palsu) melalui serangkaian pemilu yang hasilnya direkayasa dengan cara-cara seperti pada era Stalinisme. Mengingatkan kita pada pemilu di era Orde Baru.
Bunga Melati yang menjadi lambang negara Tunisia, juga melambangkan karakter dan gaya hidup bangsa Tunisia. Tanpanya Ben Ali mustahil bisa mempertahankan kekuasaan selama 23 tahun. Terlepas dari klise yang sering beredar, penduduk Tunisia cenderung mencintai kehidupan dan kenyamanan. Persis seperti bangsa Indonesia di zaman Soeharto, sebuah bangsa yang hanya bisa membeo (walaupun lambang negaranya Garuda), bangsa “enggih” (bahasa Jawa : ya), dan sering diejek sebagai bangsa lemah oleh negara tetangga, Malaysia dan Singapura.
Tunisia juga sering diumpat sebagai lemah dan pengecut di negeri jiran Aljazair dan Libya. Kebanyakan warga Tunisia lebih memilih menjadi borjuis-borjuis kecil dengan gaya hidup hedonis. Mereka dikenal sebagai “Khobsistes“, yang memprioritaskan kecukupan pangan (Khob berarti roti). Di atas pondasi semacam itulah Ben Ali membangun kekuasaannya sejak hari pertama. Ia berjanji melindungi warga dari agitasi Islam ekstrimis (jika Soeharto, melindungi dari komunis), dan mengiming-imingi rakyat dengan sejumput kemakmuran, namun di saat yang bersamaan memberangus hak-hak sipil secara perlahan dari tahun ke tahun.
Selama 23 tahun kekuasaannya, pelanggaran berat HAM menjadi agenda keseharian. Partai-partai politik dan organisasi masyarakat dibubarkan secara paksa atau dilarang. Kebebasan pers sedemikian dibelenggu sehingga mendekati titik nadir. Media massa diawasi dan disensor secara ketat. Rezim Ben Ali selalu menggunakan kekerasan secara vulgar untuk membungkam tokoh masyarakat dan oposisi yang kritis, lewat serangkaian penculikan dan pembunuhan para aktivis.
Revolusi
Tapi angin perubahan berhembus. Soeharto digilas reformasi karena membuka keran arus informasi global ke tengah masyarakat. Pada waktu itu, televisi-televisi swasta (yang pada awalnya milik putera-puteri Soeharto) menjadi media yang memberi informasi ke publik, sehingga aksi demonstrasi yang masif dapat dilihat oleh rakyat. Dan akibatnya, aksi tersebut merembet ke seluruh daerah. Soeharto pun tumbang oleh gelombang reformasi yang pada awalnya adalah terkuaknya arus informasi.
Di Tunisia, media massa memang di bawah sensor ketat penguasa. Media hanya boleh menyiarkan hal yang baik-baik saja. Tapi mereka melupakan jaringan internet yang telah mengglobal. Ketatnya sensor media massa, memberikan gagasan bagi mahasiswa dan golongan menengah ke atas di Tunisia menggalang kekuatan revolusi lewat jejaring sosial, Facebook atau Twitter.
Pada awalnya jejaring sosial ini hanya dianggap pemerintah sebagai hal yang sepele. Rasio pengguna Facebook dan Twitter di Tunisia paling tinggi di antara negara Afrika Utara. Jejaring sosial yang pada awalnya berfungsi untuk membual ‘ngalor-ngidul’, untuk bersenang-senang, bercanda dan menghabiskan waktu luang. Tapi lambat laun, lewat jejaring sosial inilah, rakyat Tunisia berkeluh kesah menyampaikan ketidakpuasan kepada pemerintah. Dari sekadar unek-unek kemudian berkembang menjadi ketidakpuasan massal.
Ketika media massa diawasi, maka Facebook dan Twitter menjadi ‘kantor berita’ tidak resmi untuk mengabarkan semua kejadian yang terjadi. Kondisi ekonomi yang menurun, tingkat pengangguran yang tinggi, korupsi dan gaya hidup pejabat yang mewah membuat rakyat semakin geram. Hal-hal tersebut selalu dibahas di jejaring sosial. Puncaknya ketika Leila Ben Ali, istri Presiden Ben Ali, bisa dengan enteng menyewa 23 jet pribadi untuk berkunjung menghadiri peragaan busana di Paris.
Anggota keluarga Ben Ali yang sebagian besar tidak berpendidikan, dalam dua dasawarsa terakhir secara ilegal atau dilegalkan, dan tanpa segan sedikitpun mengumpulkan kekayaan dalam jumlah besar. Mereka bahkan tidak malu memamerkan kekuasaan dan kekayaan mereka. Padahal rakyat kian terjepit dengan pengangguran dan kemiskinan.
Maka, begitu tersiar kabar bahwa seorang mahasiswa, Mohamed Bouazizi, membakar diri karena dilarang berjualan sayuran oleh aparat pemerintah di Kota Sidi Bouzid pada akhir Desember lalu tersebar di dunia maya. Aksi demonstrasi dan kerusuhan langsung merebak di seantero Tunisia. Pada awal demonstrasi puluhan orang tewas dan terluka. Gelombang demonstrasi pada awalnya dianggap remeh, bahkan Ben Ali menyebutnya sebagai ekstrimis dan teroris. Ben Ali yang sudah demikian lama hidup di menara gading, tidak mampu lagi membaca keinginan rakyat yang dipimpinnya.
Terakumulasi selama 23 tahun, kemuakan itu kemudian bermetamorfosis menjadi gerakan massa masif yang disebut Revolusi Melati. Rakyat turun ke jalan. Menumpahkan amarah dan tuntutan agar Ben Ali turun dari jabatannya. Alih-alih berdialog, Ben Ali menggunakan moncong senapan tentaranya. Foto-foto korban tewas dan luka-luka di berbagai kota, tersebar cepat melalui internet memicu gelombang kemarahan masyarakat yang tidak dapat lagi dikendalikan oleh pemerintah dengan pentungan, janji-janji kosong, gas air mata atau senjata mesin sekalipun.
Ketika militer tidak mendukungnya lagi, Ben Ali dan keluarga kabur ke Arab Saudi dengan membawa kekayaan berton-ton emas. Ben Ali pun tumbang lewat Revolusi Melati yang sering juga dinamakan Revolusi Facebook.
Revolusi Melati ternyata membawa efek berantai ke Mesir. Mesir dipimpin oleh Husni Mubarak, telah berkuasa selama 30 tahun dan dianggap gagal memakmurkan rakyat. Mubarak dicurigai mempersiapkan puteranya sebagai penerus kekuasaan. Rakyat marah dan aksi demonstrasi merebak. Mubarak menggunakan kekerasan untuk menumpas aksi tersebut, ratusan nyawa melayang.
Kekuatan Jejaring sosial
Revolusi Melati sepertinya menjadi sinyal peringatan bagi para tiran dan diktator di dunia bahwa ada arus global baru yang bisa menjadi penggalang kekuatan untuk melakukan revolusi, yaitu jejaring sosial. Revolusi Melati juga memberikan peringatan kepada para pemimpin yang berkuasa saat ini, jangan sekali-kali menganggap remeh kekuatan jejaring sosial.
Facebook merupakan sebuah fenomena bagi masyarakat Indonesia. Hampir setiap elemen mengunakan jejaring sosial ini, baik kalangan mahasiwa, siswa sekolah, ekonom, politikus bahkan pembantu rumah tangga sekalipun. Facebook menjadi trendsetter untuk menggalang kekuatan massa, hal ini dapat dilihat ketika ada satu juta dukungan facebooker (sebutan penguna facebook) untuk KPK, dukungan untuk Prita Mulyasari, dan dukungan-dukungan lainnya.
Menurut survei eMarketer (2010), jumlah pengguna Facebook di Indonesia menduduki posisi kedua terbanyak di dunia, tercatat ada 27.953.340 pengguna. Sementara Inggris di posisi ketiga dengan 27.815.540. Turki menempati urutan ke empat dengan 22.943.100 pengguna. Dari 526.324.680 pengguna Facebook di seluruh dunia (per 1 Januari 2010), rangking pertama masih dikuasai Amerika Serikat dengan lebih dari 140 juta pengguna. Posisi kelima ditempati Perancis (19.378.200), diikuti Italia (17.082.420), Kanada (16.958.800), Filipina (16.800.860), Meksiko (15.965.160), dan India (14.310.680). Pengguna Facebook diramalkan akan tumbuh sekitar 3-10 persen per tahun di tiap negara.
Jejaring sosial ini bukanlah hal baru, masih ada Friendster, Twitter dan jejaring sosial karya anak bangsa, Kaskus dan Fupei. Namun Facebook telah menjadi candu bagi masyarakat Indonesia. Hal ini ditengarai dipermudahnya dalam mengakses jejaring sosial tersebut melalui media telepon seluler dan fasilitas yang melingkupinya. Bahkan paling anehnya mampu mengeser situs-situs porno, yang biasanya diminati para pengunjung dunia maya.
Semakin bertambahnya pengguna Facebook disebabkan tidak mengenal batasan usia dan profesi, salah satunya dikarenakan semakin banyaknya fasilitas kemudahan dalam menjalankan jejaring sosial ini semisal untuk curhat, menyampaikan opini, kecaman, simpati, solidaritas, kritik, sindiran, informasi, menulis catatan, menyimpan foto, video maupun gambar dan bahkan membuat grup untuk menjalin keanggotaan komunitas. Facebooker juga dapat memanfaatkan media tersebut untuk membangun lokalitas bangsa. Karena melalui jejaring sosial ini dapat menjalin rasa persaudaraan, kerakyatan, solidaritas lintas agama, ras dan golongan.
Ketika saluran-saluran demokrasi lewat penyampaian aspirasi kepada DPR tidak ditanggapi. Kritik terhadap pemerintah tidak disahuti. Ketika demonstrasi hanya dianggap sebagai anarkhi, caci maki dan penyebutan sebagai pembohong tidak mempan lagi. Maka Facebook, Twitter dan jejaring sosial lainnya, dapat menjadi wadah kritik, opini dan aspirasi masyarakat sekaligus media kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Setiap kebijakan yang diambil pemerintah, perilaku pejabat atau aparat birokrat, ketidakadilan, penyelewengan hukum, tindak korupsi, mafia peradilan, gaji dan fasilitas yang diterima pejabat negara dan sebagainya, selalu dibahas di dunia maya.
Facebook dan jejaring sosial lainnya mampu menjadi ujung tombak dalam mengkonsolidasikan kekuatan berbasis lokalitas pada dunia maya. Sehingga bukan menjadi sebuah candu masyarakat, akan tetapi sebagai perwujudan membangun solidaritas bangsa sebagai upaya mencari solusi alternatif dalam pembangunan nasional. Maka Facebook atau jejaring sosial lainnya dapat menjadi embrio dalam meretas revolusi sosial demi terwujudnya kehidupan yang lebih baik. Jangan remehkan suara-suara dari dunia maya! ***